Investor Asing Jualan (Lagi), IHSG Jatuh 0,4% di Akhir Sesi I

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 April 2019 12:43
Investor Asing Jualan (Lagi), IHSG Jatuh 0,4% di Akhir Sesi I
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sempat melenggang di zona hijau, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru jatuh 0,4% per akhir sesi 1 ke level 6.436,73.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong pelemahan IHSG di antaranya: PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-6,2%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-1,3%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,71%), PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (-3,1%), dan PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,27%).

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,4%, indeks Shanghai turun 0,92%, indeks Hang Seng turun 0,85%, dan indeks Kospi turun 1,26%.

Sejatinya, bursa saham utama kawasan Asia sempat menghijau pada pagi hari lantaran aura damai dagang AS-China kian terasa. Pada 30 April mendatang, delegasi AS akan bertandang ke Beijing guna menggelar negosiasi dagang lanjutan dengan China.

Dalam pernyataan tertulisnya yang dirilis Selasa (23/4/2019) malam waktu setempat atau Rabu pagi waktu Indonesia, Gedung Putih mengatakan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan memimpin delegasi AS.

Dalam negosiasi ini, kedua belah pihak akan mendiskusikan beberapa isu krusial yang membuat kesepakatan dagang antar 2 negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia itu belum bisa dicapai hingga saat ini.

"Materi pembicaraan pekan depan akan mencakup isu-isu perdagangan termasuk hak kekayaan intelektual, alih teknologi paksa, halangan non-tarif, pertanian, jasa, pembelian, dan penegakan hukum," menurut pernyataan dari Gedung Putih.

Namun, ribut-ribut AS dengan Uni Eropa di bidang perdagangan kini terbukti lebih dominan dalam mendikte pergerakan bursa saham regional, termasuk Indonesia.

Melalui sebuah cuitan di Twitter, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan kegeramannya kepada Uni Eropa seiring dengan anjloknya laba bersih pabrikan motor Harley Davidson pada kuartal-I 2019 yang nyaris mencapai 27%.

Harley Davidson mengatakan bahwa menurunnya permintaan, biaya impor bahan baku yang lebih tinggi (karena bea masuk yang dikenakan AS), dan bea masuk yang dikenakan Uni Eropa terhadap produk perusahaan merupakan 3 faktor utama yang membebani bottom line mereka.

"Sangat tidak adil bagi AS. Kami akan membalas!" tegas Trump.

Lantas, perang dagang AS-Uni Eropa kian menjadi sebuah keniscayaan. Pasalnya, ancam-mengancam mengenakan bea masuk bukan kali ini saja terjadi. Beberapa waktu yang lalu, Trump mengungkapkan rencana untuk memberlakukan bea masuk bagi impor produk Uni Eropa senilai US$ 11 miliar.

Rencana tersebut dilandasi oleh kekesalannya yang menuding bahwa Uni Eropa memberikan subsidi yang kelewat besar kepada Airbus, yang dinilainya sebagai praktik persaingan tidak sehat.

"Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menemukan bahwa Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus yang kemudian mempengaruhi AS. Kami akan menerapkan bea masuk kepada (impor) produk Uni Eropa senilai US$ 11 miliar. Uni Eropa sudah mengambil keuntungan dari perdagangan dengan AS selama bertahun-tahun. Ini akan segera berakhir!" keluh Trump di Twitter pada tanggal 9 April.
Aksi jual yang dilakukan investor asing berperan besar dalam membuat IHSG terkapar di zona merah. Hingga akhir sesi 1, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 304,6 miliar di pasar saham tanah air. Pada perdagangan kemarin, investor asing juga membukukan jual bersih yakni senilai Rp 138,7 miliar.

Rupiah yang loyo membuat investor asing tak memiliki pilihan lain selain melakukan aksi jual. Hingga siang hari, rupiah melemah 0,25% di pasar spot ke level Rp 14.105/dolar AS. Kala rupiah melemah secara signifikan, investor asing berpotensi membukukan rugi dari selisih kurs sehingga wajar jika aksi jual di pasar saham dilakukan.

Memudarnya ekspektasi bahwa The Federal Reserve/The Fed selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini menjadi bensin yang membuat dolar AS mampu menaklukkan rupiah.

Kemarin (23/4/2019), penjualan rumah baru periode Maret 2019 diumumkan mencapai angka 692.000 unit (annualized), level tertinggi sejak November 2017.

Rilis data tersebut lantas melengkapi rangkaian rilis data ekonomi AS sebelumnya yang juga oke. Penjualan barang-barang ritel periode Maret 2019 diumumkan naik sebesar 1,6% secara bulanan, menandai kenaikan tertinggi sejak September 2017 dan jauh membaik dibandingkan capaian bulan Februari yakni kontraksi sebesar 0,2%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,9% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.

Kemudian, penjualan barang-barang ritel inti (mengeluarkan komponen mobil) periode Maret 2019 tumbuh sebesar 1,2% secara bulanan, membaik ketimbang bulan Februari yang minus 0,2%. Capaian tersebut juga juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,7% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.

Tak sampai disitu, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 13 April tercatat turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 207.000, dilansir dari Forex Factory.

Kala data ekonomi menunjukkan bahwa perekonomian AS sedang berada dalam posisi yang kuat, maka urgensi bagi The Fed untuk memangkas tingkat suku bunga acuan menjadi memudar. Praktis, dolar AS mendapatkan suntikan energi untuk menguat.

Lebih lanjut, kinerja mata uang Garuda juga dibebani oleh harga minyak mentah yang masih berada di level yang relatif tinggi, walaupun sejatinya ada koreksi pada hari ini. Hingga berita ini diturunkan, harga minyak WTI kontrak pengiriman bulan Mei melemah 0,51% ke level US$ 65,96/barel, sementara brent kontrak pengiriman bulan Juni turun 0,44% ke level US$ 74,18/barel.

Koreksi yang tipis saja pada hari ini membuat harga minyak tetap berada dalam posisi yang perkasa. Pasalnya dalam 2 hari perdagangan terakhir, harga minyak WTI sudah melejit 3,59%, sementara brent menguat 3,53%.

Kala harga minyak menguat, ada kemungkinan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan melebar, mengingat status Indonesia sebagai net importir minyak mentah.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan memang merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular