
Aneh! Bursa Regional Hijau, IHSG Terperangkap di Zona Merah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 April 2019 09:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan pertama di pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh sebesar 0,2% ke level 6.388,38. Pada pukul 9:15 WIB, pelemahan IHSG sudah menjadi bertambah dalam yakni sebesar 0,31% ke level 6.381,38.
IHSG melemah kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia sedang ditransaksikan di zona hijau: indeks Hang Seng naik 0,22%, indeks Straits Times naik 0,7%, dan indeks Kospi naik 0,33%.
Optimisme bahwa perekonomian AS tak akan mengalami hard landing membuat aksi beli dilakukan investor di bursa saham Benua Kuning.
Menjelang akhir pekan kemarin, pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan sebesar 3,2% (QoQ annualized), jauh di atas konsensus dan capaian kuartal sebelumnya yang hanya sebesar 2,2%, seperti dilansir dari Forex Factory.
Rilis data tersebut melengkapi rangkaian rilis data ekonomi AS sebelumnya yang juga oke. Pemesanan barang-barang tahan lama (durable goods) diumumkan naik 2,7% MoM pada bulan Maret, menandai kenaikan tertinggi sejak Agustus 2018 dan jauh mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,7% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.
Kemudian, pemesanan barang-barang tahan lama inti (mengeluarkan komponen transportasi) naik 0,4% secara bulanan, juga di atas konsensus yang sebesar 0,2%, dilansir dari Forex Factory.
Lebih lanjut, penjualan barang-barang ritel periode Maret 2019 diumumkan naik sebesar 1,6% secara bulanan, menandai kenaikan tertinggi sejak September 2017 dan jauh membaik dibandingkan capaian bulan Februari yakni kontraksi sebesar 0,2%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,9% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sebagai informasi, belum lama ini International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun 2019 menjadi 2,3%, dari yang sebelumnya 2,5% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%.
Ketika perekonomian AS berada dalam kondisi yang kuat, tentu negara-negara lain akan ikut merasakan dampak positifnya, mengingat posisi AS sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia. Pelemahan rupiah menjadi momok bagi pasar saham Indonesia pada hari ini. Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, mata uang Garuda melemah 0,04% ke level Rp 14.185/dolar AS. Hingga berita ini diturunkan, posisinya masih sama.
Jika bertahan hingga akhir perdagangan, maka rupiah resmi tak pernah mencetak apresiasi dalam 6 hari perdagangan terakhir. Kali terakhir rupiah menguat adalah sehari selepas gelaran pemilihan umum atau pada tanggal 18 April silam. Selepas itu, rupiah ditransaksikan melemah atau setidaknya flat.
Walaupun direspons positif di bursa saham regional, kinclongnya data ekonomi AS menjadi petaka bagi rupiah. Pasalnya, deretan data ekonomi yang kinclong tersebut membuat keyakinan bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas suku bunga acuan pada tahun ini menjadi memudar. Praktis, dolar AS menjadi memiliki daya tarik yang besar.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 28 April 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini adalah sebesar 40,8%, turun dari posisi bulan yang lalu sebesar 41,1%. Sementara itu, peluang pemangkasan sebesar 50 bps turun menjadi 18,3%, dari yang sebelumnya 23,3%.
Dari dalam negeri, tak ada suntikan energi bagi rupiah dari Bank Indonesia (BI). Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang hasilnya diumumkan pada hari Kamis lalu (25/4/2019) memutuskan bahwa 7 Day Reverse Repo Rate ditahan di level 6%.
Pelemahan rupiah pada akhirnya menyurutkan minat investor untuk berbelanja di pasar saham tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
IHSG melemah kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia sedang ditransaksikan di zona hijau: indeks Hang Seng naik 0,22%, indeks Straits Times naik 0,7%, dan indeks Kospi naik 0,33%.
Optimisme bahwa perekonomian AS tak akan mengalami hard landing membuat aksi beli dilakukan investor di bursa saham Benua Kuning.
Rilis data tersebut melengkapi rangkaian rilis data ekonomi AS sebelumnya yang juga oke. Pemesanan barang-barang tahan lama (durable goods) diumumkan naik 2,7% MoM pada bulan Maret, menandai kenaikan tertinggi sejak Agustus 2018 dan jauh mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,7% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.
Kemudian, pemesanan barang-barang tahan lama inti (mengeluarkan komponen transportasi) naik 0,4% secara bulanan, juga di atas konsensus yang sebesar 0,2%, dilansir dari Forex Factory.
Lebih lanjut, penjualan barang-barang ritel periode Maret 2019 diumumkan naik sebesar 1,6% secara bulanan, menandai kenaikan tertinggi sejak September 2017 dan jauh membaik dibandingkan capaian bulan Februari yakni kontraksi sebesar 0,2%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,9% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sebagai informasi, belum lama ini International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun 2019 menjadi 2,3%, dari yang sebelumnya 2,5% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%.
Ketika perekonomian AS berada dalam kondisi yang kuat, tentu negara-negara lain akan ikut merasakan dampak positifnya, mengingat posisi AS sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia. Pelemahan rupiah menjadi momok bagi pasar saham Indonesia pada hari ini. Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, mata uang Garuda melemah 0,04% ke level Rp 14.185/dolar AS. Hingga berita ini diturunkan, posisinya masih sama.
Jika bertahan hingga akhir perdagangan, maka rupiah resmi tak pernah mencetak apresiasi dalam 6 hari perdagangan terakhir. Kali terakhir rupiah menguat adalah sehari selepas gelaran pemilihan umum atau pada tanggal 18 April silam. Selepas itu, rupiah ditransaksikan melemah atau setidaknya flat.
Walaupun direspons positif di bursa saham regional, kinclongnya data ekonomi AS menjadi petaka bagi rupiah. Pasalnya, deretan data ekonomi yang kinclong tersebut membuat keyakinan bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas suku bunga acuan pada tahun ini menjadi memudar. Praktis, dolar AS menjadi memiliki daya tarik yang besar.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 28 April 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun ini adalah sebesar 40,8%, turun dari posisi bulan yang lalu sebesar 41,1%. Sementara itu, peluang pemangkasan sebesar 50 bps turun menjadi 18,3%, dari yang sebelumnya 23,3%.
Dari dalam negeri, tak ada suntikan energi bagi rupiah dari Bank Indonesia (BI). Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang hasilnya diumumkan pada hari Kamis lalu (25/4/2019) memutuskan bahwa 7 Day Reverse Repo Rate ditahan di level 6%.
Pelemahan rupiah pada akhirnya menyurutkan minat investor untuk berbelanja di pasar saham tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Most Popular