
Rupiah Belum Kapok Jadi Juara Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 May 2019 08:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Dolar AS bertahan di bawah level Rp 14.400.
Pada Senin (27/5/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.350 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,24% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Seiring perjalanan pasar, apresiasi rupiah menebal. Pada pukul 08:13 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.345 di mana rupiah menguat 0,28%.
Pekan lalu, rupiah mampu mencatat apresiasi 0,41% di hadapan dolar AS. Sejauh ini perjalanan rupiah masih mulus, walau masih sangat awal.
Seperti halnya rupiah, sebagian besar mata uang utama Asia juga menguat. Namun rupiah tetap menjadi yang terbaik di Benua Kuning, mengulangi kesuksesan dalam dua hari perdagangan terakhir.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:08 WIB:
Dari dalam negeri, rupiah yang sudah melemah lumayan dalam masih punya tenaga untuk rebound. Dalam sebulan terakhir, rupiah terdepresiasi 1,44%. Sementara sejak awal tahun, rupiah melemah 0,07%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sementara dari sisi eksternal, dolar AS memang masih memble. Pada pukul 08:15 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,02%. Ini membuat Dollar Index terkoreksi 0,35% dalam sepekan terakhir dan 0,42% selama sebulan ke belakang.
Berkebalikan dengan rupiah, dolar AS sudah menikmati periode reli. Sejak awal tahun, Dollar Index masih menguat 1,5%.
Ini membuat mata uang Negeri Paman Sam rentan terdepresiasi, karena investor yang sudah mendapatkan keuntungan tentu tergoda mencairkannya. Tekanan jual masih membayangi dolar AS.
Selain itu, investor juga mulai khawatir dengan perkembangan ekonomi AS. Sinyal-sinyal perlambatan ekonomi semakin terlihat.
Berlanjutnya perang dagang dengan China diprediksi memukul perekonomian AS sendiri. Harga produk impor (termasuk bahan baku dan barang modal) asal China menjadi semakin mahal gara-gara bea masuk, sehingga menurunkan aktivitas investasi. AS pun akan kesulitan menjual produk ke China, khususnya produk pertanian, karena kenaikan bea masuk.
Dunia usaha pun mulai melihat prospek perekonomian ke depan agak gloomy. Perkiraan angka Purchasing Manager's Index (PMI) edisi Mei versi IHS Markit ada di 50,6%. Turun lumayan jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 52,6 dan menjadi yang terendah sejak September 2009.
Tidak hanya dunia usaha, rumah tangga juga sepertinya menahan diri. Terlihat dari penjualan rumah baru yang pada April tercatat 673.000 unit. Turun 6,9% dibandingkan bulan sebelumnya.
Permasalahan di investasi dan konsumsi membuat prospek pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya menjadi suram. Mengutip proyeksi terbaru tertanggal 24 Mei, The Federal Reserve/The Fed memperkirakan ekonomi AS pada kuartal II-2019 hanya tumbuh 1,3% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,2%.
Perlambatan investasi, konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi membuat pelaku pasar mulai berani bertaruh The Fed bakal menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Penurunan Federal Funds Rate bisa ditempuh sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas suku bunga acuan tetap di 2,25-2,5% pada akhir 2019 hanya 23,1%. Sementara peluang untuk turun 25 basis poin ke 2-2,25% lebih tinggi yaitu 42%.
Kemungkinan penurunan suku bunga acuan yang semakin tinggi tentu menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Sebab, penurunan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS menjadi kurang menarik. Akibatnya, arus modal meninggalkan AS, bertebaran ke segala penjuru, termasuk ke Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Senin (27/5/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.350 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,24% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Seiring perjalanan pasar, apresiasi rupiah menebal. Pada pukul 08:13 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.345 di mana rupiah menguat 0,28%.
Seperti halnya rupiah, sebagian besar mata uang utama Asia juga menguat. Namun rupiah tetap menjadi yang terbaik di Benua Kuning, mengulangi kesuksesan dalam dua hari perdagangan terakhir.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:08 WIB:
Dari dalam negeri, rupiah yang sudah melemah lumayan dalam masih punya tenaga untuk rebound. Dalam sebulan terakhir, rupiah terdepresiasi 1,44%. Sementara sejak awal tahun, rupiah melemah 0,07%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sementara dari sisi eksternal, dolar AS memang masih memble. Pada pukul 08:15 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,02%. Ini membuat Dollar Index terkoreksi 0,35% dalam sepekan terakhir dan 0,42% selama sebulan ke belakang.
Berkebalikan dengan rupiah, dolar AS sudah menikmati periode reli. Sejak awal tahun, Dollar Index masih menguat 1,5%.
Ini membuat mata uang Negeri Paman Sam rentan terdepresiasi, karena investor yang sudah mendapatkan keuntungan tentu tergoda mencairkannya. Tekanan jual masih membayangi dolar AS.
Selain itu, investor juga mulai khawatir dengan perkembangan ekonomi AS. Sinyal-sinyal perlambatan ekonomi semakin terlihat.
Berlanjutnya perang dagang dengan China diprediksi memukul perekonomian AS sendiri. Harga produk impor (termasuk bahan baku dan barang modal) asal China menjadi semakin mahal gara-gara bea masuk, sehingga menurunkan aktivitas investasi. AS pun akan kesulitan menjual produk ke China, khususnya produk pertanian, karena kenaikan bea masuk.
Dunia usaha pun mulai melihat prospek perekonomian ke depan agak gloomy. Perkiraan angka Purchasing Manager's Index (PMI) edisi Mei versi IHS Markit ada di 50,6%. Turun lumayan jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 52,6 dan menjadi yang terendah sejak September 2009.
Tidak hanya dunia usaha, rumah tangga juga sepertinya menahan diri. Terlihat dari penjualan rumah baru yang pada April tercatat 673.000 unit. Turun 6,9% dibandingkan bulan sebelumnya.
Permasalahan di investasi dan konsumsi membuat prospek pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya menjadi suram. Mengutip proyeksi terbaru tertanggal 24 Mei, The Federal Reserve/The Fed memperkirakan ekonomi AS pada kuartal II-2019 hanya tumbuh 1,3% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,2%.
Perlambatan investasi, konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi membuat pelaku pasar mulai berani bertaruh The Fed bakal menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Penurunan Federal Funds Rate bisa ditempuh sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas suku bunga acuan tetap di 2,25-2,5% pada akhir 2019 hanya 23,1%. Sementara peluang untuk turun 25 basis poin ke 2-2,25% lebih tinggi yaitu 42%.
Kemungkinan penurunan suku bunga acuan yang semakin tinggi tentu menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Sebab, penurunan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS menjadi kurang menarik. Akibatnya, arus modal meninggalkan AS, bertebaran ke segala penjuru, termasuk ke Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular