Melemah 6 Kali dalam 7 Hari, Rupiah Mulai Kehabisan 'Bensin'?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 March 2019 09:29
Melemah 6 Kali dalam 7 Hari, Rupiah Mulai Kehabisan 'Bensin'?
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Rupiah menyentuh posisi terlemah sejak pekan keempat Januari.

Pada Jumat (8/3/2018) pukul 09:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.230. Rupiah melemah 0,67% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Hari Raya Nyepi. 

Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah sedikit berkurang. Pada pukul 09:02 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.225 di mana rupiah melemah 0,64%. 

Meski begitu, posisi rupiah tetap tidak menguntungkan. Ini menjadi kali pertama rupiah menyentuh kisaran Rp 14.200/US$ sejak 22 Januari. 

Tidak hanya itu, rupiah juga cenderung melemah akhir-akhir ini. Jika pelemahan rupiah saat ini bertahan hingga penutupan pasar spot, maka rupiah terdepresiasi 6 kali dalam 7 hari perdagangan terakhir. 

 


Sepertinya rupiah yang sejak awal tahun melaju kencang mulai kehabisan tenaga. Sejak awal tahun, rupiah masih menguat 1,04% di hadapan dolar AS. 

Rupiah yang sudah menguat cukup tajam menjadi rentan terkena koreksi teknikal. Investor yang sudah mendapat cuan lumayan banyak jadi tergoda untuk mencairkannya. Tekanan jual pun menghantui rupiah sehingga nilainya melemah. 

Dari dalam negeri, situasi tidak membantu kala kebutuhan valas korporasi meningkat jelang akhir kuartal I. Sebab, korporasi (terutama asing) punya kewajiban menyetor dividen ke kantor pusatnya. Rupiah pun dijual untuk ditukarkan ke valas demi pembayaran laba. 

Sementara pasokan valas dari perdagangan pun masih seret. Pada Januari 2019, neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit US$ 1,16 miliar. Artinya, lebih banyak devisa yang 'terbang' ke luar negeri ketimbang yang masuk. Rupiah pun kian tertekan. 

Belum lagi bicara inflasi yang masih 'jinak'. Sampai Februari 2019, laju inflasi 'hanya' 2,57% year-on-year atau paling lambat sejak November 2019. 


Inflasi yang masih rendah ini membuat kebutuhan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuan semakin kecil. Bahkan Gubernur Perry Warjiyo membuka peluang untuk menurunkan suku bunga acuan dengan syarat stabilitas ekonomi domestik masih terjaga. 


Kemungkinan kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate yang semakin kecil (bahkan ada peluang turun) membuat berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah menjadi kurang menguntungkan. Bisa-bisa rupiah malah ditinggalkan karena pelaku pasar berpikir tidak akan mendapat cuan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Tidak hanya faktor domestik, sentimen eksternal juga semakin menambah beban rupiah. Dolar AS tampaknya dalam jalur untuk kembali menjadi raja mata uang dunia, gelar yang diperoleh pada tahun lalu. 

Kini, kekuatan greenback lahir dari risiko perlambatan ekonomi global. Bank Sentral Uni Eropa (ECB) baru saja menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro dari 1,7% menjadi 1,1% untuk 2019. Sebelumnya, China juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2019 di kisaran 6-6,5%, melambat dibandingkan pencapaian 2018 yaitu 6,6%. 


Kala ada risiko besar bernama perlambatan ekonomi dunia, investor tentu enggan berlaku agresif. Semua tentu ingin mencari selamat, dan itu lagi-lagi menguntungkan dolar AS yang berstatus aset aman (safe haven). 

Pada awal 2019, dolar AS sempat tertekan. Namun seiring gejala perlambatan ekonomi global yang semakin terlihat, dolar AS kembali diburu pelaku pasar. 

Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) sudah menguat 1,13% dalam sepekan terakhir. Sejak awal tahun, indeks ini sekarang melesat dengan kenaikan 1,5%. 

 

Tertekan oleh sentimen domestik dan eksternal, rupiah pun seakan tidak punya pilihan lain selain melemah. Mungkin  masih terlalu awal, tetapi untuk saat ini boleh dibilang rupiah sudah kehabisan bensin.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular