
Kala The Fed Menyelamatkan Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 March 2019 09:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini masih menguat di perdagangan pasar spot. Namun apresiasi rupiah sudah sangat menipis.
Pada Selasa (26/3/2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.160. Rupiah menguat 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun seiring perjalanan pasar, apresiasi rupiah berkurang. Pada pukul 09:04 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.170 di mana apresiasi rupiah tinggal tersisa 0,04%.
Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia juga mengalami penurunan kinerja. Meski mayoritas masih menguat di hadapan dolar AS, tetapi apresiasi mata uang Benua Kuning pun menipis.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 09:07 WIB:
Meski demikian, secara umum mata uang Asia masih mampu memanfaatkan tekanan yang dialami dolar AS. Pada pukul 09:09 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,06%.
Sepertinya pelaku pasar mulai melupakan sentimen ancaman resesi di AS. Padahal imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun masih mengalami inversi.
Pada pukul 09:10 WIB, yield obligasi pemerintah Negeri Adidaya untuk tenor 3 bulan adalah 2,4588%, sedangkan tenor 10 tahun berada di 2,4248%. Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang, sesuatu yang bisa mengarah ke resesi dan menjadi sumber utama ketakutan pasar sejak akhir pekan lalu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Namun sepertinya pasar sudah mulai bangkit dan melupakan sentimen tersebut. Apalagi datang pernyataan terbaru dari pejabat teras The Federal Reserve/The Fed yang menyebutkan bank sentral Negeri Paman Sam tetap mengedepankan posisi dovish.
Dalam sebuah seminar di Hong Kong, Presiden The Fed Boston Eric Rosengren memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan melambat ke kisaran 2-2,5% dalam tiga kuartal ke depan. Oleh karena itu, penghentian siklus kenaikan suku bunga acuan adalah sebuah hal yang wajar.
Pekan lalu, The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 2,25,2,5% atau median 2,375%. Tidak hanya itu, The Fed juga memperkirakan suku bunga acuan masih berada di situ sampai akhir 2019. Artinya, tidak ada kenaikan sepanjang tahun ini.
Pernyataan Rosengren membuat reli dolar AS terhenti. Tanpa dukungan kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini memang jadi kurang menarik. Dolar AS pun mengalami tekanan jual, dan aliran modal berhamburan ke segala penjuru termasuk Indonesia.
Pada pukul 09:16 WIB, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat 0,96% dan investor asing membukukan beli bersih Rp 6,61 miliar. Sementara di pasar obligasi pemerintah, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun turun 0,5 basis poin. Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik karena tingginya minat pelaku pasar.
Jadi saat ini rupiah patut berterima kasih kepada The Fed. Sebab kalemnya The Fed terbukti mampu mengalahkan ancaman resesi di Negeri Paman Sam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Selasa (26/3/2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.160. Rupiah menguat 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun seiring perjalanan pasar, apresiasi rupiah berkurang. Pada pukul 09:04 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.170 di mana apresiasi rupiah tinggal tersisa 0,04%.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 09:07 WIB:
Meski demikian, secara umum mata uang Asia masih mampu memanfaatkan tekanan yang dialami dolar AS. Pada pukul 09:09 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,06%.
Sepertinya pelaku pasar mulai melupakan sentimen ancaman resesi di AS. Padahal imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun masih mengalami inversi.
Pada pukul 09:10 WIB, yield obligasi pemerintah Negeri Adidaya untuk tenor 3 bulan adalah 2,4588%, sedangkan tenor 10 tahun berada di 2,4248%. Yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang, sesuatu yang bisa mengarah ke resesi dan menjadi sumber utama ketakutan pasar sejak akhir pekan lalu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Namun sepertinya pasar sudah mulai bangkit dan melupakan sentimen tersebut. Apalagi datang pernyataan terbaru dari pejabat teras The Federal Reserve/The Fed yang menyebutkan bank sentral Negeri Paman Sam tetap mengedepankan posisi dovish.
Dalam sebuah seminar di Hong Kong, Presiden The Fed Boston Eric Rosengren memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan melambat ke kisaran 2-2,5% dalam tiga kuartal ke depan. Oleh karena itu, penghentian siklus kenaikan suku bunga acuan adalah sebuah hal yang wajar.
Pekan lalu, The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 2,25,2,5% atau median 2,375%. Tidak hanya itu, The Fed juga memperkirakan suku bunga acuan masih berada di situ sampai akhir 2019. Artinya, tidak ada kenaikan sepanjang tahun ini.
Pernyataan Rosengren membuat reli dolar AS terhenti. Tanpa dukungan kenaikan suku bunga acuan, berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini memang jadi kurang menarik. Dolar AS pun mengalami tekanan jual, dan aliran modal berhamburan ke segala penjuru termasuk Indonesia.
Pada pukul 09:16 WIB, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat 0,96% dan investor asing membukukan beli bersih Rp 6,61 miliar. Sementara di pasar obligasi pemerintah, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun turun 0,5 basis poin. Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik karena tingginya minat pelaku pasar.
Jadi saat ini rupiah patut berterima kasih kepada The Fed. Sebab kalemnya The Fed terbukti mampu mengalahkan ancaman resesi di Negeri Paman Sam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular