
Rupiah Masih Lemas, Calon Melemah 3 Hari Beruntun?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 June 2019 13:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah menjadi salah satu korban keganasan dolar AS yang mendominasi Asia.
Pada Senin (17/6/2019) pukul 12:32 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.335. Rupiah melemah 0,1% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan perdagangan, depresiasi rupiah masih tipis di 0,03%. Namun seiring perjalanan pasar, rupiah bukannya berhasil menyeberang ke zona hijau tetapi semakin dalam memasuki zona merah.
Jika pelemahan ini bertahan hingga penutupan pasar, maka depresiasi rupiah akan menjadi tiga hari beruntun. Sesuatu yang kali terakhir terjadi pada 20-22 Mei.
Namun sebenarnya pelemahan rupiah hari ini agak termaklumkan, karena mayoritas mata uang utama Asia juga bernasib sama. Bahkan pagi tadi dolar AS sempat melemah terhadap seluruh mata uang Benua Kuning, tidak ada yang selamat.
Siang ini, beberapa mata uang Asia mulai berani melawan balik seperti yuan China, won Korea, dolar Singapura, dan dolar Taiwan. Akan tetapi sebagian besar masih tidak bisa berbicara banyak di hadapan dolar AS, termasuk rupiah.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:39 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dolar AS perkasa karena rilis data terbaru di Negeri Paman Sam. Pada Mei, penjualan ritel di AS tumbuh 0,5% month-on-month (MoM). Membaik ketimbang pertumbuhan bulan sebelumnya yaitu 0,3%.
Kemudian output industri di Negeri Adidaya pada May tumbuh 0,4% MoM, jauh lebih baik ketimbang April yang terkontraksi alias turun 0,4%. Ini menjadi pertumbuhan terbaik sejak November 2018.
Data-data yang positif ini membuat investor semakin yakin The Federal Reserves/The Fed akan mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% pada rapat pekan ini. Mengutip CME Fedwatch, probabilitasnya mencapai 82,5%.
Setidaknya dolar AS masih mendapat suntikan energi dalam jangka pendek. Ke depan, kemungkinan besar angin tidak akan memihak pada mata uang ini.
Pelaku pasar memperkirakan Jerome 'Jay' Powell dan sejawat akan menurunkan Federal Funds Rate menjadi 2-2,25% pada Juli alias bulan depan. Ini menjadi awal siklus penurunan suku bunga acuan, yang sepanjang 2019 diperkirakan bisa mencapai tiga kali.
Jadi mumpung dolar AS masih punya momentum untuk menguat sebelum mulai terpukul bulan depan, investor pun bersemangat memburu mata uang Negeri Paman Sam. Peningkatan permintaan tentu membuat dolar AS menguat.
Selain itu, investor juga cenderung wait and see karena perang dagang AS-India. Mulai 5 Juni, AS menghapus fasilitas Generalized System of Preference (GSP) bagi India.
Fasilitas ini membuat produk made in India bebas bea masuk di AS, nilainya ditaksir mencapai US$ 5,6 miliar. Namun Trump memutuskan untuk meniadakan fasilitas itu, karena dinilai mengancam industri dan kepentingan dalam negeri.
India tidak terima, dan membalas dengan menerapkan bea masuk untuk 28 produk AS seperti kacang almon, walnut, dan apel yang berlaku mulai minggu waktu setempat. Kebijakan Negeri Bollywood ini bisa memukul sektor pertanian AS. Pasalnya, data US Department of Agriculture menyebutkan India adalah pembeli kacang almon terbesar dengan nilai US$ 543 juta. Jumlah ini lebih dari separuh dari total ekspor kacang almon AS.
Perang dagang AS-China belum jelas juntrungannya, kini ada lagi perang dagang AS-India. Jika perang dagang terus berlangsung dan bahkan skalanya lebih luas, maka dijamin perlambatan ekonomi global adalah sebuah keniscayaan. Sesuatu yang bisa membuat investor khawatir dan enggan masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Senin (17/6/2019) pukul 12:32 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.335. Rupiah melemah 0,1% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan perdagangan, depresiasi rupiah masih tipis di 0,03%. Namun seiring perjalanan pasar, rupiah bukannya berhasil menyeberang ke zona hijau tetapi semakin dalam memasuki zona merah.
Namun sebenarnya pelemahan rupiah hari ini agak termaklumkan, karena mayoritas mata uang utama Asia juga bernasib sama. Bahkan pagi tadi dolar AS sempat melemah terhadap seluruh mata uang Benua Kuning, tidak ada yang selamat.
Siang ini, beberapa mata uang Asia mulai berani melawan balik seperti yuan China, won Korea, dolar Singapura, dan dolar Taiwan. Akan tetapi sebagian besar masih tidak bisa berbicara banyak di hadapan dolar AS, termasuk rupiah.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:39 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dolar AS perkasa karena rilis data terbaru di Negeri Paman Sam. Pada Mei, penjualan ritel di AS tumbuh 0,5% month-on-month (MoM). Membaik ketimbang pertumbuhan bulan sebelumnya yaitu 0,3%.
Kemudian output industri di Negeri Adidaya pada May tumbuh 0,4% MoM, jauh lebih baik ketimbang April yang terkontraksi alias turun 0,4%. Ini menjadi pertumbuhan terbaik sejak November 2018.
Data-data yang positif ini membuat investor semakin yakin The Federal Reserves/The Fed akan mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% pada rapat pekan ini. Mengutip CME Fedwatch, probabilitasnya mencapai 82,5%.
Setidaknya dolar AS masih mendapat suntikan energi dalam jangka pendek. Ke depan, kemungkinan besar angin tidak akan memihak pada mata uang ini.
Pelaku pasar memperkirakan Jerome 'Jay' Powell dan sejawat akan menurunkan Federal Funds Rate menjadi 2-2,25% pada Juli alias bulan depan. Ini menjadi awal siklus penurunan suku bunga acuan, yang sepanjang 2019 diperkirakan bisa mencapai tiga kali.
Jadi mumpung dolar AS masih punya momentum untuk menguat sebelum mulai terpukul bulan depan, investor pun bersemangat memburu mata uang Negeri Paman Sam. Peningkatan permintaan tentu membuat dolar AS menguat.
Selain itu, investor juga cenderung wait and see karena perang dagang AS-India. Mulai 5 Juni, AS menghapus fasilitas Generalized System of Preference (GSP) bagi India.
Fasilitas ini membuat produk made in India bebas bea masuk di AS, nilainya ditaksir mencapai US$ 5,6 miliar. Namun Trump memutuskan untuk meniadakan fasilitas itu, karena dinilai mengancam industri dan kepentingan dalam negeri.
India tidak terima, dan membalas dengan menerapkan bea masuk untuk 28 produk AS seperti kacang almon, walnut, dan apel yang berlaku mulai minggu waktu setempat. Kebijakan Negeri Bollywood ini bisa memukul sektor pertanian AS. Pasalnya, data US Department of Agriculture menyebutkan India adalah pembeli kacang almon terbesar dengan nilai US$ 543 juta. Jumlah ini lebih dari separuh dari total ekspor kacang almon AS.
Perang dagang AS-China belum jelas juntrungannya, kini ada lagi perang dagang AS-India. Jika perang dagang terus berlangsung dan bahkan skalanya lebih luas, maka dijamin perlambatan ekonomi global adalah sebuah keniscayaan. Sesuatu yang bisa membuat investor khawatir dan enggan masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular