
Konflik AS-Iran Masih Panas, Kok Harga Minyak Loyo?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
25 June 2019 09:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan harga minyak masih terbatas dengan kecenderungan melemah. Sengketa antara Amerika Serikat (AS) dengan Iran masih memberikan dorongan pada harga si emas hitam. Namun kekhawatiran akan penurunan permintaan akibat perlambatan ekonomi global masih menjadi beban yang memberi tarikan ke bawah.
Pada perdagangan hari Selasa (26/6/2016) pukul 09:30 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Agustus melemah 0,17% ke level US$ 64,84/barel. Sementara harga light sweet (WTI) kontrak pengiriman Agustus melemah tipis 0,03% menjadi US$ 64,84/barel.
Sehari sebelumnya, Brent ditutup menguat 0,82%. Sedangkan WTI terkoreksi 0,52%.
Hubungan AS dan Iran yang semakin panas membuat pasokan minyak dari Timur Tengah terancam semakin ketat.
Dini hari tadi, Presiden AS, Donald Trump telah menandatangani sanksi baru terhadap Iran. Sanksi tersebut dikabarkan akan membuat Pimpinan Tertinggi Iran, Ayatollah ALi Khameini dan jajarannya tidak bisa mengakses sumber finansial yang penting.
"Kami akan terus menekan Theran hingga rezim tersebut menghentikan aktivitas yang berbahaya," ujar Trump kepada wartawan di Oval Office.
Sanksi tersebut dijatuhkan setelah sebelumnya Iran menembak jatuh pesawat tanpa awak (drone) milik AS. Negeri Persia beranggapan bahwa penembakan terjadi di wilayah udara miliknya. Namun pihak AS bersikukuh bahwa insiden terjadi di wilayah udara internasional.
Negeri Paman Sam juga sebelumnya menuduh Iran sebagai pihak yang bertanggungjawab atas penyerangan beberapa kapal tankder di perairan dekat Selat Hormuz beberapa waktu lalu.
Alih-alih takut, Iran malah semakin panas. Duta Besar Iran untuk AS mengatakan bahwa pihaknya tidak akan berdialog dengan AS di bawah ancaman sanksi.
Alhasil, konflik ini diprediksi tidak akan selesai dalam waktu dekat. Bahkan bila terus memanas, bisa berkembang menjadi perang terbuka.
Konflik bersenjata tentu bukan kondisi yang ideal bagi pada perusahaan minyak untuk beroperasi. Dengan adanya konflik, bebera[a titik pengeboran minyak bisa berhenti. Timur Tengah yang merupakan wilayah penghasil minyak terbesar dunia akan sangat mempengaruhi ketersediaan pasokan global.
Selain itu peningkatan risiko keamanan di Selat Hormus membuat perusahaan kargo agak menahan pengiriman. Akibatnya, pasokan akan sulit didistribusikan ke seluruh penjuru dunia. Telebih, wilayah tersebut merupakan jalur distribusi dari 1/5 konsumsi minyak global.
Namun, perlambatan ekonomi global dikhawatirkan mampu membuat permintaan minyak melambat.
Awal bulan Juni, tiga lembaga yang memantau perkembangan keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) pasar minyak, kompak menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan di tahun 2019.
Tiga lembaga tersebut adalah US Energy Information Administration (EIA), Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), dan International Energy Agencu (IEA), yang mana masing-masing menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan tahun 2019 sebesar 160.000 barel/hari, 70.000 barel/hari, dan 100.000 barel/hari.
Penurunan proyeksi pertumbuhan permintaan membuat investor ragu akan serapan pasokan tahun ini. Apalagi saat ini pasokan minyak dari AS terus mengalami peningkatan. Tercatat sejak awal tahun 2018, produksi minyak AS telah melonjak hingga 2 juta barel/hari menjadi 12,2 juta barel/hari.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(taa/hps) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Pada perdagangan hari Selasa (26/6/2016) pukul 09:30 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Agustus melemah 0,17% ke level US$ 64,84/barel. Sementara harga light sweet (WTI) kontrak pengiriman Agustus melemah tipis 0,03% menjadi US$ 64,84/barel.
Sehari sebelumnya, Brent ditutup menguat 0,82%. Sedangkan WTI terkoreksi 0,52%.
Hubungan AS dan Iran yang semakin panas membuat pasokan minyak dari Timur Tengah terancam semakin ketat.
Dini hari tadi, Presiden AS, Donald Trump telah menandatangani sanksi baru terhadap Iran. Sanksi tersebut dikabarkan akan membuat Pimpinan Tertinggi Iran, Ayatollah ALi Khameini dan jajarannya tidak bisa mengakses sumber finansial yang penting.
"Kami akan terus menekan Theran hingga rezim tersebut menghentikan aktivitas yang berbahaya," ujar Trump kepada wartawan di Oval Office.
Sanksi tersebut dijatuhkan setelah sebelumnya Iran menembak jatuh pesawat tanpa awak (drone) milik AS. Negeri Persia beranggapan bahwa penembakan terjadi di wilayah udara miliknya. Namun pihak AS bersikukuh bahwa insiden terjadi di wilayah udara internasional.
Negeri Paman Sam juga sebelumnya menuduh Iran sebagai pihak yang bertanggungjawab atas penyerangan beberapa kapal tankder di perairan dekat Selat Hormuz beberapa waktu lalu.
Alih-alih takut, Iran malah semakin panas. Duta Besar Iran untuk AS mengatakan bahwa pihaknya tidak akan berdialog dengan AS di bawah ancaman sanksi.
Alhasil, konflik ini diprediksi tidak akan selesai dalam waktu dekat. Bahkan bila terus memanas, bisa berkembang menjadi perang terbuka.
Konflik bersenjata tentu bukan kondisi yang ideal bagi pada perusahaan minyak untuk beroperasi. Dengan adanya konflik, bebera[a titik pengeboran minyak bisa berhenti. Timur Tengah yang merupakan wilayah penghasil minyak terbesar dunia akan sangat mempengaruhi ketersediaan pasokan global.
Selain itu peningkatan risiko keamanan di Selat Hormus membuat perusahaan kargo agak menahan pengiriman. Akibatnya, pasokan akan sulit didistribusikan ke seluruh penjuru dunia. Telebih, wilayah tersebut merupakan jalur distribusi dari 1/5 konsumsi minyak global.
Namun, perlambatan ekonomi global dikhawatirkan mampu membuat permintaan minyak melambat.
Awal bulan Juni, tiga lembaga yang memantau perkembangan keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) pasar minyak, kompak menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan di tahun 2019.
Tiga lembaga tersebut adalah US Energy Information Administration (EIA), Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), dan International Energy Agencu (IEA), yang mana masing-masing menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan tahun 2019 sebesar 160.000 barel/hari, 70.000 barel/hari, dan 100.000 barel/hari.
Penurunan proyeksi pertumbuhan permintaan membuat investor ragu akan serapan pasokan tahun ini. Apalagi saat ini pasokan minyak dari AS terus mengalami peningkatan. Tercatat sejak awal tahun 2018, produksi minyak AS telah melonjak hingga 2 juta barel/hari menjadi 12,2 juta barel/hari.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(taa/hps) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular