
Sempat Terseok-Seok, Akhir Sesi I IHSG Keluar dari Zona Merah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 June 2019 12:56

Jakarta, CNBC Indonesia - Menghabiskan mayoritas waktunya di zona merah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhirnya berhasil bangkit dan mengkahiri perdagangan sesi 1 dengan penguatan sebesar 0,12% ke level 6.296,97.
Saham-saham yang berkontribusi besar bagi penguatan IHSG di antaranya: PT Smartfren Telecom Tbk/FREN (+5,52%), PT Vale Indonesia Tbk/INCO (+5%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (+0,88%), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (+2,17%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+0,64%).
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,33%, indeks Shanghai naik 1,87%, indeks Hang Seng naik 0,76%, indeks Straits Times naik 0,48%, dan indeks Kospi naik 0,35%.
Sentimen yang menyelimuti perdagangan hari ini memang terbilang positif. Pertama, rilis data ekonomi China memberikan kelegaan bagi pelaku pasar. Kemarin (10/6/2019), ekspor China periode Mei 2019 diumumkan tumbuh sebesar 1,1% secara tahunan. Walaupun tipis saja, capaian pada periode Mei jauh lebih baik ketimbang April kala ekspor jatuh sebesar 2,7% secara tahunan, serta lebih baik dari konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 3,8%, dilansir dari Trading Economics.
Terlepas dari perang dagang yang terus memanas dengan AS, ternyata ekspor China masih bisa dipacu untuk membukukan pertumbuhan.
Kedua, ada optimisme bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini. Menjelang akhir pekan kemarin, penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian AS periode Mei 2019 diumumkan sebanyak 75.000 saja, jauh di bawah ekspektasi yang sebanyak 177.000, dilansir dari Forex Factory.
Lesunya penciptaan lapangan kerja tersebut lantas melengkapi komentar dovish yang sebelumnya dikatakan oleh Gubernur The Fed Jerome Powell. Powell kini memberi sinyal kuat bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas dengan mengubah standar referensinya dari The Fed yang "sabar" dalam menentukan suku bunga menjadi bank sentral akan memperhatikan dampak perang dagang dan akan mengambil tindakan "yang sesuai".
"Kami tidak tahu bagaimana atau kapan isu-isu (perdagangan) ini akan terselesaikan," kata Powell, dilansir dari Reuters.
"Kami memantau dengan ketat dampak dari berbagai perkembangan ini terhadap proyeksi perekonomian AS dan, selalu, kami akan mengambil tindakan yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan (ekonomi), dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang ada di sekitar target simetris 2% kami," lanjutnya.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 10 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada tahun ini berada di level 35,7%, naik dari posisi sehari sebelumnya yang sebesar 32,6%. Pada bulan lalu, probabilitasnya hanya sebesar 17,7%. Sementara itu, peluang tingkat suku bunga acuan dipangkas masing-masing sebesar 75 dan 25 bps adalah sebesar 33% dan 15,7%.
Jika tingkat suku bunga acuan benar dipangkas nantinya, tingkat suku bunga kredit akan ikut melandai yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, perekonomian AS bisa dipacu untuk melaju lebih kencang.
Mengingat posisi AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, kencangnya laju perekonomian AS tentu akan membawa dampak positif bagi negara-negara lain, termasuk negara-negara di kawasan Asia. Aksi beli yang dilakukan investor asing ikut membantu IHSG merangsek ke zona hijau. Hingga akhir sesi 1, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 10,9 miliar di pasar saham tanah air (pasar reguler). Tak besar memang, tapi sudah cukup untuk membuat IHSG naik tipis hingga siang hari.
Sejatinya, kinerja rupiah sedang tak mendukung bagi investor asing untuk melakukan aksi beli. Hingga siang hari, rupiah melemah 0,09% di pasar spot ke level Rp 14.258/dolar AS. Kala rupiah melemah, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian kurs sehingga aksi jual di pasar saham menjadi opsi yang sangat mungkin diambil.
Kondusifnya sentimen eksternal membuat investor asing tetap mengincar saham-saham di tanah air. Dari dalam negeri, ada juga sentimen positif yang menyelimuti yakni dinaikannya peringkat surat utang jangka panjang Indonesia oleh lembaga pemeringkat kenamaan dunia yakni Standard and Poor's (S&P) menjelang libur panjang hari raya Idul Fitri.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya yang dirilis pada hari Jumat (31/5/2019).
Pada 31 Mei 2018 lalu, S&P sempat mengafirmasi peringkat surat utang jangka panjang Indonesia di level di BBB-. Sebagai informasi, level BBB- merupakan level terendah bagi surat utang yang masuk dalam kategori layak investasi (investment-grade).
Dalam laporannya, S&P menuliskan bahwa perekonomian Indonesia berhasil tumbuh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya di tingkat pendapatan yang sama.
Pertumbuhan riil Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun), sedangkan negara-negara lain dengan tingkat pendapatan yang sama rata-rata hanya tumbuh 2,2%. Menurut lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS) tersebut, hal itu merupakan sebuah prestasi yang mengesankan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Saham-saham yang berkontribusi besar bagi penguatan IHSG di antaranya: PT Smartfren Telecom Tbk/FREN (+5,52%), PT Vale Indonesia Tbk/INCO (+5%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (+0,88%), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (+2,17%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+0,64%).
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,33%, indeks Shanghai naik 1,87%, indeks Hang Seng naik 0,76%, indeks Straits Times naik 0,48%, dan indeks Kospi naik 0,35%.
Terlepas dari perang dagang yang terus memanas dengan AS, ternyata ekspor China masih bisa dipacu untuk membukukan pertumbuhan.
Kedua, ada optimisme bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini. Menjelang akhir pekan kemarin, penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian AS periode Mei 2019 diumumkan sebanyak 75.000 saja, jauh di bawah ekspektasi yang sebanyak 177.000, dilansir dari Forex Factory.
Lesunya penciptaan lapangan kerja tersebut lantas melengkapi komentar dovish yang sebelumnya dikatakan oleh Gubernur The Fed Jerome Powell. Powell kini memberi sinyal kuat bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas dengan mengubah standar referensinya dari The Fed yang "sabar" dalam menentukan suku bunga menjadi bank sentral akan memperhatikan dampak perang dagang dan akan mengambil tindakan "yang sesuai".
"Kami tidak tahu bagaimana atau kapan isu-isu (perdagangan) ini akan terselesaikan," kata Powell, dilansir dari Reuters.
"Kami memantau dengan ketat dampak dari berbagai perkembangan ini terhadap proyeksi perekonomian AS dan, selalu, kami akan mengambil tindakan yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan (ekonomi), dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang ada di sekitar target simetris 2% kami," lanjutnya.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 10 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada tahun ini berada di level 35,7%, naik dari posisi sehari sebelumnya yang sebesar 32,6%. Pada bulan lalu, probabilitasnya hanya sebesar 17,7%. Sementara itu, peluang tingkat suku bunga acuan dipangkas masing-masing sebesar 75 dan 25 bps adalah sebesar 33% dan 15,7%.
Jika tingkat suku bunga acuan benar dipangkas nantinya, tingkat suku bunga kredit akan ikut melandai yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, perekonomian AS bisa dipacu untuk melaju lebih kencang.
Mengingat posisi AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, kencangnya laju perekonomian AS tentu akan membawa dampak positif bagi negara-negara lain, termasuk negara-negara di kawasan Asia. Aksi beli yang dilakukan investor asing ikut membantu IHSG merangsek ke zona hijau. Hingga akhir sesi 1, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 10,9 miliar di pasar saham tanah air (pasar reguler). Tak besar memang, tapi sudah cukup untuk membuat IHSG naik tipis hingga siang hari.
Sejatinya, kinerja rupiah sedang tak mendukung bagi investor asing untuk melakukan aksi beli. Hingga siang hari, rupiah melemah 0,09% di pasar spot ke level Rp 14.258/dolar AS. Kala rupiah melemah, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian kurs sehingga aksi jual di pasar saham menjadi opsi yang sangat mungkin diambil.
Kondusifnya sentimen eksternal membuat investor asing tetap mengincar saham-saham di tanah air. Dari dalam negeri, ada juga sentimen positif yang menyelimuti yakni dinaikannya peringkat surat utang jangka panjang Indonesia oleh lembaga pemeringkat kenamaan dunia yakni Standard and Poor's (S&P) menjelang libur panjang hari raya Idul Fitri.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya yang dirilis pada hari Jumat (31/5/2019).
Pada 31 Mei 2018 lalu, S&P sempat mengafirmasi peringkat surat utang jangka panjang Indonesia di level di BBB-. Sebagai informasi, level BBB- merupakan level terendah bagi surat utang yang masuk dalam kategori layak investasi (investment-grade).
Dalam laporannya, S&P menuliskan bahwa perekonomian Indonesia berhasil tumbuh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya di tingkat pendapatan yang sama.
Pertumbuhan riil Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun), sedangkan negara-negara lain dengan tingkat pendapatan yang sama rata-rata hanya tumbuh 2,2%. Menurut lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS) tersebut, hal itu merupakan sebuah prestasi yang mengesankan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Most Popular