Harga Minyak Amblas 11% Sejak Awal April, Ada Apa Ya?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
17 June 2019 17:05
Harga Minyak Amblas 11% Sejak Awal April, Ada Apa Ya?
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak awal kuartal II-2019, harga minyak mentah global telah amblas hingga 11% seiring meningkatnya kekhawatiran pelaku pasar akan perlambatan pertumbuhan permintaan. Tiga lembaga ternama yang mengamati pasokan-permintaan global telah memangkas proyeksi permintaan tahun ini.

Pada perdagangan Senin (17/6/2019) pukul 16:45 WIB, harga minyak brent kontrak pengiriman Agustus turun 0,53% ke US$ 61,81/barel. Sementara harga light sweet (WTI) kontrak pengiriman Juli melemah 0,52% menjadi US$ 52,23/barel.



Awal pekan lalu, US Energy Information Administration (EIA) memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global tahun ini sebesar 160.000 barel/hari menjadi 1,22 juta barel/hari. Lebih lanjut, EIA juga menurunkan ekspektasi pertumbuhan permintaan minyak pada 2020 sebesar 110.000 barel/hari menjadi 1,42 juta barel/hari.

Menyusul EIA, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan sebesar 70.000 barel/hari menjadi 1,14 juta barel untuk 2019. Menurut OPEC dalam keterangan tertulis, ketegangan perdagangan global yang semakin tinggi telah meningkatkan risiko terhadap pertumbuhan permintaan minyak.

Teranyar, International Energy Agency (IEA) yang berbasis di Paris juga ikut memangkas proyeksi pertumbuhan minyak sebesar 100.000 barel/hari menjadi 1,2 juta barel/hari sebagai reaksi atas eskalasi perang dagang. Seperti yang telah diketahui, bulan lalu AS telah menaikkan bea impor produk China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%). China membalas dengan memberi bea masuk tambahan sebesar 5-25% kepada produk AS senilai US$ 60 miliar mulai 1 Juni 2019.

Hal itu dikhawatirkan akan membuat gairah industri di sejumlah negara menjadi lesu dan mengakibatkan perlambatan ekonomi global. Permintaan energi, yang biasanya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi pun kembali diselimuti awan kelabu.

Sentimen negatif juga datang dari Negeri Tirai Bambu. Akhir pekan lalu, pemerintah China mengumumkan pertumbuhan produksi industrial pada Mei 2019 hanya sebesar 5% YoY, lebih rendah dibanding capaian bulan April sebesar 5,4% YoY. Angka pertumbuhan tersebut juga merupakan yang paling rendah sejak awal tahun 2002.


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Namun, koreksi harga minyak tertahan karena ketegangan di Timur Tengah. Pekan lalu, dua kapal kargo mengalami serangan di Selat Hormuz. Berbagai negara menuding Iran sebagai tersangka utama.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo mengatakan bahwa pihaknya akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mengamankan pelayaran di Timur Tengah. "Kami tidak ingin perang. Kami telah melakukan apa yang kami bisa untuk mencegah hal ini," ujar Pompeo dalam sebuah wawancara dengan Fox News, mengutip Reuters.

Entah siapa yang bertanggungjawab, yang jelas Selat Hormuz tengah menghadapi ancaman keamanan yang cukup serius. Hal itu berisiko membuat perusahaan kargo semakin enggan untuk melintasi wilayah tersebut.

Alhasil, pasokan minyak global akan mengalami gangguan distribusi. Terlebih diketahui bahwa seperlima konsumsi minyak dunia diantar melalui Selat Hormuz.

Rencana OPEC dan sekutunya untuk terus mengurangi produksi di semester II-2019 juga memberi tarikan ke atas pada pergerakan harga.

"Kami berharap untuk mencapai kesepakatan dalam meneruskan pengurangan pasokan saat pertemuan di Wina dalam dua minggu mendatang," ujar Menteri Energi Arab Saudi kepada reporter saat menghadiri pertemuan G20, mengutip Reuters.

Sebagai latar belakang, OPEC telah sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel/hari sepanjang periode Januari-Juni 2019. Kelanjutan kebijakan tersebut akan diputuskan pada pertemuan dua minggu lagi.

Masih ada harapan banjir pasokan di pasar minyak tahun 2019 dapat dihindari.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(taa/taa) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular