
Minyak Serpih AS Jadi Biang Kerok Pelemahan Harga Minyak
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
06 March 2019 18:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah ada perdagangan hari ini (6/3/2019) masih betah bermain di zona merah.
Hingga pukul 16:50 WIB, harga minyak jenis Brent amblas 0,47% ke level US$ 65,55/barel, setelah menguat 0,29% di perdagangan kemarin (5/3/2019). Sedangkan harga minyak jenis lightsweet (WTI) terperosok 1,03% ke posisi US$ 55,98/barel, setelah melemah tipis 0,05% kemarin.
Selama sepekan, harga minyak telah terpangkas sekitar 1,5% secara point-to-point. Akan tetapi sejak awal tahun harganya masih tercatat naik 23,28%.
Prediksi meningkatnya produksi minyak serpih di Amerika Serikat membuat bayang-bayang kelebihan pasokan kembali muncul ke permukaan. Pelaku pasar dibuat grogi oleh pertemuan antara investor dengan dua perusahaan minyak raksasa Exxon Mobil dan Chevron pada hari ini.
Pasalnya dalam pertemuan tersebut Exxon dan Chevron saling bersaing strategi untuk menghasilkan lebih banyak minyak serpih di ladang Permian.
Chevron memperkirakan produksi minyak serpih di ladang Permian akan mencapai 900.000 barel/hari dalam lima tahun mendatang. Exxon pun tak mau kalah dengan ekspektasi produksinya mencapai lebih dari 1 juta barel/hari pada periode yang sama.
Bila benar direalisasi, maka hal tersebut sudah tentu akan menjadi ancaman bagi keseimbangan fundamental di pasar minyak.
Hingga saat ini saja, produksi minyak AS sudah meningkat lebih dari 2 juta barel/hari sejak awal tahun 2018. Bahkan pada November 2018, Negeri Paman Sam sudah mengukuhkan posisinya sebagai negara penghasil minyak terbesar di dunia dengan kapasitas produksi mencapai 12 juta barel/hari.
Melengkapi sentimen negatif dari AS, American Petroleum Institute pada hari ini merilis hasil surveinya yang menyatakan bahwa cadangan minyak mentah Negeri Adidaya kembali meningkat sebesar 7,3 juta barel pada minggu yang berakhir pada 1 Maret. Hasil survei tersebut melampaui perkiraan analis yang mana hanya memprediksi peningkatan sebesar 1,2 juta barel, mengutip Reuters.
Libya juga tidak ketinggalan menambah beban yang sudah semakin berat. Kemarin Reuters mengabarkan bahwa ladang minyak terbesar di Libya, El Sharara, sudah mulai kembali beroperasi setelah tutup sejak Desember 2018 silam.
Seperti yang telah diketahui, pada bulan Desember 2018, sekelompok pemberontak bersenjata telah menguasai wilayah El Sharara dan membuat perusahaan minyak nasional tidak daat melakukan kegiatan produksinya.
Menindaklanjuti hal tersebut, pada tiga minggu yang lalu, Tentara Nasional Libya berhasil mengambil alih kekuasaan tersebut. Namun tidak serta merta bisa lansung berproduksi, perusahaan minyak NOC baru mendapat jaminan keamanan kemarin dan batu bisa kembali beraksi.
Dengan begini, pasokan minyak dunia akan kembali mendapat tambahan sebesar 315.000 barel/hari, yang merupakan kapasitas ladang El Sharara pada kondisi normal.
"Pasar minyak akan sedikit kelebihan pasokan lagi, jika pasokan tidak dikurangi lebih banyak, atau terjadi penghentian produksi yang tak terduga di suatu tempat," tulis Commerzbank dalam sebuah laporan, mengutip Reuters.
Lebih parahnya lagi, ramalan peningkatan produksi tersebut terjadi saat pelaku pasar kembali dibuat cemas pasca pemerintah China menurunkan angka target pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 6-6,5%. Padahal tahun 2018 pertumbuhan ekonominya sudah merupakan yang paling lambat sejak 1990.
Kala negara ekonomi terbesar ke-2 di planet ini masih terus melambat, maka dampaknya akan mendunia. Aliran rantai pasokan juga akan lesu. Alhasil permintaan energi menjadi berkurang.
Akan tetapi, aksi OPEC bersama Rusia dan sekutunya untuk mengurangi pasokan minyak mentah masih terus memberi energi positif pada pergerakan harga.
Menteri Energi Rusia, Alexander Novak pada hari Senin (4/3/2019) mengatakan bahwa pemotongan pasokan minyak dari Negeri Beruang Merah akan mencapai 228.000 barel/hari, yang mana sesuai dengan kuota kesepakatan pada akhir bulan Maret, mengutip Reuters.
Seperti yang diketahui, pada awal Desember 2018 silam, OPEC bersama Rusia telah bersepakat untuk memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari. Arab Saudi kebagian jatah terbesar, yaitu 322.000 barel/hari.
Sejauh ini, OPEC telah beritikad baik yang ditunjukkan dengan telah memangkas produksi hingga 797.000 barel/hari pada bulan Januari, yang mana sudah hampir memenuhi kuota. Meskipun dengan bantuan sanksi AS atas Iran dan insiden ladang minyak Libya.
Saat ini para pelaku pasar masih terus menantikan perkembangan angka produksi yang dirilis OPEC. Pasalnya angka pemangkasan produksi yang sebesar 1,2 juta barel/hari masih belum pernah dilihat secara nyata. Bila sudah benar kejadian, maka harga minyak berpotensi kembali menguat.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(taa/gus) Next Article Pagi Ini, Harga Minyak Kembali 'Mendidih'
Hingga pukul 16:50 WIB, harga minyak jenis Brent amblas 0,47% ke level US$ 65,55/barel, setelah menguat 0,29% di perdagangan kemarin (5/3/2019). Sedangkan harga minyak jenis lightsweet (WTI) terperosok 1,03% ke posisi US$ 55,98/barel, setelah melemah tipis 0,05% kemarin.
Selama sepekan, harga minyak telah terpangkas sekitar 1,5% secara point-to-point. Akan tetapi sejak awal tahun harganya masih tercatat naik 23,28%.
Prediksi meningkatnya produksi minyak serpih di Amerika Serikat membuat bayang-bayang kelebihan pasokan kembali muncul ke permukaan. Pelaku pasar dibuat grogi oleh pertemuan antara investor dengan dua perusahaan minyak raksasa Exxon Mobil dan Chevron pada hari ini.
Pasalnya dalam pertemuan tersebut Exxon dan Chevron saling bersaing strategi untuk menghasilkan lebih banyak minyak serpih di ladang Permian.
Chevron memperkirakan produksi minyak serpih di ladang Permian akan mencapai 900.000 barel/hari dalam lima tahun mendatang. Exxon pun tak mau kalah dengan ekspektasi produksinya mencapai lebih dari 1 juta barel/hari pada periode yang sama.
Bila benar direalisasi, maka hal tersebut sudah tentu akan menjadi ancaman bagi keseimbangan fundamental di pasar minyak.
Hingga saat ini saja, produksi minyak AS sudah meningkat lebih dari 2 juta barel/hari sejak awal tahun 2018. Bahkan pada November 2018, Negeri Paman Sam sudah mengukuhkan posisinya sebagai negara penghasil minyak terbesar di dunia dengan kapasitas produksi mencapai 12 juta barel/hari.
Melengkapi sentimen negatif dari AS, American Petroleum Institute pada hari ini merilis hasil surveinya yang menyatakan bahwa cadangan minyak mentah Negeri Adidaya kembali meningkat sebesar 7,3 juta barel pada minggu yang berakhir pada 1 Maret. Hasil survei tersebut melampaui perkiraan analis yang mana hanya memprediksi peningkatan sebesar 1,2 juta barel, mengutip Reuters.
Libya juga tidak ketinggalan menambah beban yang sudah semakin berat. Kemarin Reuters mengabarkan bahwa ladang minyak terbesar di Libya, El Sharara, sudah mulai kembali beroperasi setelah tutup sejak Desember 2018 silam.
Seperti yang telah diketahui, pada bulan Desember 2018, sekelompok pemberontak bersenjata telah menguasai wilayah El Sharara dan membuat perusahaan minyak nasional tidak daat melakukan kegiatan produksinya.
Menindaklanjuti hal tersebut, pada tiga minggu yang lalu, Tentara Nasional Libya berhasil mengambil alih kekuasaan tersebut. Namun tidak serta merta bisa lansung berproduksi, perusahaan minyak NOC baru mendapat jaminan keamanan kemarin dan batu bisa kembali beraksi.
Dengan begini, pasokan minyak dunia akan kembali mendapat tambahan sebesar 315.000 barel/hari, yang merupakan kapasitas ladang El Sharara pada kondisi normal.
"Pasar minyak akan sedikit kelebihan pasokan lagi, jika pasokan tidak dikurangi lebih banyak, atau terjadi penghentian produksi yang tak terduga di suatu tempat," tulis Commerzbank dalam sebuah laporan, mengutip Reuters.
Lebih parahnya lagi, ramalan peningkatan produksi tersebut terjadi saat pelaku pasar kembali dibuat cemas pasca pemerintah China menurunkan angka target pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 6-6,5%. Padahal tahun 2018 pertumbuhan ekonominya sudah merupakan yang paling lambat sejak 1990.
Kala negara ekonomi terbesar ke-2 di planet ini masih terus melambat, maka dampaknya akan mendunia. Aliran rantai pasokan juga akan lesu. Alhasil permintaan energi menjadi berkurang.
Akan tetapi, aksi OPEC bersama Rusia dan sekutunya untuk mengurangi pasokan minyak mentah masih terus memberi energi positif pada pergerakan harga.
Menteri Energi Rusia, Alexander Novak pada hari Senin (4/3/2019) mengatakan bahwa pemotongan pasokan minyak dari Negeri Beruang Merah akan mencapai 228.000 barel/hari, yang mana sesuai dengan kuota kesepakatan pada akhir bulan Maret, mengutip Reuters.
Seperti yang diketahui, pada awal Desember 2018 silam, OPEC bersama Rusia telah bersepakat untuk memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari. Arab Saudi kebagian jatah terbesar, yaitu 322.000 barel/hari.
Sejauh ini, OPEC telah beritikad baik yang ditunjukkan dengan telah memangkas produksi hingga 797.000 barel/hari pada bulan Januari, yang mana sudah hampir memenuhi kuota. Meskipun dengan bantuan sanksi AS atas Iran dan insiden ladang minyak Libya.
Saat ini para pelaku pasar masih terus menantikan perkembangan angka produksi yang dirilis OPEC. Pasalnya angka pemangkasan produksi yang sebesar 1,2 juta barel/hari masih belum pernah dilihat secara nyata. Bila sudah benar kejadian, maka harga minyak berpotensi kembali menguat.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(taa/gus) Next Article Pagi Ini, Harga Minyak Kembali 'Mendidih'
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular