
Ini Penyebab Rupiah Melemah Lagi Secara Mingguan dan Bulanan
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
30 March 2019 10:19

Jakarta, CNBC Indonesia - Senada dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang melemah, nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga terkulai sepanjang pekan ini, sebesar 0,53%, ke level 14.235 di pasar spot.
Penguatan tipis yang dibukukan pada Jumat kemarin sebesar 0,01% tidak cukup untuk mengembalikan kurs rupiah ke level yang lebih tinggi dibandingkan penutupan pada Jumat akhir pekan lalu sebesar Rp14.160/US$.
Di tengah sinyal positif negosiasi antara Amerika Serikat (AS) dan China terkait dengan perang dagang, tekanan terhadap rupiah masih besar yang menunjukkan minimnya kepercayaan pasar akan akhir "drama" kedua raksasa ekonomi dunia yang jadi mitra dagang utama Indonesia ini.
Sempat menguat tipis pada pembukaan, sebesar 0,01%, rupiah terpeleset ke zona merah dan akhirnya menyentuh garis finish dengan apresiasi 0,01%. Sepanjang pekan ini, penguatan hanya terjadi pada Jumat dan Selasa, dengan total penguatan 0,08%. Sementara, pelemahan menggelayuti rupiah di tiga hari lainnya dengan total depresiasi 0,62%.
Jika ditarik mundur sebulan, pelemahan pekan terakhir ini menyumbang koreksi sebesar 1,24% pada Maret sehingga melempar Mata Uang Garuda lebih jauh dari level psikologis 14.000. Sepanjang Februari, rupiah telah melemah 0,64% hingga nyaris menelan penguatan yang dicatatkan pada Januari sebesar 2,82%.
Terakhir rupiah berada di level psikologis 13.000 tahun ini adalah pada 26 Februari, yakni di 13.988. berlarut-larutnya perang dagang dan tren ke depan kenaikan harga minyak mentah dipastikan menjadi faktor eksternal yang menekan mata uang Republik ini.
Di dalam negeri, data-data ekonomi secara fundamental belum menopang penguatan rupiah. Neraca transaksi berjalan (per Desember 2018) masih mencatatkan defisit (current account deficit), demikian juga dengan neraca perdagangan dua bulan ini yang secara akumulatif masih defisit sebesar US$830 juta.
Karenanya, penguatan rupiah secara teknis bergantung pada aliran modal portofolio (hot money) dan juga intervensi Bank Indonesia (BI), di tengah belum adanya gelagat aliran masuk investasi langsung (foreign direct investment/FDI) dalam skala massif jelang Pemilu.
Tidak heran, rupiah sangat rentan dengan sentimen negatif eksternal. Kemajuan negosiasi dagang yang ditunjukkan oleh AS dan China pun tidak cukup memompa pembelian rupiah di pasar spot karena tetap belum menunjukkan adanya kejelasan berakhirnya perang dagang.
Di sisi lain, kenaikan harga minyak mentah dunia akan mendorong Pertamina membeli dolar dalam jumlah lebih besar yang berujung pada tertekannya mata uang nasional ini di pasar spot. Terutama, di tengah musim pembagian dividen yang berlangsung pada Maret-April.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/gus) Next Article Pukul 11:00: Kurs Rupiah Balik Lagi ke Level Rp 14.065/US$
Penguatan tipis yang dibukukan pada Jumat kemarin sebesar 0,01% tidak cukup untuk mengembalikan kurs rupiah ke level yang lebih tinggi dibandingkan penutupan pada Jumat akhir pekan lalu sebesar Rp14.160/US$.
Di tengah sinyal positif negosiasi antara Amerika Serikat (AS) dan China terkait dengan perang dagang, tekanan terhadap rupiah masih besar yang menunjukkan minimnya kepercayaan pasar akan akhir "drama" kedua raksasa ekonomi dunia yang jadi mitra dagang utama Indonesia ini.
Jika ditarik mundur sebulan, pelemahan pekan terakhir ini menyumbang koreksi sebesar 1,24% pada Maret sehingga melempar Mata Uang Garuda lebih jauh dari level psikologis 14.000. Sepanjang Februari, rupiah telah melemah 0,64% hingga nyaris menelan penguatan yang dicatatkan pada Januari sebesar 2,82%.
Terakhir rupiah berada di level psikologis 13.000 tahun ini adalah pada 26 Februari, yakni di 13.988. berlarut-larutnya perang dagang dan tren ke depan kenaikan harga minyak mentah dipastikan menjadi faktor eksternal yang menekan mata uang Republik ini.
Di dalam negeri, data-data ekonomi secara fundamental belum menopang penguatan rupiah. Neraca transaksi berjalan (per Desember 2018) masih mencatatkan defisit (current account deficit), demikian juga dengan neraca perdagangan dua bulan ini yang secara akumulatif masih defisit sebesar US$830 juta.
Karenanya, penguatan rupiah secara teknis bergantung pada aliran modal portofolio (hot money) dan juga intervensi Bank Indonesia (BI), di tengah belum adanya gelagat aliran masuk investasi langsung (foreign direct investment/FDI) dalam skala massif jelang Pemilu.
Tidak heran, rupiah sangat rentan dengan sentimen negatif eksternal. Kemajuan negosiasi dagang yang ditunjukkan oleh AS dan China pun tidak cukup memompa pembelian rupiah di pasar spot karena tetap belum menunjukkan adanya kejelasan berakhirnya perang dagang.
Di sisi lain, kenaikan harga minyak mentah dunia akan mendorong Pertamina membeli dolar dalam jumlah lebih besar yang berujung pada tertekannya mata uang nasional ini di pasar spot. Terutama, di tengah musim pembagian dividen yang berlangsung pada Maret-April.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/gus) Next Article Pukul 11:00: Kurs Rupiah Balik Lagi ke Level Rp 14.065/US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular