Semakin Terpuruk, Rupiah Terlemah Sejak 3 Januari!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
13 May 2019 10:18
Semakin Terpuruk, Rupiah Terlemah Sejak 3 Januari!
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka melemah 0,07% di pasar spot ke level Rp 14.330/dolar AS, pelemahan rupiah berangsur-angsur menjadi kian dalam. Pada pukul 09:45 WIB, pelemahan rupiah sudah mencapai 0,24% ke level Rp 14.355/dolar AS. Rupiah kini ditransaksikan di level terlemahnya sejak 3 Januari silam.


Rupiah tak melemah sendirian. Tercatat, hanya yen yang juga merupakan safe haven yang mampu membukukan penguatan melawan dolar AS. Terlihat bahwa pelaku pasar sedang bermain aman pada hari ini.


Pelaku pasar memasang mode defensif seiring dengan negosiasi dagang AS-China yang tak berbuah manis. Sebagai informasi, pada hari Kamis dan Jumat pekan lalu (9-10 Mei) delegasi China menyambangi delegasi AS di Washington untuk mencoba mengakhiri perang dagang yang sudah berlangsung nyaris 1 tahun.

Dalam negosiasi kali ini, delegasi AS dipimpin oleh Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara delegasi China dikomandoi oleh Wakil Perdana Menteri Liu He.

Kedua negara kemudian mengakhiri negosiasi selama 2 hari tersebut tanpa menandatangani kesepakatan dagang. Liu He menyebut bahwa ada 3 perbedaan mendasar yang membuat kesepakatan dagang belum bisa diteken.

Seperti dilansir dari Reuters, salah satu perbedaan yang dimaksud adalah terkait dengan pengenaan bea masuk. China berpendapat bahwa jika kedua belah pihak ingin meneken kesepakatan, maka seluruh bea masuk harus dihapuskan.

Perbedaan kedua adalah terkait dengan volume pembelian barang-barang AS oleh China, sementara yang ketiga adalah terkait dengan bahasa yang akan digunakan dalam teks kesepakatan dagang kedua negara.

"Setiap negara memiliki martabatnya sendiri, jadi teksnya harus berimbang," papar Liu He, dilansir dari Reuters.

Bukannya mendingin, perang dagang kedua negara bahkan menjadi memanas. Di tengah-tengah negosiasi yang digelar, AS secara resmi menaikkan bea masuk atas importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25%.

Lebih lanjut, Trump diketahui sudah memerintahkan Lighthizer untuk memulai proses guna mengenakan bea masuk senilai 25% bagi produk impor asal China senilai US$ 325 miliar yang hingga kini belum terdampak oleh perang dagang.

Pihak Beijing pun tak tinggal diam. Dalam sebuah rekaman video, Liu He mengatakan kepada beberapa reporter asal China bahwa pihaknya secara tegas menolak kenaikan bea masuk yang dieksekusi AS menjelang akhir pekan kemarin dan pihaknya tak punya pilihan lain selain membalas, dilansir dari Reuters.

Sejatinya, negosiasi dagang AS-China pada pekan lalu tak sepenuhnya menyisakan cerita negatif. Walaupun berakhir tanpa kesepakatan, Trump dan Mnuchin menyebutkan bahwa negosiasi dagang antara AS dan China berakhir 'konstruktif'. Dari pihak China, Wakil Perdana Menteri Liu He meyebut bahwa negosiasi berlangsung "cukup baik", menurut berbagai laporan yang dilansir dari CNBC International.

Lebih lanjut, Trump mengungkapkan secara gamblang bawa negosiasi akan tetap berlanjut dan bea masuk yang dibebankan terhadap produk impor asal China bisa saja dicabut.

"Dalam 2 hari terakhir, AS dan China telah mengadakan negosiasi yang tulus dan konstruktif terkait dengan hubungan dagang kedua negara. Hubungan antara Presiden Xi dan saya tetaplah sangat kuat dan negosiasi akan berlanjut di masa depan. Sementara itu, AS telah mengenakan bea masuk baru kepada China, yang mungkin akan dicabut tergantung dari hasil negosiasi di masa depan!" cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump pada tanggal 10 Mei.

Namun, perkembangan tersebut tak cukup untuk menghapus kekhawatiran pelaku pasar. Perang dagang sudah tereskalasi dan balasan dari China dalam waktu dekat siap diluncurkan. Dolar AS pun dengan mudah melibas mata uang negara-negara Asia.
Lebih lanjut, tekanan bagi rupiah datang dari dalam negeri yakni rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Pada hari Jumat, Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa NPI membukukan surplus senilai US$ 2,4 miliar pada 3 bulan pertama tahun ini.

Namun, transaksi berjalan (yang merupakan bagian dari NPI) membukukan defisit senilai US$ 7 miliar pada 3 bulan pertama tahun ini atau setara dengan 2,6% dari PDB. Memang lebih baik dibandingkan defisit pada kuartal-IV 2018 yang sebesar 3,6% dari PDB, namun melebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Jika defisit di awal tahun saja sudah lebih lebar, maka ada potensi bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan melebar. Praktis, rupiah menjadi kehilangan pijakan untuk menguat.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular