Rusia Masih Terlalu Menakutkan Bagi Harga Minyak

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
18 April 2019 17:11
Harga minyak mentah masih betah berada di zona merah pada perdagangan Kamis (18/4/2019) sore ini.
Foto: REUTERS/Yuri Kadobnov/Pool
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah masih betah berada di zona merah pada perdagangan Kamis (18/4/2019) sore ini. Pengurangan inventori minyak mentah Amerika Serikat (AS) telah gagal mengangkat harga lebih tinggi lagi.

Pada pukul 16:15 WIB, harga minyak Brent acuan kontrak Juni melemah sebesar 3,8% ke level US$ 71,35/barel. Sedangkan harga light sweet (WTI) juga terkoreksi 0,24% ke posisi US$ 63,61/barel.



Inventori minyak mentah AS pada akhir pekan lalu (12/4/2019) dibacakan turun sebesar 1,4 juta barel, seperti yang dilaporkan Energy Information Administration (EIA) dini hari tadi. Padahal konsensus pasar memprediksi adanya peningkatan sebesar 1,7 juta barel.

Seharusnya kabar tersebut membuat pasar mengapresiasi harga minyak. Namun kenyataannya tidak.

Sebab jika dicermati lebih lanjut, inventori bensin hanya turun 1,2 juta bare, lebih sedikit dibanding prediksi konsensus yang sebesar 2,1 juta barel. Pada saat yang sama, stok distilat (termasuk bensin dan minyak bakar) juga hanya berkurang 362 ribu barel, lebih kecil dibanding prediksi yang sebesar 846 ribu barel.

Artinya, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Negeri Paman Sam masih terlihat lesu. Menyebabkan permintaan minyak mentah di kilang-kilang pengolahan juga tak akan meningkat pesat untuk waktu dekat. Setidaknya pekan ini.

"Berkurangnya stok minyak mentah AS yang besar diimbangi oleh stok bensin yang tak terkuras sesuai dengan yang diharapkan," ujar Abhishek Kumar, kepala analis Interfax Energi di London, mengutip Reuters.

Alhasil sentimen perkembangan stok minyak AS tak mampu menahan tekanan sentimen negatif. Dalam hal ini, gelagat Rusia untuk meningkatkan produksi masih memberi beban yang kuat pada harga minyak.

Seorang pejabat Gazprom Neft, yang merupakan perusahaan minyak Rusia memprediksi kesepakatan pemangkasan produksi minyak OPEC+ (OPEC dan sekutunya) akan berakhir pada tengah tahun 2019.

"Dalam proyeksi tahun ini, kami mengasumsikan kesepakatan [pemangkasan produksi minyak] akan efektif hingga tengah tahun. Dengan begitu, produksi minyak kami akan meningkat 1,5% dibanding tahun lalu," ujar Vadim Yakovev, Deputi CEO GAzprom Neft, mengutip Reuters, Rabu (17/4/2019).

Masih dari sumber yang sama, Menteri Energi Rusia, Alexander Novak pun mengatakan bahwa produksi minyak Negeri Beruang Merah akan ditingkatkan apabila tidak ada kesepakatan baru dengan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) hingga tanggal 1 Juli 2019.

"Tahun ini [2019] kami memperkirakan [produksi minyak] akan mirip dengan tahun lalu, mungkin sedikit lebih tinggi," ujar Novak kepada reporter, Jumat (5/4/2019).

Bila benar Rusia, atau bahkan juga OPEC meningkatkan produksi minyak, maka akan jadi peristiwa yang bisa menghancurkan harga minyak.

Pasalnya Rusia merupakan negara produsen minyak terbesar kedua di dunia. Bersaing ketat dengan AS dan Arab Saudi. Pada bulan Maret, produksi minyak mentah Rusia mencapai 11,3 juta barel/hari.



Apalagi produksi minyak di AS juga terpantau terus meningkat. Minggu lalu bahkan telah menyentuh 12,2 juta barel/hari, dan merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah Negeri Koboi.

Saat produksi balik meningkat, banjir pasokan adalah hal yang sulit untuk dihindari. Harga minyak mau tak mau akan mengarah ke inti bumi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular