Catat! Ini Dia 5 Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 April 2019 21:05
Catat! Ini Dia 5 Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasca hanya naik tipis 0,08% sepanjang pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memiliki peluang untuk mencatatkan imbal hasil yang lebih oke pada pekan depan.

Namun, hal tersebut baru bisa terjadi jika sentimen dari dalam dan luar negeri mendukung.

Tim Riset CNBC Indonesia merangkum sejumlah sentimen yang berpotensi menentukan arah pergerakan IHSG pada pekan depan.

Aura Damai Dagang AS-China

Aura damai dagang antara AS dan China berpotensi membuat pelaku pasar mengincar instrumen berisiko seperti saham pada pekan depan. Sepanjang pekan ini, AS dan China menggelar negosiasi dagang selama 3 hari di Washington, pasca negosiasi digelar juga pada pekan lalu di Beijing.

Dalam negosiasi pekan ini di Washington, delegasi AS masih dipimpin oleh Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara delegasi China tetap dikomandoi oleh Liu He yang merupakan Wakil Perdana Menteri.

Liu He mengatakan bahwa sebuah konsensus baru terkait dengan teks kesepakatan dagang kedua negara telah dicapai, seperti dilaporkan oleh media milik pemerintah China Xinhua yang dikutip dari CNBC International.

Lebih lanjut, Presiden China Xi Jinping melalui sebuah pesan yang dititipkan kepada Liu He mengatakan kepada Presiden AS Donald Trump bahwa kedua belah pihak telah mencapai perkembangan yang baru dan substansial terkait dengan isu-isu penting bidang perdagangan dalam sebulan terakhir, masih dilaporkan oleh Xinhua yang dikutip dari CNBC International.

Xi mengatakan bahwa dirinya berharap kedua belah pihak akan terus bekerja bersama untuk menyelesaikan negosiasi terkait dengan teks kesepakatan dagang secepat mungkin.

Sebelumnya, Trump mengatakan bahwa kesepakatan dagang dengan China sudah semakin mendekati penyelesaian dan dapat diumumkan sekitar empat pekan lagi.

"Saya katakan kita akan tahu dalam empat pekan ke depan," kata Trump.

Sengkarut Brexit

Proses perceraian Inggris dan Uni Eropa atau yang dikenal dengan istilah Brexit (British Exit) menjadi semakin runyam saja. Hingga kini, proposal Brexit yang diajukan oleh Perdana Menteri Theresa May sudah ditolak sebanyak 3 kali oleh parlemen, sementara semua opsi alternatif juga sudah dimentahkan.

Jika pimpinan negara-negara Uni Eropa tak mengabulkan permintaan Inggris untuk memundurkan tanggal resmi dimulainya Brexit menjadi 30 Juni, maka Inggris berpotensi meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun (no-deal Brexit) pada tanggal 12 April.

Kalau sampai No-Deal Brexit benar terjadi, dampaknya dipastikan parah. Inggris dan Uni Eropa tak bisa lagi leluasa berdagang dengan tarif yang rendah atau tanpa tarif sama sekali seperti yang selama ini terjadi. Tarif dalam perdagangan Inggris-Uni Eropa akan mengacu kepada standar dari WTO yang pastinya lebih tinggi.

Jika dihitung, pada tahun 2018 ekspor Inggris ke 5 negara terbesar anggota Uni Eropa lainnya yakni Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, dan Belanda mencapai 17,1% dari total ekspor mereka. Dari sisi impor, kontribusi 5 negara tersebut dari total impor Inggris adalah sebesar 26,2%. Ingat, itu baru kontribusi dari 5 negara terbesar anggota Uni Eropa lainnya dan bukan dari seluruh anggota Uni Eropa.

Parahnya dampak dari No-Deal Brexit sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh Bank of England (BoE) selaku bank sentral Inggris. BoE telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mengakibatkan resesi.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.


(NEXT)

AS Diharapkan Tak Masuk Jurang Resesi

Kini, pelaku pasar nampaknya optimistis bahwa resesi tak akan menghampiri AS. Pasalnya dalam beberapa waktu terakhir, tepatnya semenjak 29 Maret, inversi pada obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun sudah tak lagi terjadi.

Sebelumnya, sinyal datangnya resesi di Negeri Paman Sam datang dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang menunjukkan adanya inversi. Pada tanggal 22 Maret lalu, terjadi inversi pada obligasi AS tenor 3 bulan dan 10 tahun.

Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan tanggal 22 Maret 2019, yield obligasi AS tenor 3 bulan berada di level 2,462%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,455%. Yield obligasi tenor 3 bulan lantas lebih tinggi sebesar 0,7 bps ketimbang tenor 10 tahun.

Per akhir perdagangan hari Jumat (5/4/2019), yield obligasi tenor 3 bulan berada di level 2,434%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,499%. Yield obligasi tenor 3 bulan adalah lebih rendah sebesar 6,5 bps ketimbang tenor 10 tahun.

Optimisme bahwa AS tak akan masuk ke jurang resesi salah satunya dipicu oleh rilis data tenaga kerja pada hari Jumat (5/4/2019) yang terbilang oke.

Sepanjang Maret 2019, data resmi pemerintah AS menunjukkan bahwa tercipta sebanyak 196.000 lapangan kerja di luar sektor pertanian, mengalahkan konsensus yang sebanyak 172.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, pada Februari 2019 pemerintah AS mencatat hanya tercipta 20.000 lapangan kerja di luar sektor pertanian, jauh di bawah ekspektasi yang sebanyak 180.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Seiring dengan kuatnya penciptaan lapangan kerja, tingkat pengangguran per akhir Maret bisa dijaga di level 3,8%, tak jauh dari level terendah dalam 1 dekade terakhir yang sebesar 3,7%.

Rilis Risalah Rapat The Fed

Pada hari Rabu (10/4/2019) waktu setempat atau Kamis (11/4/2019) waktu Indonesia, The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan merilis risalah dari pertemuan mereka pada bulan Maret.

Sekedar mengingatkan, dalam pertemuan bulan lalu, The Fed memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di level 2,25%-2,5%.

Tak hanya menahan tingkat suku bunga acuan, The Fed juga memangkas proyeksinya atas kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini. Kini, The Fed memproyeksikan bahwa suku bunga acuan tak akan dinaikkan sama sekali di tahun 2019. Padahal pada Desember 2018, diproyeksikan ada kenaikan sebesar 50 bps.

Jika dalam risalah rapat terungkap pandangan-pandangan lain dari anggota The Fed yang juga bernada dovish, maka pasar saham dunia bisa jadi akan bersuka cita.

Pasalnya, sikap dovish dari The Fed dipandang sebagai opsi yang terbaik kala ketidakpastian terkait perang dagang dan Brexit masih ada.

Suku bunga acuan yang rendah akan membuka ruang bagi perekonomian AS untuk melaju lebih kencang di tengah berbagai tantangan yang ada. Kala perekonomian AS melaju kencang, maka laju perekonomian dunia, termasuk Indonesia, akan ikut merasakan dampak positifnya.

Data Penjualan Ritel Indonesia

Pada hari Selasa (9/4/2019), Bank Indonesia (BI) dijadwalkan merilis angka pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Februari 2019.

Untuk periode Januari 2019, BI mencatat bahwa penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 9,4% YoY, jauh di atas capaian periode yang sama tahun lalu yakni pertumbuhan sebesar 3,7% YoY saja.

Lebih lanjut, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Februari 2019 berada di level 15,8% YoY, juga mengalahkan capaian periode yang sama tahun lalu yang sebesar 9,5% YoY.

Jika angka pertumbuhan penjualan barang-barang ritel kembali kinclong, maka aksi ambil untung atas saham-saham barang konsumsi bisa berhenti dan berbalik menjadi aksi beli.


TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/dru) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular