Nasib Rupiah: Pekan Lalu Terlemah di Asia, Pagi Ini Sama Saja

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 March 2019 08:37
Nasib Rupiah: Pekan Lalu Terlemah di Asia, Pagi Ini Sama Saja
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka stagnan di perdagangan pasar spot hari ini. Namun itu tidak lama karena mata uang Tanah Air langsung kembali melemah. 

Pada Senin (11/3/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.305 kala pembukaan pasar spot. Tidak berubah dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Namun seiring perjalanan pasar, rupiah langsung melemah. Pada pukul 08:15 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.333di mana rupiah melemah 0,2%. 


Jika pelemahan ini bertahan hingga penutupan pasar, maka bisa dibilang badai belum berlalu buat rupiah. Sepanjang pekan lalu, rupiah amblas 1,38% di hadapan dolar AS dan jadi mata uang terlemah di Asia. 



 

Di Asia, dolar AS bergerak variatif cenderung melemah. Sebagian kecil mata uang utama Asia yang masih terdepresiasi di hadapan dolar AS adalah rupiah, yuan China, won Korea Selatan, dan dolar Singapura. 

Dengan depresiasi 0,2%, rupiah lagi-lagi menjadi mata uang terlemah di Asia. Peruntungan rupiah rupanya belum kunjung membaik. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:16 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Rupiah tidak bisa melawan keperkasaan dolar AS yang memang masih menguat secara global. Pada pukul 08:19 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,11%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini sudah menguat 0,8% dan sejak awal tahun penguatannya mencapai 1,29%. 

 

Penguatan dolar AS terjadi seiring respons pasar terhadap rilis data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam. Pada Februari, perekonomian AS memang hanya mencetak 20.000 lapangan kerja baru. Ini menjadi angka terkecil sejak September 2017. 

Namun meski begitu, angka pengangguran AS tercatat 3,8%. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 4% dan terendah sejak November 2018. 

Kemudian tingkat pengangguran secara luas, yang memasukkan orang-orang yang ingin bekerja tetapi putus asa mencari pekerjaan dan orang-orang yang bekerja paruh waktu karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan penuh waktu, berada di angka 7,3%. Ini menjadi angka terendah sejak Maret 2001. 

Sementara kenaikan upah per jam pada Februari adalah 3,4% year-on-year (YoY). Ini menjadi kenaikan tertinggi sejak April 2009. 

Lalu biaya tenaga kerja yang ditanggung oleh dunia usaha juga rendah. Pada 2018, biaya tenaga kerja hanya naik 1,4%, kenaikan terkecil sejak 2016. 

Jadi, sebenarnya pasar tenaga kerja AS masih solid dan mencerminkan sehatnya perekonomian secara keseluruhan. Oleh karena itu, jangan mengesampingkan potensi kenaikan suku bunga acuan.

The Federal Reserves/The Fed tidak akan tinggal diam jika kondisi ketenagakerjaan membaik dan perekonomian tumbuh tinggi, yang menyebabkan tekanan inflasi. Suku bunga acuan niscaya akan naik, meski mungkin tidak dalam waktu dekat.

Ditopang oleh masih adanya harapan kenaikan Federal Funds Rate, dolar AS pun di atas angin. Pasalnya para pesaingnya seperti ECB dan Bank of Japan (BoJ) masih berkutat dengan kebijakan moneter longgar dan pemberian stimulus. Kenaikan suku bunga belum ada dalam pikiran mereka, masih amat sangat jauh sekali banget. Dolar AS yang tanpa lawan ini membuatnya menguat agak semena-mena. 

Selain itu, rupiah juga tertekan oleh kenaikan harga minyak. Setelah pekan lalu merosot, harga si emas hitam kini mulai merangkak naik. Pada pukul 08:24 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,06% dan 0,16%. 

Kenaikan harga minyak menjadi kabar kurang sedap buat rupiah. Kenaikan harga komoditas ini akan membuat prospek neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) Indonesia akan tertekan. Maklum, Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi permintaan. 

Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena pos ini mencerminkan pasokan devisa yang berjangka panjang. Tanpa sokongan transaksi berjalan yang kuat, rupiah menjadi rentan 'digoyang' dan akhirnya melemah. 

Investor tentu berpikir ulang untuk mengoleksi aset-aset berbasis rupiah, karena siapa yang mau memegang aset dengan nilai yang berisiko melemah? Persepsi ini membuat rupiah rawan mengalami tekanan jual. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular