Dolar Terlalu Perkasa, Rupiah Terlemah Ketiga di Asia

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
03 May 2019 14:06
Dolar Terlalu Perkasa, Rupiah Terlemah Ketiga di Asia
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini mata uang Merah Putih, rupiah tak berdaya melawan keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS).

Pasalnya pada hari Jumat (3/5/2019) hingga pukul 13:00 WIB, 1 US$ masih setara dengan Rp 14.275, atau melemah 30 poin atau 0,21% dibanding posisi penutupan perdagangan kemarin (2/5/2019).

Bukan hanya melemah, hari ini rupiah juga menjadi yang paling lemah ketiga di antara mata uang utama Benua Kuning lainnya. Hanya yen Jepang, dolar Taiwan, dan rupee India saja yang masih bisa melawan dolar AS hari ini.



Pelemahan rupiah hari ini sebenarnya memang sudah dapat diprediksi sebelum pembukaan pasar spot. Pagi hari tadi, kurs rupiah di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF) pada semua periode terpantau melemah. Biasanya, pergerakan kurs rupiah di pasar NDF akan searah dengan pergerakan kurs di pasar spot.

Maklum, hari ini tampaknya memang dolar sedang berada di atas angin. Terbukti dengan nilai Dolar Index (DXY) yang masih stagnan di posisi 97,83 setelah menguat hingga 0,36% sejak hari Selasa (30/4/2019).

Keperkasaan dolar AS mulai membucah setelah kemarin Bank Sentral AS, The Fed terindikasi berhenti memasang sikap (stance) kalem (dovish).

Usai menggelar rapat bulanan kemarin, The Fed mengumumkan suku bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR) yang ditahan pada kisaran 2,25%-2,5%. Sebenarnya itu sudah diprediksi oleh sebagian besar pelaku pasar sebelumnya. Hal yang mengejutkan adalah pidato Gubernur The Fed, Jerome Powell yang ditafsirkan agak agresif (hawkish).

"Kami merasa stance kebijakan kami masih layak dipertahankan saat ini. Kami tidak melihat ada tanda-tanda yang kuat untuk menuju ke arah sebaliknya. Saya melihat kita dalam jalur yang benar.

"Pasar tenaga kerja tetap kuat. Ekonomi juga tumbuh solid. Apa yang kami putuskan hari ini sebaiknya tidak dibaca sebagai sinyal perubahan kebijakan pada masa mendatang," tegas Powell dalam konferensi pers usai rapat, mengutip Reuters.

Kalimat tersebut seakan meruntuhkan harapan pelaku pasar akan penurunan suku bunga tahun ini.

Mengutip CME Fedwatch, setelah Powell berpidato, probabilitas FFR turun tahun ini terpangkas menjadi tinggal 38%. Padahal pada 26 April 2019, peluangnya masih sebesar 41,1%.

Sehari berselang, rilis data ekonomi AS membuat peluang FFR turun 25 bps semakin sirna.

Pemesanan barang dari pabrikan AS periode April diumumkan naik hingga 1,9% dibanding bulan sebelumnya (month-on month/MoM), lebih tinggi dibanding prediksi konsensus yang sebesar 1%, mengutip Trading Economics. Capaian tersebut juga jauh membaik dibanding bulan Februari yang kala itu pesanan pabrik terkontraksi hingga 0,3%.

Hal itu merupakan pertanda bahwa perekonomian AS sudah bergerak maju. Perlambatan ekonomi yang selama ini membuat aktivitas pabrik lesu sudah melewati titik terendahnya.

Data tersebut juga makin membuat pelaku pasar yakin The Fed makin agresif ke depannya. Opsi penurunan suku bunga makin pudar.

Suku bunga memang menjadi basis energi dolar. Bila nilainya ditahan, maka risiko koreksi nilai aset berbasis dolar pun mengecil. Suatu pemantik yang bisa menggiring pelaku pasar untuk mengoleksi dolar kala perekonomian global sedang tak kondusif.

Nasib damai dagang AS-China yang sudah di ujung tanduk membuat gairah investasi pada aset berisiko di pasar negara berkembang hari ini agak kurang.

Pasalnya pelaku pasar dibuat kecewa setelah sebelumnya berharap keputusan damai dagang diumumkan hari ini.

Seperti diketahui sejak hari Selasa (30/4/2019), Kepala Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer dan Menteri keuangan AS, Steven Mnuchin terbang ke Beijing untuk melakukan dialog tatap muka dengan delegasi China yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri, Liu He.

Mengutip CNBC International, Kamis (2/5/2019), beberapa sumber mengatakan bahwa kesepakatan dagang antara AS-China bisa diumumkan hari ini.

Politico juga melaporkan bahwa kesepakatan dagang AS-China akan membuat AS mencabut bea masuk sebesar 10% yang dibebankan kepada US$ 200 miliar produk impor asal China. Sementara itu, bea masuk senilai 25% terhadap produk impor asal Negeri Panda senilai US$ 50 miliar akan tetap dipertahankan hingga selepas pemilihan presiden tahun 2020.

Akan tetapi hari ini Juru Bicara Gedung Putih, Sarah Sanders menampik kabar tersebut. Dirinya mengatakan bahwa Presiden AS, Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping baru akan memutuskan kesepakatan setelah akhir dari negosiasi pekan depan. Artinya, baik China maupun AS masih belum memutuskan akan mengambil kesepakatan atau tidak. Peluang damai dagang AS-China gagal pun masih ada.

Bila benar gagal, maka dua raksasa ekonomi dunia akan kembali perang bea impor. Bahkan Trump sudah bermaklumat akan meningkatkan bea impor produk China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%) bila tidak ada kesepakatan apapun.

Akibatnya, rantai pasokan global (sekali lagi) akan terhambat. Perlambatan ekonomi yang dipicu perang dagang tahun lalu bisa terulang.

Dalam kondisi ini, pelaku pasar jelas kehilangan nafsu berinvestasi pada aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Berkat Surplus Transaksi Berjalan, Rupiah Menguat Pekan Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular