Neraca Dagang Tekor, 3 Hari Sudah Rupiah Terkapar

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 May 2019 13:27
Neraca Dagang Tekor, 3 Hari Sudah Rupiah Terkapar
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejauh ini, pekan ini terbukti menjadi pekan yang sulit bagi rupiah. Selepas melemah masing-masing sebesar 0,63% dan 0,1% pada 2 perdagangan pertama di pekan ini (13 & 14 Mei), rupiah masih saja terkulai pada perdagangan hari ini.

Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, rupiah melemah 0,1% ke level Rp 14.440/dolar AS. Pada pukul 13:00 WIB, rupiah masih melemah dengan besaran yang sama, yakni 0,1% ke level Rp 14.440/dolar AS. Lantas, 3 hari sudah rupiah terkapar, tak pernah merasakan manisnya zona apresiasi.

Kinerja rupiah senada dengan mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya yang juga ditransaksikan melemah melawan dolar AS. Pelemahan rupiah menjadi yang terdalam keempat.



Sentimen yang bercampur-aduk terkait dengan perang dagang AS-China membuat dolar AS selaku safe haven mampu merajai kawasan Asia. Sisi positifnya, setelah seringkali mengeluarkan pernyataan yang keras terhadap China, belakangan justru Presiden AS Donald Trump nampak melunak.

Kini, Trump menyebut bahwa perang dagang dengan China hanya merupakan "pertengkaran kecil" serta bersikeras bahwa negosiasi antar 2 negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut belum putus.

"Kami memiliki sebuah dialog yang sedang berlangsung. Itu akan terus berlanjut," papar Trump di hadapan reporter pada hari hari Selasa (14/5/2019) waktu setempat, dilansir dari Reuters.

Trump mengatakan bahwa negosiasi dengan China tersebut berlangsung dengan "sangat baik" dan menyebut bahwa hubungannya dengan Presiden China Xi Jinping "luar biasa".

Sebelumnya, Trump juga sudah mengonfirmasi bahwa dirinya akan bertemu dengan Xi di sela-sela KTT G-20 pada akhir bulan depan di Jepang.

Sekadar mengingatkan, kali terakhir Trump bertemu dengan Xi adalah juga di sela-sela KTT G-20, yakni pada bulan Desember lalu di Argentina. Hasilnya, kedua negara menyepakati gencatan senjata selama 3 bulan di mana keduanya tak akan mengerek bea masuk untuk importasi produk dari masing-masing negara. Gencatan senjata ini kemudian diperpanjang oleh Trump seiring dengan perkembangan negosiasi dagang yang positif.

Dari pihak China, nada positif juga terucap. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang pada hari Selasa mengatakan bahwa AS dan China telah setuju untuk terus mengusahakan dialog dagang.

Namun, sisi negatifnya, perang dagang kedua negara sudah tereskalasi dan pastinya akan memberikan tekanan kepada perekonomian kedua negara. AS telah resmi menaikkan bea masuk atas importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25%, sementara China telah mengumumkan bahwa bea masuk bagi importasi produk asal AS senilai US$ 60 miliar akan dinaikkan menjadi 20 dan 25%, dari yang sebelumnya berada di level 5% dan 10%. Kebijakan ini akan berlaku mulai 1 Juni mendatang.

Lebih lanjut, kedepannya masih ada peluang bahwa perang dagang akan tereskalasi. Kini, AS telah memulai proses yang diperlukan untuk mengenakan bea masuk bagi importasi produk China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak oleh perang dagang. Kantor Perwakilan Dagang AS pada hari Senin diketahui sudah menerbitkan proposal yang diperlukan untuk mengeksekusi kenaikan bea masuk tersebut.

Dalam proposal tersebut, Kantor Perwakilan Dagang AS menjabarkan potensi pengenaan bea masuk hingga 25% bagi produk-produk impor China senilai kurang lebih US$ 300 miliar. Selanjutnya, akan digelar dengar pendapat pada tanggal 17 Juni yang kemudian akan diikuti oleh proses diskusi selama setidaknya seminggu.

Memilih bermain aman sembari mengamati perkembangan perang dagang AS-China, dolar AS selaku safe haven dianggap sebagai pilihan terbaik.
Dari dalam negeri, tekanan bagi rupiah datang dari rilis data perdagangan internasional periode April 2019. Sepanjang bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ekspor Indonesia ambruk hingga 13,1% secara tahunan, lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi sebesar 6,2% saja. Sementara itu, impor melemah sebesar 6,58%, lebih baik dibandingkan konsensus yang memperkirakan kejatuhan sebesar 11,36%.

Alhasil, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar, jauh lebih besar dibandingkan konsensus yang hanya sebesar US$ 497 juta.  Defisit pada bulan April menjadi yang pertama dalam 3 bulan terakhir. Pada bulan Februari, neraca dagang membukukan surplus senilai US$ 330 juta, sementara surplus pada bulan Maret adalah senilai US$ 540 juta.

Berdasarkan data Refinitiv, defisit pada bulan April merupakan terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.

Dengan defisit neraca dagang yang begitu lebar, maka defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi sangat sulit untuk diredam. Sebagai informasi, CAD pada kuartal-I 2019 adalah senilai US$ 7 atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih lebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Praktis, rupiah menjadi tak memiliki pijakan untuk menguat. Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular