Setelah 5 Hari Perkasa, Rupiah Kini Tak Berdaya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 April 2019 12:32
Setelah 5 Hari Perkasa, Rupiah Kini Tak Berdaya
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini bergerak melemah di perdagangan pasar spot. Setelah menguat 5 hari berturut-turut, akhirnya rupiah melemah juga. 

Pada Senin (8/4/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.150. Rupiah melemah 0,21% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah tetapi masih tipis di 0,07%. Selepas itu, depresiasi rupiah semakin dalam. 

Sebelumnya, rupiah sudah melemah selama 5 hari beruntun di hadapan dolar AS. Oleh karena itu, rupiah jadi rentan terserang koreksi teknikal. Investor yang sudah merasa mendapat cuan yang lumayan pun melakukan ambil untung (profit taking) sehingga rupiah melemah. 

 


Selain faktor domestik itu, pelemahan rupiah juga disebabkan sentimen eksternal karena dolar AS memang tengah perkasa di Asia. Ya, hampir seluruh mata uang Asia tidak berdaya melawan greenback. Hanya yen Jepang yang masih mampu menguat, sisanya tidak selamat. 

Bahkan depresiasi rupiah tidak ada apa-apanya dibandingkan beberapa mata uang lain. Won Korea Selatan menjadi mata uang terlemah di Benua Kuning, disusul oleh rupee India dan peso Filipina di posisi ketiga terbawah. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:11 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sepertinya investor sedang tidak berpihak ke Asia. Tidak hanya di pasar valas, bursa saham Asia pun terlihat gloomy

Pada pukul 12:14 WIB, indeks Nikkei 225 terkoreksi 0,15%, Shanghai Composite minus 0,09%, Kospi turun 0,13%, dan Straits Times melemah 0,27%. Bahkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,17% pada penutupan Sesi I. 

Ada kemungkinan investor merealisasikan keuntungan yang didapat pekan lalu. Maklum, selama minggu lalu pasar keuangan Asia bergairah karena ditopang isu damai dagang AS-China. 

Pekan ini dialog dagang Washington-Beijing kembali berlanjut, tetapi melalui video conference. Sejauh ini belum ada kabar terbaru seputar perundingan tersebut, sehingga menjadi 'pelatuk' bagi pelaku pasar untuk melakukan profit taking. Sembari menunggu kabar dialog dagang AS-China, investor pun memilih mundur untuk sementara.  

Selain itu, pelaku pasar juga cenderung memilih menaruh dana di dolar AS karena rilis data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam yang lumayan oke. Pada Maret, perekonomian AS menciptakan 196.000 lapangan kerja. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 180.000 dan juga dibandingkan posisi Februari yaitu 33.000 (direvisi dari sebelumnya 20.000). 

The Federal Reserve/The Fed dalam dot plot terbarunya memang memperkirakan tidak ada kenaikan suku bunga sampai akhir tahun. Namun perlu dicatat bahwa Jerome 'Jay' Powell dan kolega juga menyatakan tetap menunggu data-data ekonomi terbaru sambil menentukan langkah selanjutnya. 

Dengan data ketenagakerjaan (apalagi angka penciptaan lapangan kerja) yang terus positif, berarti ekonomi AS masih dalam fase ekspansi. Jika The Fed merasa ekspansi itu terlalu cepat sehingga berpotensi menyebabkan overheating, maka bukan tidak mungkin Federal Funds Rate akan kembali dinaikkan. 

Potensi kenaikan suku bunga acuan (meski kemungkinan besar tidak terjadi dalam waktu dekat) akan menjadi dorongan bagi laju dolar AS. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di dolar AS jadi semakin menarik, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap. 

Terbukti arus modal kini menyemut di sekitar surat utang pemerintahan Presiden Donald Trump. Pada pukul 12:20 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turun 0,9 basis poin ke 2,49%. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular