Rupiah Anteng Sikapi Data Inflasi, Ini Sebabnya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 April 2019 11:51
Rupiah Anteng Sikapi Data Inflasi, Ini Sebabnya
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini masih menguat di perdagangan pasar spot. Rupiah anteng, tidak bergerak setelah rilis data inflasi. 

Pada Senin (1/4/2019) pukul 11:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.225. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mulai mengumumkan rilis data inflasi Maret pada pukul 11:00 WIB. Pada Maret, BPS mencatat terjadi inflasi 0,11% secara bulanan (month-on-month/MoM) dan 2,48% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara inflasi inti berada di 3,03% YoY. 


Pencapaian ini tidak jauh dari ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi 0,12% MoM, 2,5% YoY, dan inflasi inti 3,055% YoY. 

Laju inflasi yang searah dengan ekspktasi pasar membuat rupiah minim dinamika. Tidak ada kejutan dari data inflasi yang bisa menyebabkan rupiah mengalami swing tajam. 

Dengan inflasi yang masih terkendali hingga bulan ketiga 2019, boleh jadi menjadi salah satu pertimbangan bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan. Beberapa waktu lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan peluang penurunan suku bunga acuan terbuka asalkan stabilitas ekonomi domestik terjaga. 

Baca: Pengumuman! BI Siap Turunkan Bunga Acuan, Asal...
Salah satu indikator stabilitas ekonomi adalah inflasi yang terjaga rendah dan stabil. Oleh karena itu, mungkin pelaku pasar boleh mulai berharap akan penurunan BI 7 Day Reserve Repo Rate meski ini masih tergantung pada satu data lagi yaitu transaksi berjalan (current account). 

Sembari mencerna data inflasi dan menerka-nerka arah kebijakan moneter BI ke depan, pelaku pasar sepertinya enggan terlalu agresif dalam mengoleksi aset-aset berbasis rupiah. Akibatnya rupiah hanya menguat terbatas, tidak seperti mata uang utama Asia lainnya.

Ya, mata uang utama Benua Kuning menguat lebih signifikan ketimbang rupiah. Won Korea Selatan menjadi mata uang terbaik di Asia, disusul oleh peso Filpina di posisi runner-up dan dolar Singapura di peringkat ketiga. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 11:23 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sejauh ini rupiah dkk di Asia berhasil memanfaatkan dolar AS yang sedang 'istirahat'. Pada pukul 11:25 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,11%. 

Dolar AS memang butuh rehat sejenak karena penguatannya sudah lumayan tajam. Dalam sepekan terakhir, penguatan Dollar Index mencapai 0,64% sementara dalam sebulan ke belakang kenaikannya adalah 0,68%. Reli yang sudah lumayan panjang tentu perlu koreksi agar pasar bergerak sehat, tidak terjadi penggelembungan nilai aset (aset bubble).  

Aksi ambil untung (profit taking) juga kebetulan ada pemicunya, yaitu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang sudah lagi mengalami inversi. Pada pukul 11:28 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan berada di 2,4166% sementara yang 10 tahun adalah 2,4369%.  

Yield tenor panjang sudah lebih tinggi dibandingkan yang tenor pendek. Situasi kembali normal, tidak ada lagi inversi (setidaknya untuk saat ini). 

Inversi yield tenor 3 bulan dan 10 tahun menjadi kekhawatiran utama pelaku pasar sepanjang pekan lalu. Maklum, inversi yield di dua seri ini menjadi sinyal terjadinya resesi.


Baca: Perhatian! Belajar dari Sejarah, AS Hampir Pasti Resesi


Dengan situasi yang berangsur normal, kecemasan akan resesi di Negeri Adidaya pun menipis. Investor bisa menghembuskan nafas lega, tetapi entah untuk berapa lama. 

Selain itu, dolar AS juga mundur teratur karena pernyataan bakal calon pejabat teras The Federal Reserve/The Fed, Stephen Moore. Salah satu penasihat keuangan Gedung Putih ini digadang-gadang akan diajukan oleh Presiden Donald Trump untuk mengisi salah satu posisi di Dewan Gubernur The Fed. 

Dalam wawancara dengan New York Times, Moore menegaskan bahwa The Fed bisa memangkas suku bunga acuan 50 basis poin (bps) dalam waktu dekat. Pasalnya, Moore menilai kenaikan Federal Funds Rate pada September dan Desember tahun lalu sebagai sebuah kesalahan yang harus dihapus. 

"Saya sangat marah, dan Bapak Presiden juga marah (dengan kenaikan suku bunga acuan). Kenaikan suku bunga acuan, apalagi pada Desember, tidak bisa dijelaskan. Harga komoditas sudah jatuh," tegas Moore. 

Jika Moore benar-benar masuk menjadi anggota Dewan Gubernur The Fed, maka kebijakan bank sentral AS ke depan diperkirakan semakin akomodatif. Penurunan Federal Funds Rate bisa saja menjadi kenyataan. 

Penurunan suku bunga acuan akan semakin membuat berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS kurang menarik. Akibatnya, langkah mata uang Negeri Paman Sam semakin berat karena tekanan jual.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular