Sentimen Domestik Tak Mendukung, IHSG Cuma Naik 1,36%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 June 2019 12:58
Sentimen Domestik Tak Mendukung, IHSG Cuma Naik 1,36%
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat 1,1% ke level 6.277,29, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan sesi 1 dengan penguatan sebesar 1,36% ke level 6.293,8. Aksi beli gencar dilakukan investor pasca libur panjang selama seminggu penuh guna memperingati hari raya Idul Fitri.

Saham-saham yang berkontribusi besar bagi penguatan IHSG pada hari ini di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+2,82%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+1,37%), PT Astra International Tbk/ASII (+2,68%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+2,93%), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+2,68%).

Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang kompak ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 1,23%, indeks Shanghai naik 0,98%, indeks Hang Seng naik 2,03%, indeks Straits Times naik 0,8%, dan indeks Kospi naik 1,17%.

Selama diliburkan pada pekan lalu, bursa saham utama kawasan Asia juga melejit dan praktis membuat pelaku pasar saham tanah air baru bisa melakukan price-in pada hari ini. Sepanjang pekan lalu, indeks Nikkei naik 1,38%, indeks Hang Seng naik 0,24%, indeks Straits Times naik 1,56%, dan indeks Kospi naik 1,5%.

Optimisme bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini membuat aksi beli dilakukan di bursa saham Asia pada pekan kemarin.

Pada hari Selasa (4/6/2019) waktu setempat, Gubernur The Fed Jerome Powell memberi sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan yakni dengan mengubah standar referensinya dari The Fed yang "sabar" dalam menentukan suku bunga menjadi bank sentral akan memperhatikan dampak perang dagang dan akan mengambil tindakan "yang sesuai".

"Kami tidak tahu bagaimana atau kapan isu-isu (perdagangan) ini akan terselesaikan," kata Powell, dilansir dari Reuters.

"Kami memantau dengan ketat dampak dari berbagai perkembangan ini terhadap proyeksi perekonomian AS dan, selalu, kami akan mengambil tindakan yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan (ekonomi), dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang ada di sekitar target simetris 2% kami," lanjutnya.

Sebelumnya, Presiden The Fed St. Louis James Bullard mengatakan dalam sebuah pidato bahwa pemotongan tingkat suku bunga acuan mungkin perlu segera dilakukan.

Komentar dari Powell tersebut datang di saat yang begitu tepat. Pasalnya, melalui publikasi Global Economic Prospects edisi Juni 2019 yang dirilis Selasa malam waktu setempat atau Rabu (5/6/2019) dini hari waktu Indonesia, Bank Dunia (World Bank) memangkas proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi global.

Untuk tahun ini, lembaga yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS) tersebut memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) global hanya akan tumbuh sebesar 2,6%, dari yang sebelumnya 2,9% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari.

Melalui publikasi tersebut, Bank Dunia juga mengafirmasi bahwa perekonomian AS akan menghadapi perlambatan yang signifikan. Untuk tahun 2019, Bank Dunia masih memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5%, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Sebagai informasi, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.

Jika tingkat suku bunga acuan benar dipangkas nantinya, tingkat suku bunga kredit akan ikut melandai yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, perekonomian AS bisa dipacu untuk melaju lebih kencang.

Mengingat posisi AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, kencangnya laju perekonomian AS tentu akan membawa dampak positif bagi negara-negara lain, termasuk negara-negara di kawasan Asia.
Investor asing memegang peranan besar dalam membuat IHSG melejit pada perdagangan awal pekan. Per akhir sesi 1, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 508,9 miliar di pasar reguler, menandai beli bersih yang ke-3 secara beruntun. Di seluruh pasar, beli bersih yang dibukukan investor asing adalah senilai Rp 551,3 miliar.

Keperkasaan rupiah menjadi salah satu faktor yang melandasi aksi beli yang dilakukan investor asing. Hingga siang hari, rupiah menguat 0,21% di pasar spot ke level Rp 14.240/dolar AS.

Dengan adanya keyakinan bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini, praktis rupiah mendapatkan suntikan energi untuk menguat melawan greenback. Kala rupiah menguat, apalagi dengan signifikan, kerugian kurs bisa dihindari oleh investor asing.

Pelaku pasar kini yakin bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps pada tahun ini. Pemangkasan sebesar 75 bps juga diyakini bisa dilakukan oleh The Fed.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 10 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada tahun ini berada di level 35%. Untuk pemangkasan sebesar 75 dan 25 bps, probabilitasnya masing-masing adalah sebesar 33% dan 15,6%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan ditahan di level 2,25%-2,5% sepanjang tahun ini hanya tersisa 2,3% saja, dari yang sebelumnya 36,5% pada bulan lalu.

Saham-saham yang banyak dikoleksi investor asing di pasar reguler pada hari ini di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 184,2 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 143,2 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 61,7 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 59,2 miliar), dan PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 33,4 miliar). Dari dalam negeri, penguatan IHSG dibatasi oleh rilis angka inflasi periode Mei 2019. Sepanjang bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa terjadi inflasi sebesar 0,68% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,32%. Capaian tersebut berada di atas konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang sebesar 0,53% secara bulanan.

Inflasi pada bulanan Ramadan tahun ini tak bisa dibilang rendah seperti yang sebelumnya diekspektasikan pelaku pasar. Sebagai informasi, periode puasa pada tahun ini dimulai pada awal Mei, tepatnya pada tanggal 5.

Pada tahun 2018, inflasi Ramadan secara bulanan adalah sebesar 0,21% (Mei) dan 0,59% (Juni). Kemudian pada tahun 2017, inflasi Ramadan secara bulanan yang sebagian besar jatuh di bulan Juni adalah 0,69%.

Sebenarnya, tingginya inflasi bisa menjadi pertanda kuatnya konsumsi masyarakat. Namun, inflasi pada bulan lalu dipicu oleh kenaikan harga bahan makanan. Sepanjang bulan lalu, harga bahan makanan melesat 2,02% secara bulanan dan menyumbang sebesar 63% dari inflasi bulanan periode Mei yang sebesar 0,68%.

Sementara itu, komponen lain yang lebih menunjukkan kuat-lemahnya konsumsi masyarakat justru hanya mencatatkan kenaikan harga yang tipis saja.



Bisa jadi, laju perekonomian kuartal-II 2019 tak akan memenuhi ekspektasi lantaran kenaikan harga bahan makanan yang begitu tinggi membatasi konsumsi masyarakat atas barang-barang lainnya.

Sebagai informasi, konsumsi rumah tangga memang memegang peranan yang besar dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2018, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian Indonesia adalah sebesar 55,7%, menjadikannya pos dengan kontribusi terbesar. Di posisi 2, ada investasi yang berkontribusi sebesar 32,3% dan di posisi 3 ada ekspor (barang dan jasa) yang berkontribusi sebesar 21%. Kala konsumsi masyarakat tertekan, tentu laju perekonomian ekonomi juga akan berada di level yang relatif rendah.

Bagi pasar saham, kondisi seperti ini tentu tidak favorable.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular