
Rupiah Lemas, Dolar AS Leluasa Penetrasi di Level Rp 14.100
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 February 2019 16:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah melemah sepanjang hari perdagangan, dan dolar AS leluasa melakukan penetrasi di kisaran Rp 14.100.
Pada Jumat (15/2/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.140 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,39% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Mata uang Tanah Air tidak menyentuh zona hijau pada perdagangan hari ini alias selalu melemah. Saat pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,04% dan semakin dalam seiring perjalanan pasar.
Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 14.090/US$ yaitu kala pembukaan pasar. Sedangkan terlemahnya sempat menyentuh Rp 14.155/US$.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Walau melemah, tetapi rupiah tidak sendirian. Hampir seluruh mata uang utama Asia juga melemah di hadapan dolar AS, hanya meninggalkan yen Jepang dan baht Thailand di zona hijau.
Namun pelemahannya yang semakin dalam membuat posisi rupiah di klasemen mata uang Asia tidak terlalu bagus. Rupiah finis di posisi kedua terbawah, hanya lebih unggul dari rupee India.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16:08 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Rupiah hari ini sedang terpukul karena sentimen negatif dari dalam dan luar negeri. Dari sisi domestik, rilis data perdagangan internasional benar-benar menjadi momok bagi rupiah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor pada Januari 2019 sebesar US$ 13,87 miliar atau turun 4,7% year-on-year (YoY). Sementara impor tercatat US$ 15,03 miliar atau turun 1,83% YoY. Dengan begitu neraca perdagangan defisit US$ 1,16 miliar.
Defisit neraca perdagangan, apalagi sampai di atas US$ 1 miliar, adalah fenomena yang agak langka pada Januari. Biasanya neraca perdagangan malah mencetak surplus pada awal tahun. Sejak 2008, defisit perdagangan Januari hanya terjadi pada 2013, 2014, 2018, dan 2019.
Neraca perdagangan yang defisit membuat prospek transaksi berjalan pada kuartal I-2019 menjadi penuh tanda tanya. Ada kemungkinan defisit transaksi berjalan tetap dalam, sehingga rupiah terus dihantui risiko pelemahan.
Padahal biasanya transaksi berjalan berada di posisi terbaiknya pada kuartal I. Namun dengan start yang kurang bagus di neraca perdagangan, ada risiko transaksi berjalan pada kuartal I-2019 kembali tertekan. Bukan sebuah kabar baik buat rupiah.
Kekhawatiran ini semakin menjadi kala melihat perkembangan harga minyak. Dalam sepekan terakhir, harga minyak jenis brent melonjak 4,21% dan light sweet melesat 3,26%. Sementara selama sebulan ini, harga brent dan light sweet meroket masing-masing 5,53% dan 4,07%.
Kala harga minyak naik, maka impor biaya komoditas ini berpotensi semakin membengkak. Beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan semakin berat, dan risiko depresiasi rumah semakin tinggi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sedangkan di sisi eksternal, sepertinya investor memang sedang menghindari pasar keuangan Asia. Tidak cuma mata uang, pasar saham Asia pun berguguran. Indeks Nikkei 225 anjlok 1,13%, Hang Seng amblas 1,87%, dan Shanghai Composite ambrol 1,37%, Kospi jatuh 1,34%, Straits Times minus 0,33%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berkurang 0,48%.
Penyebabnya adalah, pertama data ekonomi China yang kurang oke. Inflasi China pada Januari 2019 tercatat 1,7 YoY, lebih lambat dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 1,9%. Sementara inflasi di tingkat produsen adalah 0,1% YoY, juga di bawah konsensus yang memperkirakan 0,2%.
Data ini menunjukkan perekonomian China yang sedang dalam masa konsolidasi. Permintaan dari konsumen melambat, sehingga dunia usaha juga ragu menaikkan harga. Hawa kelesuan dan perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu semakin terasa.
Masalahnya, China adalah perekonomian terbesar di Asia. Ketika ekonomi China melambat, maka permintaan barang-barang dari negara lain bakal berkurang. Perlambatan ekonomi berpotensi merambat ke penjuru Asia, termasuk Indonesia.
Selain itu, investor juga masih menantikan hasil dialog dagang AS-China yang berlangsung sejak awal pekan dan berakhir hari ini. Sudah ada beberapa bocoran, tetapi masih samar-samar.
Dalam cuitan di Twitter, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menyebut bahwa perundingan dagang berlangsung produktif. Namun dia tidak mengelaborasi lebih lanjut pernyataan itu.
"Pembicaraan yang produktif dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer," tulis Mnuchin.
Kemudian juga ada kabar bahwa pemerintah China bersedia untuk mengakhiri subsidi kepada industri dalam negeri untuk menciptakan persaingan sehat. Jika ini benar, maka sudah sesuai dengan permintaan AS yang ingin agar China lebih membuka perekonomiannya.
Pemerintah China, sebut sumber Reuters, akan mematuhi program subsidi seperti yang sudah diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Namun Washington agak skeptis, karena selama ini Beijing sudah lekat dengan pemberian subsidi dan perlakuan tidak adil terhadap investasi asing seperti pemaksaan transfer teknologi.
"Apalagi China tidak pernah membuka seluruh subsidi, yang semua orang tahu jumlahnya masif dan melibatkan sistem perbankan terbesar di planet ini. Subsidi sudah begitu terkonstruksi dalam perekonomian China," keluh sang sumber, dikutip dari Reuters.
Kabar yang kurang enak ini, apalagi masih agak buram, membuat pelaku pasar tambah ogah masuk ke pasar keuangan Asia. Akibatnya, mayoritas mata uang utama Benua Kuning melemah terhadap dolar AS karena kekurangan arus modal.
Well, di-sandwich dari kiri dan kanan seperti ini membuat rupiah tidak punya pilihan selain melemah. Rupiah tidak mampu memberi kado akhir pekan yang indah bagi Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Jumat (15/2/2019), US$ 1 setara dengan Rp 14.140 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,39% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Mata uang Tanah Air tidak menyentuh zona hijau pada perdagangan hari ini alias selalu melemah. Saat pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,04% dan semakin dalam seiring perjalanan pasar.
Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 14.090/US$ yaitu kala pembukaan pasar. Sedangkan terlemahnya sempat menyentuh Rp 14.155/US$.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini:
Walau melemah, tetapi rupiah tidak sendirian. Hampir seluruh mata uang utama Asia juga melemah di hadapan dolar AS, hanya meninggalkan yen Jepang dan baht Thailand di zona hijau.
Namun pelemahannya yang semakin dalam membuat posisi rupiah di klasemen mata uang Asia tidak terlalu bagus. Rupiah finis di posisi kedua terbawah, hanya lebih unggul dari rupee India.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16:08 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Rupiah hari ini sedang terpukul karena sentimen negatif dari dalam dan luar negeri. Dari sisi domestik, rilis data perdagangan internasional benar-benar menjadi momok bagi rupiah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor pada Januari 2019 sebesar US$ 13,87 miliar atau turun 4,7% year-on-year (YoY). Sementara impor tercatat US$ 15,03 miliar atau turun 1,83% YoY. Dengan begitu neraca perdagangan defisit US$ 1,16 miliar.
Defisit neraca perdagangan, apalagi sampai di atas US$ 1 miliar, adalah fenomena yang agak langka pada Januari. Biasanya neraca perdagangan malah mencetak surplus pada awal tahun. Sejak 2008, defisit perdagangan Januari hanya terjadi pada 2013, 2014, 2018, dan 2019.
Neraca perdagangan yang defisit membuat prospek transaksi berjalan pada kuartal I-2019 menjadi penuh tanda tanya. Ada kemungkinan defisit transaksi berjalan tetap dalam, sehingga rupiah terus dihantui risiko pelemahan.
Padahal biasanya transaksi berjalan berada di posisi terbaiknya pada kuartal I. Namun dengan start yang kurang bagus di neraca perdagangan, ada risiko transaksi berjalan pada kuartal I-2019 kembali tertekan. Bukan sebuah kabar baik buat rupiah.
Kekhawatiran ini semakin menjadi kala melihat perkembangan harga minyak. Dalam sepekan terakhir, harga minyak jenis brent melonjak 4,21% dan light sweet melesat 3,26%. Sementara selama sebulan ini, harga brent dan light sweet meroket masing-masing 5,53% dan 4,07%.
Kala harga minyak naik, maka impor biaya komoditas ini berpotensi semakin membengkak. Beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan akan semakin berat, dan risiko depresiasi rumah semakin tinggi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sedangkan di sisi eksternal, sepertinya investor memang sedang menghindari pasar keuangan Asia. Tidak cuma mata uang, pasar saham Asia pun berguguran. Indeks Nikkei 225 anjlok 1,13%, Hang Seng amblas 1,87%, dan Shanghai Composite ambrol 1,37%, Kospi jatuh 1,34%, Straits Times minus 0,33%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berkurang 0,48%.
Penyebabnya adalah, pertama data ekonomi China yang kurang oke. Inflasi China pada Januari 2019 tercatat 1,7 YoY, lebih lambat dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 1,9%. Sementara inflasi di tingkat produsen adalah 0,1% YoY, juga di bawah konsensus yang memperkirakan 0,2%.
Data ini menunjukkan perekonomian China yang sedang dalam masa konsolidasi. Permintaan dari konsumen melambat, sehingga dunia usaha juga ragu menaikkan harga. Hawa kelesuan dan perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu semakin terasa.
Masalahnya, China adalah perekonomian terbesar di Asia. Ketika ekonomi China melambat, maka permintaan barang-barang dari negara lain bakal berkurang. Perlambatan ekonomi berpotensi merambat ke penjuru Asia, termasuk Indonesia.
Selain itu, investor juga masih menantikan hasil dialog dagang AS-China yang berlangsung sejak awal pekan dan berakhir hari ini. Sudah ada beberapa bocoran, tetapi masih samar-samar.
Dalam cuitan di Twitter, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menyebut bahwa perundingan dagang berlangsung produktif. Namun dia tidak mengelaborasi lebih lanjut pernyataan itu.
"Pembicaraan yang produktif dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer," tulis Mnuchin.
Kemudian juga ada kabar bahwa pemerintah China bersedia untuk mengakhiri subsidi kepada industri dalam negeri untuk menciptakan persaingan sehat. Jika ini benar, maka sudah sesuai dengan permintaan AS yang ingin agar China lebih membuka perekonomiannya.
Pemerintah China, sebut sumber Reuters, akan mematuhi program subsidi seperti yang sudah diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Namun Washington agak skeptis, karena selama ini Beijing sudah lekat dengan pemberian subsidi dan perlakuan tidak adil terhadap investasi asing seperti pemaksaan transfer teknologi.
"Apalagi China tidak pernah membuka seluruh subsidi, yang semua orang tahu jumlahnya masif dan melibatkan sistem perbankan terbesar di planet ini. Subsidi sudah begitu terkonstruksi dalam perekonomian China," keluh sang sumber, dikutip dari Reuters.
Kabar yang kurang enak ini, apalagi masih agak buram, membuat pelaku pasar tambah ogah masuk ke pasar keuangan Asia. Akibatnya, mayoritas mata uang utama Benua Kuning melemah terhadap dolar AS karena kekurangan arus modal.
Well, di-sandwich dari kiri dan kanan seperti ini membuat rupiah tidak punya pilihan selain melemah. Rupiah tidak mampu memberi kado akhir pekan yang indah bagi Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular