Bikin Sedih! 7 Hari Terakhir, Rupiah Hanya Menguat 2 Kali

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 May 2019 17:31
Bikin Sedih! 7 Hari Terakhir, Rupiah Hanya Menguat 2 Kali
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasca sudah terdepresiasi sebesar 0,63% melawan dolar AS di pasar spot pada perdagangan kemarin (13/5/2019), rupiah belum juga bisa bangkit. Pada perdagangan hari ini, rupiah mencatatkan pelemahan sebesar 0,1% ke level Rp 14.425/dolar AS.

2 hari sudah rupiah tak pernah merasakan penguatan. Jika ditarik mundur lebih jauh, dalam 7 hari perdagangan terakhir, rupiah melemah sebanyak 5 kali dan hanya 2 kali menguat.

Pada hari ini, rupiah melemah kala mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya ditransaksikan menguat. Kinerja rupiah menjadi yang terburuk ketiga.



Eskalasi perang dagang AS-China tak cukup kuat untuk membuat pelaku pasar berlarian memeluk dolar AS selaku safe haven. Kemarin (13/5/2019), China mengumumkan balasannya atas pengenaan bea masuk tambahan yang dieksekusi AS menjelang akhir pekan. Seperti diketahui, pada hari Jumat (10/5/2019) AS resmi menaikkan bea masuk atas importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25%.

Kementerian Keuangan China mengumumkan bahwa bea masuk bagi importasi produk asal AS senilai US$ 60 miliar akan dinaikkan menjadi 20 dan 25%, dari yang sebelumnya berada di level 5% dan 10%. Barang-barang agrikultur menjadi sasaran dari pemerintah China.

Ketika berlaku pada tanggal 1 Juni, importir asal China akan membayar bea masuk yang lebih tinggi ketika mendatangkan produk agrikultur seperti kacang tanah, gula, gandum, ayam dan kalkun dari Negeri Paman Sam.

Dalam sebuah pernyataan, China menyebut bahwa bea masuk tambahan yang dieksekusi AS menjelang akhir pekan kemarin telah membahayakan kepentingan kedua negara serta tak sesuai dengan ekspektasi dari dunia internasional, seperti dilansir dari CNBC International.

Kehadiran perkembangan positif terkait perang dagang AS-China membuat dolar AS selaku safe haven menjadi kurang menarik. Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa dirinya belum membuat keputusan terkait dengan apakah produk impor asal China senilai US$ 325 miliar yang hingga kini belum terdampak oleh perang dagang akan dikenakan bea masuk.

"Kami memiliki hak untuk mengenakan (bea masuk terhadap) US$ 325 miliar lainnya (produk impor asal China) sebesar 25%," kata Trump sebelum kemudian menambahkan "Saya belum membuat keputusan tersebut."

Sebelumnya, Trump sempat menyebut bahwa produk impor asal China senilai US$ 325 miliar tersebut akan dibebankan bea masuk senilai 25% dalam waktu dekat. Melunaknya sikap Trump tersebut membuat pelaku pasar optimistis bahwa perang dagang tak akan tereskalasi lagi.

Apalagi, Trump juga mengonfirmasi bahwa dirinya akan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20 pada akhir bulan depan di Jepang.

Sekedar mengingatkan, kali terakhir Trump bertemu dengan Xi adalah juga di sela-sela KTT G-20, yakni pada bulan Desember lalu di Argentina. Hasilnya, kedua negara menyepakati gencatan senjata selama 3 bulan di mana keduanya tak akan mengerek bea masuk untuk importasi produk dari masing-masing negara. Gencatan senjata ini kemudian diperpanjang oleh Trump seiring dengan perkembangan negosiasi dagang yang positif.

Bisa jadi, hal serupa akan kita temukan juga pasca Trump selesai bersua dengan Xi pada akhir bulan depan.

BERSAMBUNG HALAMAN SELANJUTNYA >>>

Rilis data perdagangan internasional Indonesia menjadi faktor penting yang membuat rupiah menyandang predikat sebagai mata uang dengan kinerja terburuk ketiga di kawasan Asia pada hari ini.

Besok (15/5/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode April 2019. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan bahwa neraca dagang membukukan defisit senilai US$ 497 juta. Ekspor pada bulan lalu diproyeksikan jatuh 6,2% secara tahunan, sementara impor diramal jatuh hingga 11,36%.

Jika benar neraca dagang Indonesia membukukan defisit, maka akan mematahkan tren positif yang sudah dibukukan dalam dua bulan sebelumnya. Pada Maret, neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 540 juta dan pada Februari positif US$ 330 juta.

Ketika neraca dagang membukukan defisit, maka defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi sulit untuk diredam. Sebagai informasi, CAD pada kuartal-I 2019 adalah senilai US$ 7 atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih lebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.


TIM RISET CNBC INDONESIA




(ank/dru) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular