10 Tahun Naik 198%, IHSG Runner Up di Asia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 June 2019 16:05
10 Tahun Naik 198%, IHSG Runner Up di Asia
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal Indonesia selalu ramai dihuni investor asing, baik itu pasar saham maupun pasar obligasi. Walaupun banyak negara-negara berkembang lain di kawasan Asia, Indonesia punya daya tarik tersendiri di mata investor asing.

Melansir publikasi yang diterbitkan oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per April 2019 investor asing tercatat menguasai sebesar 53% dari total saham yang tercatat di KSEI.

Sementara untuk obligasi, melansir publikasi dari Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, investor asing menguasai sebesar Rp 949,56 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan senilai Rp 2.506,44 triliun atau setara dengan 37,88% (data per 31 Mei).

Berbicara mengenai bursa saham, memang semenarik apa sih bursa saham Indonesia?

Jika disandingkan dengan bursa saham negara-negara Asia lainnya dalam 10 tahun terakhir (10 Juni 2009-10 Juni 2019), bursa saham Indonesia memberikan imbal hasil yang jauh lebih menggiurkan ketimbang tetangga-tetangganya.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merupakan indeks saham acuan di Indonesia membukukan kenaikan sebesar 198,3%.

IHSG hanya kalah dari PSEi (indeks saham acuan di bursa saham Filipina) yang mampu membukukan penguatan hingga 217,9%. Di posisi 3 hingga 5 secara berurutan, ada indeks saham Thailand, India, dan Jepang.

Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi membuat investor, baik domestik maupun asing, berbondong-bondong masuk ke pasar saham Indonesia. Ambil contoh untuk tahun 2017, Bank Dunia (World Bank) mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,07%, relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang banyak berkutat di kisaran satu hingga empat persen.

Untuk tahun 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%.


Walaupun bukan yang tertinggi, perekonomian Indonesia dikelola menggunakan kebijakan fiskal yang sehat, terlihat dari rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang rendah. Bahkan, rasio utang pemerintah terhadap PDB Indonesia merupakan yang paling rendah.


Rendahnya rasio utang pemerintah terhadap PDB menunjukkan bahwa risiko yang menghantui perekonomian Indonesia relatif rendah lantaran pemerintah tak bergantung besar pada utang guna menopang laju perekonomian.

Lebih lanjut, rendahnya rasio utang pemerintah terhadap PDB mengimplikasikan bahwa pemerintah memiliki ruang yang besar untuk menyuntikkan stimulus kepada perekonomian jika terjadi guncangan yang berpotensi menghambat laju ekonomi.

Katakanlah sewaktu-waktu perang dagang AS-China kembali tereskalasi, pemerintah bisa memperbesar penarikan utang yang pada akhirnya akan dialokasikan kepada pos-pos belanja yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kuatnya fundamental perekonomian Indonesia dibuktikan oleh keputusan lembaga-lembaga pemeringkat kenamaan dunia yang berlomba-lomba mengerek naik peringkat surat utang Indonesia.

Pada akhir 2017, Fitch Ratings menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB, menjadikan Indonesia setara dengan Filipina dan Portugal yang telah lebih dulu mendapatkan kenaikan peringkat ke BBB pada pertengahan Desember 2017.

Kemudian pada April 2018, Moody’s memutuskan untuk mengerek peringkat surat utang jangka panjang Indonesia sebanyak 1 tingkat ke level Baa2, dari yang sebelumnya Baa3.

Dalam keterangannya tertulisnya, Moody's menyebut bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang prudent serta ketahanan sektor finansial membuatnya pihaknya yakin bahwa Indonesia memiliki modal yang cukup dalam menghadapi guncangan-guncangan yang mungkin terjadi.

Teranyar, menjelang libur panjang Idul Fitri, Standard and Poor's (S&P) ikut memutuskan untuk menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia.

"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya.

Dalam laporannya, S&P menulis bahwa perekonomian Indonesia berhasil tumbuh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya di tingkat pendapatan yang sama. Pertumbuhan riil Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun), sedangkan negara-negara lain dengan tingkat pendapatan yang sama rata-rata hanya tumbuh 2,2%. Menurut lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS) tersebut, hal itu merupakan sebuah prestasi yang mengesankan.

Sudah pertumbuhan ekonomi relatif tinggi, pemerintah juga memiliki ruang yang besar guna memacu perekonomian tumbuh lebih tinggi lagi di masa depan. Kombinasi dari kedua hal tersebut membuat pasar saham Indonesia mencatatkan performa yang kinclong dalam 10 tahun terakhir.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular