
Rupiah Kok Ngenes Amat Ya?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 May 2019 09:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah hampir tiga pekan rupiah merana. Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda rupiah bisa bangkit. Apa yang terjadi pada mata uang Tanah Air?
Pada Senin (6/5/2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.300. Rupiah melemah 0,35% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah melemah tetapi 'hanya' 0,14% dan dolar AS belum menyentuh Rp 14.300. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam.
Jika hari ini rupiah lagi-lagi gagal finis di zona hijau, maka rantai rupiah resmi tidak pernah menguat dalam 10 hari perdagangan terakhir. Sesuatu yang belum pernah terjadi sejak 2013.
Ada ada dengan rupiah? Mengapa mata uang Tanah Air begitu menderita?
Well, sentimen eksternal dan domestik memang sedang tidak berpihak kepada rupiah. Setelah libur Jumat Agung, mata uang Asia memang sulit berbicara banyak di hadapan dolar AS.
Sejak 19 April, rupiah terdepresiasi 1,85% terhadap greenback. Dalam periode yang sama, yuan China KO 1,25%, won Korea Selatan melemah 3,22%, dolar Singapura terdepresiasi 0,72%, dan ringgit Malaysia ambrol 6,94%.
Pekan lalu, mata uang utama Benua Kuning begitu menderita gara-gara hasil keputusan rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserve/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). Jerome 'Jay' Powell dan kolega memang mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% seperti yang sudah diperkirakan pasar. Namun pernyataan yang menyertai keputusan tersebut yang di luar dugaan.
"Kami merasa stance kebijakan kami masih layak dipertahankan saat ini. Kami tidak melihat ada tanda-tanda yang kuat untuk menuju ke arah sebaliknya. Saya melihat kita dalam jalur yang benar.
"Pasar tenaga kerja tetap kuat. Ekonomi juga tumbuh solid. Apa yang kami putuskan hari ini sebaiknya tidak dibaca sebagai sinyal perubahan kebijakan pada masa mendatang," tegas Powell dalam konferensi pers usai rapat, mengutip Reuters.
Komentar yang jauh dari kesan dovish ini benar-benar di tidak terbayangkan sebelumnya. Pelaku pasar awalnya menduga The Fed kembali melontarkan pernyataan bernada kalem, bahkan mengarah ke penurunan suku bunga acuan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. The Fed malah begitu tegas menyatakan bahwa kebijakan suku bunga saat ini sudah tepat, dan jangan diartikan The Fed membuka peluang untuk mengubahnya.
Sentimen ini menjadi suntikan adrenalin bagi dolar AS. Belum adanya penurunan suku bunga acuan, setidaknya dalam waktu dekat, masih akan membuat berinvestasi di dolar AS cukup menguntungkan.
Hari ini, rupiah dkk juga masih diselimuti awan mendung gara-gara ulah Presiden AS Donald Trump. Meski dialog di Washington pekan lalu menelurkan hasil positif, tetapi Trump ternyata tetap akan menaikkan bea masuk untuk importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Tidak hanya itu, Trump pun menegaskan siap untuk menerapkan bea masuk untuk impor produk made in China senilai US$ 325 miliar.
"Selama 10 bulan terakhir, China membayar bea masuk 25% untuk importasi produk-produk high-tech senilai US$ 50 miliar dan 10% untuk produk-produk lain senilai US$ 200 miliar Pembayaran ini sedikit banyak berperan dalam data-data ekonomi kita yang bagus. Jadi yang 10% akan naik menjadi 25% pada Jumat. Sementara US$ 325 miliar importasi produk-produk China belum kena bea masuk, tetapi dalam waktu dekat akan dikenakan 25%. Bea masuk ini berdampak kecil terhadap harga produk. Dialog dagang tetap berlanjut, tetapi terlalu lamban, karena mereka berupaya melakukan renegosiasi. Tidak!" cuit Trump di Twitter.
Apabila Trump jadi mengeksekusi kenaikan bea masuk, maka kemungkinan besar China akan membalas dengan kebijakan yang sama. Damai dagang yang sampai pekan lalu terasa begitu dekat kini kembali menjauh. Bahkan perang dagang berisiko kembali bergelora.
Sentimen ini membuat pelaku pasar lagi-lagi memilih dolar AS (dan instrumen aman lainnya seperti yen Jepang) sebagai pelarian. Pada pukul 09:24 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,01%. Dalam tiga bulan terakhir, indeks ini melesat dengan penguatan 1,75%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sementara dari dalam negeri, rilis data inflasi April malah menjadi beban bagi gerak rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi April sebesar 0,44% month-on-month (MoM) dan 2,83% year-on-year (YoY). Di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 0,3% MoM dan 2,665% YoY.
Inflasi yang di atas ekspektasi membuat investor merasa agak kurang nyaman. Sebab pada Mei dan Juni, laju inflasi dipastikan lebih kencang lagi karena momentum Ramadan-Idul Fitri. Ini tentu akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga, komponen utama pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB).
Selain itu, pelaku pasar juga bisa jadi cemas terhadap perkembangan politik pasca Pemilu 2019. Dalam perhitungan riil Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin masih memimpin perolehan suara. Namun kubu pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terus menyuarakan penolakan, dan menilai hasil perolehan suara tidak sah karena banyak kecurangan.
Perkembangan ini dikhawatirkan bisa mendelegitimasi hasil Pemilu. Jadi apa pun hasil akhirnya nanti, gaduh politik sepertinya masih belum mereda bahkan semakin kencang.
Seperti halnya inflasi yang di atas ekspektasi, ribut-ribut politik yang belum kelihatan ujungnya ini bisa membuat investor merasa kurang nyaman. Akibatnya rupia pun tertekan dan terus melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Senin (6/5/2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.300. Rupiah melemah 0,35% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah melemah tetapi 'hanya' 0,14% dan dolar AS belum menyentuh Rp 14.300. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam.
Jika hari ini rupiah lagi-lagi gagal finis di zona hijau, maka rantai rupiah resmi tidak pernah menguat dalam 10 hari perdagangan terakhir. Sesuatu yang belum pernah terjadi sejak 2013.
Ada ada dengan rupiah? Mengapa mata uang Tanah Air begitu menderita?
Well, sentimen eksternal dan domestik memang sedang tidak berpihak kepada rupiah. Setelah libur Jumat Agung, mata uang Asia memang sulit berbicara banyak di hadapan dolar AS.
Sejak 19 April, rupiah terdepresiasi 1,85% terhadap greenback. Dalam periode yang sama, yuan China KO 1,25%, won Korea Selatan melemah 3,22%, dolar Singapura terdepresiasi 0,72%, dan ringgit Malaysia ambrol 6,94%.
Pekan lalu, mata uang utama Benua Kuning begitu menderita gara-gara hasil keputusan rapat komite pengambil kebijakan The Federal Reserve/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). Jerome 'Jay' Powell dan kolega memang mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% seperti yang sudah diperkirakan pasar. Namun pernyataan yang menyertai keputusan tersebut yang di luar dugaan.
"Kami merasa stance kebijakan kami masih layak dipertahankan saat ini. Kami tidak melihat ada tanda-tanda yang kuat untuk menuju ke arah sebaliknya. Saya melihat kita dalam jalur yang benar.
"Pasar tenaga kerja tetap kuat. Ekonomi juga tumbuh solid. Apa yang kami putuskan hari ini sebaiknya tidak dibaca sebagai sinyal perubahan kebijakan pada masa mendatang," tegas Powell dalam konferensi pers usai rapat, mengutip Reuters.
Komentar yang jauh dari kesan dovish ini benar-benar di tidak terbayangkan sebelumnya. Pelaku pasar awalnya menduga The Fed kembali melontarkan pernyataan bernada kalem, bahkan mengarah ke penurunan suku bunga acuan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. The Fed malah begitu tegas menyatakan bahwa kebijakan suku bunga saat ini sudah tepat, dan jangan diartikan The Fed membuka peluang untuk mengubahnya.
Sentimen ini menjadi suntikan adrenalin bagi dolar AS. Belum adanya penurunan suku bunga acuan, setidaknya dalam waktu dekat, masih akan membuat berinvestasi di dolar AS cukup menguntungkan.
Hari ini, rupiah dkk juga masih diselimuti awan mendung gara-gara ulah Presiden AS Donald Trump. Meski dialog di Washington pekan lalu menelurkan hasil positif, tetapi Trump ternyata tetap akan menaikkan bea masuk untuk importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Tidak hanya itu, Trump pun menegaskan siap untuk menerapkan bea masuk untuk impor produk made in China senilai US$ 325 miliar.
"Selama 10 bulan terakhir, China membayar bea masuk 25% untuk importasi produk-produk high-tech senilai US$ 50 miliar dan 10% untuk produk-produk lain senilai US$ 200 miliar Pembayaran ini sedikit banyak berperan dalam data-data ekonomi kita yang bagus. Jadi yang 10% akan naik menjadi 25% pada Jumat. Sementara US$ 325 miliar importasi produk-produk China belum kena bea masuk, tetapi dalam waktu dekat akan dikenakan 25%. Bea masuk ini berdampak kecil terhadap harga produk. Dialog dagang tetap berlanjut, tetapi terlalu lamban, karena mereka berupaya melakukan renegosiasi. Tidak!" cuit Trump di Twitter.
Apabila Trump jadi mengeksekusi kenaikan bea masuk, maka kemungkinan besar China akan membalas dengan kebijakan yang sama. Damai dagang yang sampai pekan lalu terasa begitu dekat kini kembali menjauh. Bahkan perang dagang berisiko kembali bergelora.
Sentimen ini membuat pelaku pasar lagi-lagi memilih dolar AS (dan instrumen aman lainnya seperti yen Jepang) sebagai pelarian. Pada pukul 09:24 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,01%. Dalam tiga bulan terakhir, indeks ini melesat dengan penguatan 1,75%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sementara dari dalam negeri, rilis data inflasi April malah menjadi beban bagi gerak rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi April sebesar 0,44% month-on-month (MoM) dan 2,83% year-on-year (YoY). Di atas konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 0,3% MoM dan 2,665% YoY.
Inflasi yang di atas ekspektasi membuat investor merasa agak kurang nyaman. Sebab pada Mei dan Juni, laju inflasi dipastikan lebih kencang lagi karena momentum Ramadan-Idul Fitri. Ini tentu akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga, komponen utama pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB).
Selain itu, pelaku pasar juga bisa jadi cemas terhadap perkembangan politik pasca Pemilu 2019. Dalam perhitungan riil Komisi Pemilihan Umum (KPU), pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin masih memimpin perolehan suara. Namun kubu pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terus menyuarakan penolakan, dan menilai hasil perolehan suara tidak sah karena banyak kecurangan.
Perkembangan ini dikhawatirkan bisa mendelegitimasi hasil Pemilu. Jadi apa pun hasil akhirnya nanti, gaduh politik sepertinya masih belum mereda bahkan semakin kencang.
Seperti halnya inflasi yang di atas ekspektasi, ribut-ribut politik yang belum kelihatan ujungnya ini bisa membuat investor merasa kurang nyaman. Akibatnya rupia pun tertekan dan terus melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular