Sempat Kena PHP, IHSG Ditutup Anjlok & Terendah di 2019

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
13 May 2019 16:45
Sempat Kena PHP, IHSG Ditutup Anjlok & Terendah di 2019
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali hari dengan meyakinkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru kemudian terjebak di zona merah dan tak bisa bangkit. Pada saat pembukaan perdagangan, IHSG menguat 0,26% ke level 6.225,4.

IHSG kemudian naik ke titik tertingginya di level 6.238,26 (+0,47% dibandingkan penutupan perdagangan hari Jumat, 10/5/2019). Pada akhir perdagangan, IHSG anjlok sebesar 1,19% ke level 6.135,4. IHSG ditutup di level terlemahnya sepanjang tahun 2019.


Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan melemah: indeks Nikkei jatuh 0,72%, indeks Shanghai melemah 1,21%, indeks Straits Times ambruk 1,09%, dan indeks Kospi terpangkas 1,38%. Sementara itu, perdagangan di bursa saham Hong Kong diliburkan seiring dengan peringatan hari kelahiran Buddha.

Eskalasi perang dagang AS-China memantik sell-off di bursa saham Benua Kuning. Pada hari Jumat, AS resmi menaikkan bea masuk atas importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25%.

Lebih lanjut, Presiden AS Donald Trump juga diketahui sudah memerintahkan Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer untuk memulai proses guna mengenakan bea masuk senilai 25% bagi produk impor asal China senilai US$ 325 miliar yang hingga kini belum terdampak oleh perang dagang.

Hal ini dilakukan AS di tengah-tengah negosiasi dagang dengan China di Washington. Dalam negosiasi yang berlangsung selama 2 hari tersebut (9-10 Mei), delegasi AS dipimpin oleh Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara delegasi China dikomandoi oleh Wakil Perdana Menteri Liu He.

Hasilnya bisa ditebak, kedua negara gagal meneken kesepakatan dagang. Liu He menyebut bahwa ada 3 perbedaan mendasar yang membuat kesepakatan dagang belum bisa diteken.

Seperti dilansir dari Reuters, salah satu perbedaan yang dimaksud adalah terkait dengan pengenaan bea masuk. China berpendapat bahwa jika kedua belah pihak ingin meneken kesepakatan, maka seluruh bea masuk harus dihapuskan.

Perbedaan kedua adalah terkait dengan volume pembelian barang-barang AS oleh China, sementara yang ketiga adalah terkait dengan bahasa yang akan digunakan dalam teks kesepakatan dagang kedua negara.

"Setiap negara memiliki martabatnya sendiri, jadi teksnya harus berimbang," papar Liu He, dilansir dari Reuters.

Merespons tindakan AS yang justru menaikkan bea masuk atas produk impor asal China, Liu He mengatakan bahwa pihaknya secara tegas menolak kenaikan bea masuk tersebut dan pihaknya tak punya pilihan lain selain membalas, dilansir dari Reuters.

Sebelum perang dagang tereskalasi saja, perekonomian China terlihat sudah begitu tersakiti. Pada hari ini, penjualan mobil di China periode April 2019 diumumkan terkontraksi sebesar 14,6% secara tahunan, jauh lebih buruk dibandingkan kontraksi bulan Maret yang sebesar 5,2% saja. Kontraksi pada bulan April menandai yang ke-10 secara beruntun.

Sebagai informasi, belum lama ini China resmi memangkas target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 ke kisaran 6%-6,5%. Sebelumnya, target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dipatok di kisaran 6,5%.

Jika yang terealisasi nantinya adalah target pertumbuhan ekonomi di batas bawah (6%), maka itu akan menjadi pertumbuhan ekonomi terlemah dalam nyaris 3 dekade. Pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi China tercatat tumbuh sebesar 6,6%.

Mengingat status China sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, tekanan terhadap perekonomian China tentu akan membawa dampak yang signifikan bagi perekonomian negara-negara lain, termasuk Indonesia. Secara sektoral, sektor jasa keuangan yang jatuh 0,53% menjadi salah satu sektor dengan kontribusi utama bagi koreksi IHSG. Sektor jasa keuangan terkoreksi seiring dengan aksi jual yang menerpa saham-saham bank BUKU 4: harga saham PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 1,87%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 1,16%, dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 0,49%.

Saham-saham bank besar di tanah air menjadi sasaran jual investor lantaran kinerja rupiah yang begitu memprihatinkan. Hingga akhir perdagangan, rupiah melemah 0,63% di pasar spot ke level Rp 14.410/dolar AS.

Kala rupiah melemah secara signifikan, tentu ada kekhawatiran bahwa rasio kredit bermasalah/Non-Performing Loan (NPL) dari bank-bank besar akan terkerek naik dan menekan profitabilitas mereka.

Perang dagang AS-China yang kian panas membuat dolar AS selaku safe haven menjadi buruan investor.

Selain itu, tekanan bagi rupiah juga datang dari dalam negeri. Belum lama ini, Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa cadangan devisa per bulan April berada di angka US$ 124,3 miliar, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$ 124,5 miliar. Tekanan terhadap cadangan devisa berarti BI memiliki amunisi yang lebih sedikit dalam menetralisir pelemahan rupiah.

Padahal, cadangan devisa yang berlimpah sedang dibutuhkan Indonesia, seiring dengan defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) yang melebar.

Pada hari Jumat, BI mengumumkan bahwa transaksi berjalan membukukan defisit senilai US$ 7 miliar pada 3 bulan pertama tahun ini atau setara dengan 2,6% dari PDB. Memang lebih baik dibandingkan defisit pada kuartal-IV 2018 yang sebesar 3,6% dari PDB, namun melebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Jika defisit di awal tahun saja sudah lebih lebar, maka ada potensi bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan melebar. Ditambah dengan menipisnya cadangan devisa, praktis rupiah menjadi kehilangan pijakan untuk menguat.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money. Investor asing memegang peranan besar dalam mendorong IHSG ditutup di titik terendah sepanjang 2019. Per akhir sesi 2, investor asing tercatat membukukan jual bersih senilai Rp 694,8 miliar. Sebagai informasi, sepanjang pekan lalu investor asing telah membukukan jual bersih senilai Rp 3,04 triliun.

Saham-saham yang banyak dilego investor asing pada hari ini di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 130,6 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 105,7 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 75,6 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 69,6 miliar), dan PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (Rp 54,6 miliar).

Pelemahan rupiah yang begitu dalam membuat investor asing tak memiliki pilihan lain selain melakukan aksi jual. Kala rupiah melemah dengan signifikan, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerguian kurs sehingga wajar jika aksi jual dilakukan di pasar saham tanah air.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular