Refleksi

Tidak Liquid, Hindari Investasi di 18 Saham Ini

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
21 March 2019 21:28
Ada baiknya hindari dulu 18 perusahaan terbuka ini karena belum memenuhi ketentuan mengenai syarat minimum saham beredar (free float),
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sebanyak 18 perusahaan terbuka belum juga memenuhi ketentuan bursa mengenai syarat minimum saham beredar (free float), dengan memiliki porsi saham yang bisa ditransaksikan publik di bawah 7,5% dari saham yang ada.

Jumlah emiten yang belum memenuhi ketentuan free float itu tidak berubah dibandingkan pada tahun 2016 ketika peraturan free float pertama kali terbit. Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, otoritas bursa telah berulang-kali memberi toleransi bagi para pelanggar.

Mengacu pada Peraturan Bursa No. I-A tentang pencatatan saham dan efek ekuitas lainnya yang diterbitkan perusahaan tercatat, dalam ketentuan V.1, jumlah saham yang dimiliki pemengang saham non pengendali dan bukan pemegang saham utama diwajibkan minimal 50 juta saham dan minimal 7,5% dari jumlah saham dalam modal disetor.

Sementara itu, ketentuan mengenai jumlah minimal pemegang saham diatur dalam ketentuan V.2, di mana harus ada setidaknya 300 pihak pemilik rekening efek di sekuritas anggota bursa yang memiliki saham sebuah emiten.

Menurut data pasar yang dikompilasi Tim Riset CNBC Indonesia, emiten yang masih belum memenuhi ketentuan free float itu berasal dari berbagai sektor, dan bahkan beberapa di antaranya adalah perusahaan dengan brand kuat seperti Air Asia, Merck, dan First Media.



Ketika aturan itu diterbitkan pertama kali pada 2016, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memberi waktu hingga 6 bulan bagi 18 emiten yang masih melanggar untuk memenuhi ketentuan tersebut. Bahkan, sanksi suspensi sempat dilontarkan untuk mendorong pemenuhhan aturan free float.

Namun hingga 3 tahun berlalu, BEI belum pernah mengenakan suspensi terhadap saham-saham tersebut hingga tampuk kepemimpinan berganti. Terbaru pada September tahun lalu, BEI mengancam akan mengenakan sanksi denda sebesar Rp 50 juta dan sanksi administratif bagi emiten pelanggar.

Kali ini, emiten yang dimaksud diberi waktu hingga 2 tahun atau 24 bulan. Untuk itu, para emiten tersebut harus siap-siap menerbitkan saham baru (rights issue) guna memenuhi ketentuan free float tersebut. 

Risiko Investasi di Saham Ber-free float Minim
Aturan saham beredar minimal sebesar 7,5% tersebut sebenarnya terhitung masih sangat moderat. Bandingkan dengan India yang menerapkan aturan free float minimal 25% atau Malaysia dan Singapura yang masing-masing mengharuskan minimal 15% dan 10%.

BEI harus melakukan tindakan lebih tegas untuk menegakkan ketentuan tersebut karena nasib investor yang menjadi pertaruhan. Dengan peredaran yang minim, saham tersebut menjadi sangat fluktuatif dan rentan aksi pembentukan harga semu demi menguntungkan pengendali.

Ini sesuai dengan hukum pasar modal, semakin kecil saham beredar maka semakin tinggi pula risiko volatilitasnya. Itulah mengapa banyak negara memerangi saham dengan peredaran minim seperti India dan Malaysia.

Bahkan kepemilikan publik berpeluang hilang jika emiten dengan free float rendah itu memilih keluar dari bursa. Inilah yang terjadi pada PT Bank of India Indonesia. Emiten keuangan asal Negeri Bollywood ini memilih delisting ketimbang menambah peredaran sahamnya di tangan publik.

Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, saham BSWD ini sempat berfluktuasi setelah sewindu lamanya bergerak dengan garis datar. Pada 31 Oktober 2014, saham perseroan anjlok 80% ke Rp 1.065/unit. Sebelumnya pada 29 Agustus 2014, harga saham ini adalah di Rp 5.375/saham. Selanjutnya saham ini berbalik naik hingga berada di level Rp 4.000.

Saham berpengendali terlalu besar-sehingga berujung pada minimnya saham yang beredar di pasar-biasanya memiliki kualitas kontrol publik yang lebih rendah karena pengendali bisa menentukan arah kerja perseroan tanpa perimbangan kendali. Mereka dengan mudah bisa menafikan kepentingan publik untuk mengejar kepentingan perusahaan tersebut.

Karenanya, jika anda adalah investor yang ingin berhati-hati dalam berinvestasi dan mengejar dividen dari perusahaan yang sehat dan sepenuhnya transparan, ada baiknya anda hindari dulu saham-saham tersebut.

Ketika emiten yang bandel dalam pemenuhan aturan free float itu ditinggalkan investor, maka sahamnya pun anjlok. Aksi "boikot" investor ini otomatis akan mendorong emiten-emiten tersebut untuk memenuhi peraturan BEI, yang pada gilirannya melindungi kepentingan publik juga.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags) Next Article Ciptadana AM Soal Perhitungan Indeks Berbasis Free Float

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular