
Bangga! Rupiah Bisa Jadi Runner-up di Asia Minggu Ini
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
23 February 2019 08:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Selama sepekan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,62% secara point-to point. Pekan ini pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS merupakan yang ke-2 terbaik, hanya kalah dari Yuan China.
Pada penutupan pasar spot kemarin (22/2/2019), 1 US$ dihargai Rp 14.055, yang mana telah terpangkas 85 poin sejak Jumat minggu lalu (15/2/2019).
Mayoritas mata uang Asia pun memang mengalami hal yang sama. Yuan China merupakan mata uang yang loncat paling tinggi, dengan penguatan sebesar 0,84%. Rupiah mengekor di posisi runner up dan diikuti Peso Filipina dengan apresiasi sebesar 0,52%.
Hanya Baht Thailand dan Yen Jepang yang minggu ini tak bisa riang gembira lantaran terdepresiasi masing-masing sebesar 0,16% dan 0,18%.
Sentimen utama yang menghijaukan sebagian besar mata uang negara-negara Asia adalah makin cerahnya prospek damai dagang Amerika Serikat (AS)-China.
Selama sepekan kemarin, delegasi kedua negara kembali melakukan dialog dagang di Washington.
Mengawali minggu, pelaku pasar dibuat sumringa dengan tanda-tanda hasil bahwa damai dagang tengah berjalan ke arah yang positif.
Pertanda itu muncul dari cuitan Presiden AS Donald Trump di akun Twitter @realDonaldTrump pada hari Minggu (17/2/2019). Trump menyatakan dialog dagang dengan China pada minggu sebelumnya telah mencapai banyak kemajuan.
"Baru saja bertemu dengan staf saya untuk membahas pertemuan pembahasan kesepakatan dagang dengan China. Kemajuan sudah diraih dalam begitu banyak hal. Negara ini punya potensi yang luar biasa untuk terus tumbuh ke level yang lebih tinggi!" cuit Trump.
Hal senada juga dilontarkan oleh Presiden China, Xi Jinping dalam pidato di Great Hall of the People. "Konsultasi antara dua pihak telah mencapai kemajuan. Saya berharap Anda semua akan melanjutkan upaya ini guna mencapai kesepakatan bersama. Win-win agreement," ujar Xi, mengutip Reuters.
Bahkan pada hari Kamis (21/2/2019), beredar kabar bahwa kedua negara sudah menyepakati nota kesepahaman (MoU), yang membuka jalan menuju damai dagang yang hakiki.
Mengutip Reuters, beberapa orang sumber mengungkapkan MoU tersebut setidaknya mencakup enam poin yaitu perlindungan terhadap kekayaan intelektual, perluasan investasi sektor jasa, transfer teknologi, pertanian, nilai tukar, dan halangan non-tarif (non-tariff barrier) di bidang perdagangan.
China juga disebut sepakat untuk semakin mengurangi surplus perdagangan dengan AS. Oleh karena itu, China akan membuat daftar 10 barang yang bisa membuat ketimpangan itu semakin sempit.
Bila hubungan dagang dua raksasa ekonomi dunia kembali lancar, maka aktivitas ekonomi seluruh dunia juga akan merasakan manfaatnya.
Tak heran investor bisa kembali agresif berinvestasi di negara-negara berkembang. Rupiah pun menguat karena derasnya aliran dana yang masuk di pasar keuangan.
Di sisi lain, sentimen dari dalam negeri sedikit memberi tahanan bagi laju penguatan Rupiah.
Pasar sebenarnya sudah memperkirakan bahwa Bank Indonesia akan menahan suku bunga acuan di 6% pada pengumuman hari Kamis (21/2/2019).
Namun komentar-komentar dari Gubernur BI, Perry Warijo mengenai arah moneter ke depan sudah sangat jauh dari kata hawkish.
Padahal bulan-bulan sebelumnya, kata-kata seperti hawkish, preemtif, front loading, dan ahead the curve sering keluar dan menjadi pertanda bahwa BI akan agresif dan melanjutkan pengetatan moneter.
Selain itu, hasil notulensi rapat The Fed juga membuat dolar bisa melakukan perlawanan yang cukup kuat.
Pasalnya, dalam notulensi yang dirilis pada hari Kamis (22/2/2019) dini hari lalu, The Fed seakan kembali membuka peluang kenaikan suku bung jika ada tekanan inflasi dan perbaikan pertumbuhan ekonomi.
Hal ini membuat investor kembali menilai investasi dalam dolar merupakan investasi yang menarik.
Wajar saja, kenaikan suku bunga The Fed bisa membuat imbal hasil investasi dalam dolar menjadi semakin besar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Aneh! Dana Asing Menyerbu Rupiah Malah Terkapar
Pada penutupan pasar spot kemarin (22/2/2019), 1 US$ dihargai Rp 14.055, yang mana telah terpangkas 85 poin sejak Jumat minggu lalu (15/2/2019).
Mayoritas mata uang Asia pun memang mengalami hal yang sama. Yuan China merupakan mata uang yang loncat paling tinggi, dengan penguatan sebesar 0,84%. Rupiah mengekor di posisi runner up dan diikuti Peso Filipina dengan apresiasi sebesar 0,52%.
Hanya Baht Thailand dan Yen Jepang yang minggu ini tak bisa riang gembira lantaran terdepresiasi masing-masing sebesar 0,16% dan 0,18%.
Sentimen utama yang menghijaukan sebagian besar mata uang negara-negara Asia adalah makin cerahnya prospek damai dagang Amerika Serikat (AS)-China.
Selama sepekan kemarin, delegasi kedua negara kembali melakukan dialog dagang di Washington.
Mengawali minggu, pelaku pasar dibuat sumringa dengan tanda-tanda hasil bahwa damai dagang tengah berjalan ke arah yang positif.
Pertanda itu muncul dari cuitan Presiden AS Donald Trump di akun Twitter @realDonaldTrump pada hari Minggu (17/2/2019). Trump menyatakan dialog dagang dengan China pada minggu sebelumnya telah mencapai banyak kemajuan.
"Baru saja bertemu dengan staf saya untuk membahas pertemuan pembahasan kesepakatan dagang dengan China. Kemajuan sudah diraih dalam begitu banyak hal. Negara ini punya potensi yang luar biasa untuk terus tumbuh ke level yang lebih tinggi!" cuit Trump.
Hal senada juga dilontarkan oleh Presiden China, Xi Jinping dalam pidato di Great Hall of the People. "Konsultasi antara dua pihak telah mencapai kemajuan. Saya berharap Anda semua akan melanjutkan upaya ini guna mencapai kesepakatan bersama. Win-win agreement," ujar Xi, mengutip Reuters.
Bahkan pada hari Kamis (21/2/2019), beredar kabar bahwa kedua negara sudah menyepakati nota kesepahaman (MoU), yang membuka jalan menuju damai dagang yang hakiki.
Mengutip Reuters, beberapa orang sumber mengungkapkan MoU tersebut setidaknya mencakup enam poin yaitu perlindungan terhadap kekayaan intelektual, perluasan investasi sektor jasa, transfer teknologi, pertanian, nilai tukar, dan halangan non-tarif (non-tariff barrier) di bidang perdagangan.
China juga disebut sepakat untuk semakin mengurangi surplus perdagangan dengan AS. Oleh karena itu, China akan membuat daftar 10 barang yang bisa membuat ketimpangan itu semakin sempit.
Bila hubungan dagang dua raksasa ekonomi dunia kembali lancar, maka aktivitas ekonomi seluruh dunia juga akan merasakan manfaatnya.
Tak heran investor bisa kembali agresif berinvestasi di negara-negara berkembang. Rupiah pun menguat karena derasnya aliran dana yang masuk di pasar keuangan.
Di sisi lain, sentimen dari dalam negeri sedikit memberi tahanan bagi laju penguatan Rupiah.
Pasar sebenarnya sudah memperkirakan bahwa Bank Indonesia akan menahan suku bunga acuan di 6% pada pengumuman hari Kamis (21/2/2019).
Namun komentar-komentar dari Gubernur BI, Perry Warijo mengenai arah moneter ke depan sudah sangat jauh dari kata hawkish.
Padahal bulan-bulan sebelumnya, kata-kata seperti hawkish, preemtif, front loading, dan ahead the curve sering keluar dan menjadi pertanda bahwa BI akan agresif dan melanjutkan pengetatan moneter.
Selain itu, hasil notulensi rapat The Fed juga membuat dolar bisa melakukan perlawanan yang cukup kuat.
Pasalnya, dalam notulensi yang dirilis pada hari Kamis (22/2/2019) dini hari lalu, The Fed seakan kembali membuka peluang kenaikan suku bung jika ada tekanan inflasi dan perbaikan pertumbuhan ekonomi.
Hal ini membuat investor kembali menilai investasi dalam dolar merupakan investasi yang menarik.
Wajar saja, kenaikan suku bunga The Fed bisa membuat imbal hasil investasi dalam dolar menjadi semakin besar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Aneh! Dana Asing Menyerbu Rupiah Malah Terkapar
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular