
Sabotase Kapal Tanker Arab Saudi Buat Harga Minyak Terangkat
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
13 May 2019 14:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah global berbalik arah menguat setelah kabar penyerangan terhadap empat kapal tanker di wilayah Uni Emirat Arab (UEA) menyeruak.
Pada perdagangan Senin (13/5/2019) pukul 14: 30 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak pengiriman Juli menguat hingga 0,81% ke level US$ 71,19/barel. Adapun harga minyak jenis light sweet (WTI) kontrak pengiriman Juni naik 0,31% menjadi US$ 61,85/barel.
Pada hari Senin (13/5/2019), Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih mengatakan bahwa dua dari empat kapal tanker yang diserang di perairan UEA adalah milik Arab Saudi, mengutip Reuters.
Meskipun serangan tersebut tidak mengakibatkan korban jiwa maupun kebocoran minyak, namun struktur dari dua kapal tanker milik Arab Saudi mengalami kerusakan yang parah.
Sebelumnya pada hari Minggu, (12/5/2019), otoritas UEA mengabarkan bahwa telah terjadi sabotase pada empat kapal tanker komersial di dekat perairan Fujairah, yang mana salah satu hub perdagangan international yang terbesar di sekitar Selat Hormuz. Namun pihaknya tidak membeberkan lebih lanjut dalang dibalik penyerangan tersebut.
Hingga saat ini otoritas UEA mengatakan bahwa proses investigasi sudah dilakukan dan masih berlangsung hingga berita ini diturunkan.
Adanya penyerangan tersebut membuat keamanan jalur perdagangan di Fujairah menjadi pertanyaan. Meningkatnya ketegangan yang terjadi di Timur Tengah menimbulkan kekhawatiran pasokan bisa mengalami gangguan.
Apalagi diketahui bahwa dua kapal tanker milik Arab Saudi yang diserang sedang dalam misi distribusi minyak ke Amerika Serikat (AS).
Bila rantai pasokan global terganggu, maka akan ada lebih banyak minyak yang sulit untuk didistribusikan. Alhasil keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) berisiko menjadi semakin kurus. Harga minyak pun diapresiasi oleh pelaku pasar.
Akan tetapi pasar minyak global juga masih mendapat tekanan dari kegagalan AS dan China mencapai sebuah kesepakatan dagang.
Pada hari Jumat (10/4/2019), pemerintah AS secara resmi telah meningkatkan bea impor produk China yang senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%).
Pihak AS mengatakan tindakan tersebut diambil karena China telah menarik komitmen di beberapa poin kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Meskipun hari Kamis dan Jumat (9-10/5/2019) Wakil Perdana Menteri China, Liu He telah berdialog dengan AS namun keputusan tersebut teryata tidak berubah. Pemerintah CHina pun mengatakan sudah mempersiapkan langkah serupa sebagai bentuk balasan.
Tampaknya memang skenario saling lempar tarif impor antara dua raksasa ekonomi dunia yang terjadi pada tahun lalu (2018) akan terulang. Kala itu terjadi, aliran perdagangan antara keduanya akan melambat dan menyebabkan gairah ekonomi semakin lesu. Apalagi diketahui bahwa keduanya merupakan mitra dagang yang terbesar satu sama lain.
Bila perekonomian AS dan China terus melambat, maka permintaan energi juga sulit untuk tumbuh bahkan berkurang. Mengutip Reuters, kedua negara tersebut menyumbang 34% dari konsumsi minyak mentah dunia pada kuartal I-2019, berdasarkan data Energy Information Administration (EIA).
Tentu saja itu bukan kabar yang baik bagi pasar minyak dunia, karena bisa membuat pasokan sulit untuk terserap. Keseimbangan fundamental pun berpotensi semakin terbebani dan menekan harga minyak.'
TIM RISET CNBC INDONESIA
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular