
Dibuka Optimistis, Bursa Saham Asia Berakhir Pesimistis
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 April 2019 17:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa saham utama kawasan Asia mengakhiri perdagangan pertama di pekan ini di zona merah: indeks Shanghai turun 0,34%, indeks Hang Seng turun 0,33%, dan indeks Straits Times turun 0,18%.
Kekhawatiran terkait dengan perlambatan ekonomi China membuat saham-saham di Benua Kuning dilego investor. Pada hari Rabu mendatang (17/4/2019), angka pertumbuhan ekonomi China periode kuartal-I 2019 akan dirilis.
Melansir Bloomberg, perekonomian China diperkirakan tumbuh sebesar 6,3% (annualized). Jika ini benar yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi China akan berada di kisaran tengah dari rentang yang ditetapkan pemerintahnya yakni 6%-6,5%.
Sebagai informasi, pemerintah China belum lama ini resmi memangkas target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 menjadi 6%-6,5%. Sebelumnya, target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dipatok di kisaran 6,5%. Pada tahun 2018, perekonomian China tumbuh hingga 6,6%.
Jika yang tercapai adalah pertumbuhan ekonomi di batas bawah, maka perekonomian China dapat dikatakan mengalami hard landing.
Sebelumnya, kekhawatiran bahwa perekonomian China akan mengalami hard landing kembali mencuat pasca data perdagangan internasional dirilis pada hari Jumat (12/4/2019). Ekspor China periode Maret 2019 diumumkan melesat hingga 14,2% secara tahunan, jauh di atas konsensus yang dihimpun Reuters sebesar 7,3%.
Namun, impor tercatat anjlok hingga 7,6% secara tahunan, jauh lebih dalam ketimbang konsensus yang memperkirakan koreksi sebesar 1,3% saja.
Perang dagang yang berkecamuk dengan AS terbukti masih menekan aktivitas perdagangan internasional China. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Di sisi lain, perkembangan negosiasi dagang AS-China sejatinya terbilang oke. Berbicara kepada reporter di sela-sela pertemuan IMF di Washington, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa AS terbuka untuk dikenakan sanksi jika pihaknya tak mematuhi kesepakatan dagang dengan China.
"Ada komitmen tertentu yang AS buat dalam kesepakatan ini, dan ada komitmen tertentu yang China buat," papar Mnuchin.
"Saya memperkirakan bahwa mekanisme penegakan berlaku untuk kedua belah pihak, bahwa kami berharap untuk mematuhi komitmen kami dan jika tidak, maka harus ada sanksi tertentu, dan hal yang sama berlaku untuk China," tambahnya.
Dengan sikap AS yang kian melunak tersebut, besar kemungkinan bahwa kesepakatan dagang AS-China bisa segera diteken dalam waktu dekat.
Namun ya itu tadi, kekhawatiran terkait dengan perlambatan ekonomi China membuat saham-saham di Benua Kuning dilego investor.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Hari Buruh, Beberapa Bursa Asia-Pasifik Dibuka Menguat
Kekhawatiran terkait dengan perlambatan ekonomi China membuat saham-saham di Benua Kuning dilego investor. Pada hari Rabu mendatang (17/4/2019), angka pertumbuhan ekonomi China periode kuartal-I 2019 akan dirilis.
Melansir Bloomberg, perekonomian China diperkirakan tumbuh sebesar 6,3% (annualized). Jika ini benar yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi China akan berada di kisaran tengah dari rentang yang ditetapkan pemerintahnya yakni 6%-6,5%.
Jika yang tercapai adalah pertumbuhan ekonomi di batas bawah, maka perekonomian China dapat dikatakan mengalami hard landing.
Sebelumnya, kekhawatiran bahwa perekonomian China akan mengalami hard landing kembali mencuat pasca data perdagangan internasional dirilis pada hari Jumat (12/4/2019). Ekspor China periode Maret 2019 diumumkan melesat hingga 14,2% secara tahunan, jauh di atas konsensus yang dihimpun Reuters sebesar 7,3%.
Namun, impor tercatat anjlok hingga 7,6% secara tahunan, jauh lebih dalam ketimbang konsensus yang memperkirakan koreksi sebesar 1,3% saja.
Perang dagang yang berkecamuk dengan AS terbukti masih menekan aktivitas perdagangan internasional China. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Di sisi lain, perkembangan negosiasi dagang AS-China sejatinya terbilang oke. Berbicara kepada reporter di sela-sela pertemuan IMF di Washington, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa AS terbuka untuk dikenakan sanksi jika pihaknya tak mematuhi kesepakatan dagang dengan China.
"Ada komitmen tertentu yang AS buat dalam kesepakatan ini, dan ada komitmen tertentu yang China buat," papar Mnuchin.
"Saya memperkirakan bahwa mekanisme penegakan berlaku untuk kedua belah pihak, bahwa kami berharap untuk mematuhi komitmen kami dan jika tidak, maka harus ada sanksi tertentu, dan hal yang sama berlaku untuk China," tambahnya.
Dengan sikap AS yang kian melunak tersebut, besar kemungkinan bahwa kesepakatan dagang AS-China bisa segera diteken dalam waktu dekat.
Namun ya itu tadi, kekhawatiran terkait dengan perlambatan ekonomi China membuat saham-saham di Benua Kuning dilego investor.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Hari Buruh, Beberapa Bursa Asia-Pasifik Dibuka Menguat
Most Popular