Kalau Rupiah Bisa Ngomong: Jokowi Effect? Apa Itu?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 May 2019 12:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang digadang-gadang bisa menguat ternyata malah lesu. Padahal ada banyak alasan bagi rupiah untuk menguat.
Pada Selasa (21/5/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.470. Rupiah melemah 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Tanda-tanda keperkasaan rupiah sebenarnya masih terlihat di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF). Namun ternyata itu tidak bisa menular ke pasar spot.
Kemudian, sejatinya pasar keuangan Indonesia sedang berbahagia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin sebagai pemenang pilpres 2019 dengan perolehan suara 55,44%. Unggul dari pesaingnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, yang meraih 44,56%.
Kejelasan hasil Pemilu 2019 seharusnya membuat pasar berbunga-bunga. Tidak ada ketidakpastian, arah kebijakan pemerintah kemungkinan besar tidak berubah signifikan karena status Jokowi sebagai petahana (incumbent).
Gairah ini sudah tercermin di pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,94% pada perdagangan Sesi I, terbaik kedua di Asia setelah Shanghai Composite.
Namun mengapa rupiah masih saja melemah?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Memang hampir seluruh mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS. Jadi tidak hanya rupiah, tetapi mata uang Benua Kuning memang melemah berjamaah.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:19 WIB:
Penyebab keperkasaan greenback adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Pada pukul 12:23 WIB, yield surat utang pemerintah AS seri acuan tenor 10 tahun naik 0,2 basis poin (bps).
Di antara negara-negara maju anggota G8, hanya Italia dan Rusia yang punya yield obligasi lebih tinggi dari AS. Dihadapkan pada pilihan AS atau Italia dan Rusia, tentu investor lebih memilih surat utang Negeri Adidaya yang bagaimana pun masih berstatus instrumen aman (safe haven).
Sementara dari dalam negeri, bisa jadi pelaku pasar menilai rupiah memang sudah terlalu mahal alias overvalued. Ini bisa dilihat dari fondasi penyokong rupiah yang sebenarnya rapuh.
Pada April 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,5 miliar. Ini merupakan defisit paling dalam sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Sementara pada kuartal I-2019, defisit transaksi berjalan ada di 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Memburuk ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,01% PDB.
Dengan neraca perdagangan yang tekor habis-habisan pada April, dan mungkin berlanjut pada Mei akibat tingginya impor mengantisipasi kebutuhan Ramadan-Idul Fitri, maka prospek transaksi berjalan pada kuartal II-2019 boleh dibilang suram. Artinya, pasokan devisa yang bertahan lama (sustainable) dari ekspor-impor barang dan jasa masih seret sehingga rupiah bergantung kepada arus modal di pasar keuangan (hot money) yang bisa keluar-masuk dalam satu kedipan mata. Rentan sekali.
Fondasi yang rapuh ini sepertinya membuat nilai rupiah terdiskon. Bisa jadi level Rp 14.300/US$ memang sudah terlalu mahal, sehingga rupiah layak melemah ke kisara Rp 14.400/US$.
Dua faktor ini membuat rupiah sulit hanyut dalam suasana kemenangan Jokowi. Tidak ada Jokowi Effect buat rupiah. Apa itu Jokowi Effect?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Selasa (21/5/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.470. Rupiah melemah 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Tanda-tanda keperkasaan rupiah sebenarnya masih terlihat di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF). Namun ternyata itu tidak bisa menular ke pasar spot.
Periode | Kurs 20 Mei (15:58 WIB) | Kurs 21 Mei (12:08 WIB) |
1 Pekan | Rp 14.528,9 | Rp 14.487,5 |
1 Bulan | Rp 14.622,4 | Rp 14.580,5 |
2 Bulan | Rp 14.703,8 | Rp 14.659 |
3 Bulan | Rp 14.797,4 | Rp 14.755,5 |
6 Bulan | Rp 15.019.9 | Rp 14.978 |
9 Bulan | Rp 15.227,9 | Rp 15.185,5 |
1 Tahun | Rp 15.422,4 | Rp 15.403 |
2 Tahun | Rp 16.106 | Rp 16.091 |
Kemudian, sejatinya pasar keuangan Indonesia sedang berbahagia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin sebagai pemenang pilpres 2019 dengan perolehan suara 55,44%. Unggul dari pesaingnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, yang meraih 44,56%.
Kejelasan hasil Pemilu 2019 seharusnya membuat pasar berbunga-bunga. Tidak ada ketidakpastian, arah kebijakan pemerintah kemungkinan besar tidak berubah signifikan karena status Jokowi sebagai petahana (incumbent).
Gairah ini sudah tercermin di pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,94% pada perdagangan Sesi I, terbaik kedua di Asia setelah Shanghai Composite.
Namun mengapa rupiah masih saja melemah?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Memang hampir seluruh mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS. Jadi tidak hanya rupiah, tetapi mata uang Benua Kuning memang melemah berjamaah.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:19 WIB:
Penyebab keperkasaan greenback adalah kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Pada pukul 12:23 WIB, yield surat utang pemerintah AS seri acuan tenor 10 tahun naik 0,2 basis poin (bps).
Di antara negara-negara maju anggota G8, hanya Italia dan Rusia yang punya yield obligasi lebih tinggi dari AS. Dihadapkan pada pilihan AS atau Italia dan Rusia, tentu investor lebih memilih surat utang Negeri Adidaya yang bagaimana pun masih berstatus instrumen aman (safe haven).
Sementara dari dalam negeri, bisa jadi pelaku pasar menilai rupiah memang sudah terlalu mahal alias overvalued. Ini bisa dilihat dari fondasi penyokong rupiah yang sebenarnya rapuh.
Pada April 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,5 miliar. Ini merupakan defisit paling dalam sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Sementara pada kuartal I-2019, defisit transaksi berjalan ada di 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Memburuk ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,01% PDB.
Dengan neraca perdagangan yang tekor habis-habisan pada April, dan mungkin berlanjut pada Mei akibat tingginya impor mengantisipasi kebutuhan Ramadan-Idul Fitri, maka prospek transaksi berjalan pada kuartal II-2019 boleh dibilang suram. Artinya, pasokan devisa yang bertahan lama (sustainable) dari ekspor-impor barang dan jasa masih seret sehingga rupiah bergantung kepada arus modal di pasar keuangan (hot money) yang bisa keluar-masuk dalam satu kedipan mata. Rentan sekali.
Fondasi yang rapuh ini sepertinya membuat nilai rupiah terdiskon. Bisa jadi level Rp 14.300/US$ memang sudah terlalu mahal, sehingga rupiah layak melemah ke kisara Rp 14.400/US$.
Dua faktor ini membuat rupiah sulit hanyut dalam suasana kemenangan Jokowi. Tidak ada Jokowi Effect buat rupiah. Apa itu Jokowi Effect?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular