Dikeroyok Luar-Dalam, Rupiah Masih Terus Melemah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 February 2019 10:44
Dikeroyok Luar-Dalam, Rupiah Masih Terus Melemah
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah di kurs acuan. Dolar AS kembali menembus level Rp 14.100. 

Pada Jumat (15/2/2019), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor menunjukkan angka Rp 14.116. Rupiah melemah 0,16% dibandingkan posisi hari sebelumnya dan menyentuh titik terlemahnya dalam 4 hari. 

 

Sementara di pasar spot, rupiah juga tidak berdaya di hadapan dolar AS. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.125. Rupiah melemah 0,28% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan pasar, rupiah masih melemah meski depresiasinya agak menipis. Pada pukul 10:18 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.110 di mana rupiah melemah 0,21%. 

Namun dibandingkan posisi pembukaan pasar, kondisi rupiah memburuk. Pasalnya, depresiasi rupiah hanya 0,04% kala pasar spot baru dibuka. 

Sebenarnya mata uang utama Asia bernasib sama seperti rupiah, yaitu melemah di hadapan dolar AS. Terhitung hanya yen Jepang dan baht Thailand yang masih bisa menguat, lainnya tidak selamat. 

Akan tetapi dengan pelemahan 0,21%, rupiah masuk jajaran mata uang terlemah di Asia. Rupiah menduduki peringkat ketiga dari bawah di klasemen mata uang Benua Kuning, hanya lebih baik dari peso Filipina dan won Korea Selatan. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:18 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari sisi eksternal, investor tampak ragu masuk ke pasar keuangan Asia. Tidak hanya mata uang, pasar saham Asia pun bertumbangan. 

Pada pukul 10:20 WIB, indeks Nikkei 225 anjlok 1,2%, Hang Seng amblas 1,53%, Shanghai Composite turun 0,54%, Kospi ambrol 1,61%, Straits Times minus 0,37%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,53%. 

Sepertinya investor masih harap-harap cemas terhadap hasil dialog dagang AS-China yang rencananya berakhir hari ini. Hawa positif pun bertebaran, meski hasil persis dari perundingan ini masih belum terlihat. 

"Aura di Beijing sangat bagus," ujar Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengutip Reuters. 

Namun, belum ada kejelasan soal perpanjangan masa 'gencatan senjata' selama 60 hari seperti yang sempat ramai dibicarakan. Menurut Kudlow, hal itu masih belum diputuskan. 

"Saya tidak bisa berkomentar soal itu. Namun sejauh ini belum ada keputusan," tambah Kudlow. 

Kemarin, Bloomberg memberitakan bahwa berdasarkan keterangan beberapa orang sumber, Presiden AS Donald Trump tengah mempertimbangkan untuk memperpanjang masa tenang selama 60 hari terhitung mulai 1 Maret. Menurut para sumber itu, Trump berusaha untuk memberi waktu untuk pembahasan yang lebih mendalam. 

Namun kabar tersebut kandas. Beijing, menurut beberapa orang sumber Reuters, tidak pernah mengusulkan perpanjangan waktu. Hu Xijin, Pemimpin Redaksi Global Times (tabloid yang dikelola Partai Komunis China) menyebut laporan Bloomberg tersebut tidak akurat. 

Akibatnya, investor dipaksa menunggu lebih lama. Selagi menunggu, sepertinya bermain aman masih menjadi pilihan utama. Dolar AS pun kembali menjadi 'bunker' perlindungan di tengah ketidakpastian.

Selain itu, data ekonomi dari China juga agak kurang ciamik. Inflasi China pada Januari 2019 tercatat 1,7% year-on-year (YoY), lebih lambat dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 1,9%. Sementara inflasi di tingkat produsen adalah 0,1% YoY, juga di bawah konsensus yang memperkirakan 0,2%. 

Data ini menunjukkan perekonomian China yang sedang dalam masa konsolidasi. Permintaan dari konsumen melambat, sehingga dunia usaha juga ragu menaikkan harga. Hawa kelesuan dan perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu semakin terasa. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara dari dalam negeri, sentimen yang menjadi pemberat rupiah rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor pada Januari 2019 sebesar US$ 13,87 miliar atau turun 4,7% YoY. Sementara impor tercatat US$ 15,03 miliar atau turun 1,83% YoY. Dengan begitu neraca perdagangan defisit US$ 1,16 miliar. 

Realisasi ini lebih dalam dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor turun atau terkontraksi 0,61% sementara impor juga minus 0,785%. Hasilnya, neraca perdagangan diperkirakan defisit US$ 925,5 juta. 

Defisit neraca perdagangan, apalagi sampai di atas US$ 1 miliar, adalah fenomena yang agak langka pada Januari. Biasanya neraca perdagangan malah mencetak surplus pada awal tahun. Sejak 2008, defisit perdagangan Januari hanya terjadi pada 2013, 2014, 2018, dan 2019. 

Neraca perdagangan yang defisit membuat prospek transaksi berjalan pada kuartal I-2019 menjadi penuh tanda tanya. Ada kemungkinan defisit transaksi berjalan tetap dalam, sehingga rupiah terus dihantui risiko pelemahan. 


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular