
Pasokan Semakin Ketat, Harga Minyak Terus Melesat
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
01 April 2019 16:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah pada perdagangan hari Senin (1/4/2019) masih terus menguat akibat pasokan di pasar dunia yang semakin ketat.
Hingga pukul 16:30 WIB, harga minyak Brent kontrak Juni melesat 1,45% ke posisi US$ 68,56/barel.
Adapun jenis light sweet (WTI) kontrak Mei juga menguat hingga 0,95% ke level US$ 60,71/barel.
Selama sepekan, harga Brent dan WT meroket masing-masing sebesar 1,98% dan 3,21% secara point-to-point. Sedangkan sejak awal tahun, keduanya telah terdongkrak dengan nilai rata-rata sebesar 30,55%.
Adanya sanksi dari Amerika Serikat (AS) kepada dua negara penghasil minyak, Iran dan Venezuela diprediksi akan membuat pasokan di pasar minyak global semakin ketat.
Pada Jumat (29/3/2019), Sigal Mandelker Menteri Muda dari Keuangan Terorisme dan Kecerdasan Finansial AS mengatakan bahwa Negeri Adidaya akan memberlakukan 'tekanan intensif' kepada Iran, mengutip Reuters.
Sebelumnya, AS telah memberlakukan sanksi atas program nuklir Negeri Persia yang melarang negara mitranya untuk membeli minyak asal Iran. Apabila melanggar, maka siap-siap untuk melahap sanksi dari AS.
Hal yang sama juga berlaku pada Venezuela, dimana AS berencana untuk memberlakukan sanksi secara 'penuh'.
Sebelum ini, Venezuela sudah mendapat sanksi yang melarang penduduk AS (baik perorangan maupun perusahaan) untuk melakukan transaksi minyak dengan Venezuela.
Peningkatan sanksi akan membuat negara-negara mitra AS tidak lagi bisa untuk membeli minyak dari Venezuela. Membuat stok minyak dunia akan semakin kekurangan pasokan.
Sebagai informasi, pada kondisi normal, ekspor minyak Venezuela mencapai 500.000 barel/hari. Sedangkan Iran sebesar 2,5 juta barel/hari.
Selain itu, pada hari Jumat (29/3/2019), lembaga resmi pemerintah Amerika Serikat (AS), Energy Information Administration (EIA) merevisi tingkat produksi minyak Negeri Paman Sam di bulan Januari menjadi hanya sebesar 11,87 juta barel/hari, atau turun dari bulan Desember yang sebesar 11,96 juta barel/hari.
Sebelum adanya revisi, EIA mencatat produksi minyak AS bulan Januari sebesar 12,1 juta barel/hari, yang yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah Negeri Koboi.
Dengan begitu, ketakutan banjir pasokan yang selalu ada di kepala pelaku pasar dapat sedikit diredam. Setidaknya untuk sementara waktu.
Adanya usaha dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya untuk memangkas produksi minyak sebesar 1,2 juta barel/hari juga masih memberi dorongan ke atas pada pergerakan harga minyak.
Usaha yang digadang-gadang mampu membuat pasokan menjadi lebih ketat tersebut masih akan berlangsung hingga tengah tahun ini. OPEC+ (OPEC dan sekutunya) akan kembali menggelar pertemuan pada bulan Juni di Wina, Austria untuk menentukan kebijakan produksi minyak ke depan.
Beberapa analis meyakini bahwa OPEC+ masih akan menahan produksi pada level yang rendah hingga akhir tahun 2019, mengutip Reuters.
Sentimen dari sisi permintaan pun juga memberi energi positif pada harga minyak.
Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Negeri Tirai Bambu periode Maret versi Caixin dibacakan di posisi 50,8 yang merupakan ekspansi pertama kali sejak November 2018.
Selain itu, konsensus yang berhasil dihimpun oleh Reuters memprediksi angkanya akan jatuh di posisi 50,1. Artinya aktivitas sektor manufaktur China telah membaik, bahkan melebihi prediksi pasar.
Sebagai informasi, angka PMI di atas 50 berarti terjadi ekspansi. Berlaku pula kebalikannya.
Hal senada juga terjadi pada PMI manufaktur China periode Maret versi pemerintah yang dibacakan sebesar 50,5 yang mana juga merupakan ekspansi pertama dalam empat bulan terakhir.
Ini berarti masih ada harapan ekonomi dunia kembali di gas pada tahun ini. Toh ternyata China sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-2 di dunia sudah menunjukkan gejala perbaikan.
Kala pertumbuhan ekonomi bisa dipercepat, maka permintaan energi pun kemungkinan besar juga terangkat. Pasalnya energi lah yang menjadi dasar dari aktivitas perekonomian.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Hingga pukul 16:30 WIB, harga minyak Brent kontrak Juni melesat 1,45% ke posisi US$ 68,56/barel.
Adapun jenis light sweet (WTI) kontrak Mei juga menguat hingga 0,95% ke level US$ 60,71/barel.
Adanya sanksi dari Amerika Serikat (AS) kepada dua negara penghasil minyak, Iran dan Venezuela diprediksi akan membuat pasokan di pasar minyak global semakin ketat.
Pada Jumat (29/3/2019), Sigal Mandelker Menteri Muda dari Keuangan Terorisme dan Kecerdasan Finansial AS mengatakan bahwa Negeri Adidaya akan memberlakukan 'tekanan intensif' kepada Iran, mengutip Reuters.
Sebelumnya, AS telah memberlakukan sanksi atas program nuklir Negeri Persia yang melarang negara mitranya untuk membeli minyak asal Iran. Apabila melanggar, maka siap-siap untuk melahap sanksi dari AS.
Hal yang sama juga berlaku pada Venezuela, dimana AS berencana untuk memberlakukan sanksi secara 'penuh'.
Sebelum ini, Venezuela sudah mendapat sanksi yang melarang penduduk AS (baik perorangan maupun perusahaan) untuk melakukan transaksi minyak dengan Venezuela.
Peningkatan sanksi akan membuat negara-negara mitra AS tidak lagi bisa untuk membeli minyak dari Venezuela. Membuat stok minyak dunia akan semakin kekurangan pasokan.
Sebagai informasi, pada kondisi normal, ekspor minyak Venezuela mencapai 500.000 barel/hari. Sedangkan Iran sebesar 2,5 juta barel/hari.
Selain itu, pada hari Jumat (29/3/2019), lembaga resmi pemerintah Amerika Serikat (AS), Energy Information Administration (EIA) merevisi tingkat produksi minyak Negeri Paman Sam di bulan Januari menjadi hanya sebesar 11,87 juta barel/hari, atau turun dari bulan Desember yang sebesar 11,96 juta barel/hari.
Sebelum adanya revisi, EIA mencatat produksi minyak AS bulan Januari sebesar 12,1 juta barel/hari, yang yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah Negeri Koboi.
Dengan begitu, ketakutan banjir pasokan yang selalu ada di kepala pelaku pasar dapat sedikit diredam. Setidaknya untuk sementara waktu.
Adanya usaha dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya untuk memangkas produksi minyak sebesar 1,2 juta barel/hari juga masih memberi dorongan ke atas pada pergerakan harga minyak.
Usaha yang digadang-gadang mampu membuat pasokan menjadi lebih ketat tersebut masih akan berlangsung hingga tengah tahun ini. OPEC+ (OPEC dan sekutunya) akan kembali menggelar pertemuan pada bulan Juni di Wina, Austria untuk menentukan kebijakan produksi minyak ke depan.
Beberapa analis meyakini bahwa OPEC+ masih akan menahan produksi pada level yang rendah hingga akhir tahun 2019, mengutip Reuters.
Sentimen dari sisi permintaan pun juga memberi energi positif pada harga minyak.
Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Negeri Tirai Bambu periode Maret versi Caixin dibacakan di posisi 50,8 yang merupakan ekspansi pertama kali sejak November 2018.
Selain itu, konsensus yang berhasil dihimpun oleh Reuters memprediksi angkanya akan jatuh di posisi 50,1. Artinya aktivitas sektor manufaktur China telah membaik, bahkan melebihi prediksi pasar.
Sebagai informasi, angka PMI di atas 50 berarti terjadi ekspansi. Berlaku pula kebalikannya.
Hal senada juga terjadi pada PMI manufaktur China periode Maret versi pemerintah yang dibacakan sebesar 50,5 yang mana juga merupakan ekspansi pertama dalam empat bulan terakhir.
Ini berarti masih ada harapan ekonomi dunia kembali di gas pada tahun ini. Toh ternyata China sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-2 di dunia sudah menunjukkan gejala perbaikan.
Kala pertumbuhan ekonomi bisa dipercepat, maka permintaan energi pun kemungkinan besar juga terangkat. Pasalnya energi lah yang menjadi dasar dari aktivitas perekonomian.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular