Didukung Kuatnya Data Tenaga Kerja, Wall Street Akan Menguat

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 February 2019 21:27
Wall Street akan cenderung dibuka menguat pada perdagangan terakhir di pekan ini.
Foto: Wall Street (AP Photo/Richard Drew)
Jakarta, CNBC Indonesia - Wall Street akan cenderung dibuka menguat pada perdagangan terakhir di pekan ini. Kontrak futures Dow Jones dan S&P 500 mengimplikasikan kenaikan masing-masing sebesar 88 dan 5 poin, sementara Nasdaq Composite diimplikasikan turun sebesar 22 poin.

Pelaku pasar bersuka cita merayakan kinclongnya rilis data tenaga kerja. Pada pukul 20:30 WIB, penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian di AS untuk periode Januari 2019 diumumkan sebanyak 304.000, jauh mengungguli ekspektasi yang sebanyak 165.000, seperti dilansir dari Forex Factory. Terlepas dari partial government shutdown yang melanda sepanjang bulan lalu, ternyata optimisme pelaku usaha tetap tinggi, dibuktikan oleh pesatnya penciptaan lapangan kerja.

Sejatinya, tingkat pengangguran per akhir Januari tercatat naik menjadi 4% dari yang sebelumnya 3,9%. Namun, pelaku pasar nampak tak terlalu mempedulikannya. Dengan penciptaan lapangan kerja yang kuat, ada ekspektasi bahwa tingkat pengangguran akan bisa ditekan kedepannya. Apalagi, pemerintahan AS kini sudah kembali beroperasi secara penuh, setidaknya sampai 15 Februari mendatang.

Rilis data tenaga kerja tersebut berhasil mengalihkan perhatian investor dari hasil negosiasi dagang AS-China yang membingungkan.

Pada hari Rabu dan Kamis, AS dan China menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi yang melibatkan tokoh-tokoh penting seperti Wakil Perdana Menteri China Liu He, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.

Lighthizer mengatakan bahwa kedua belah pihak mencapai perkembangan yang besar dalam isu-isu mendasar yakni perlindungan hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa. Perkembangan tersebut termasuk mekanisme verifikasi untuk memastikan bahwa China menjalankan segala komitmennya, seperti dilansir dari Reuters.

Namun, Executive Vice President and Head of International Affairs dari U.S. Chamber of Commerce Myron Brilliant mengatakan bahwa masih ada perbedaan-perbedaan yang signifikan di antara kedua belah pihak seiring dengan tidak adanya proposal baru dari China untuk memenuhi tuntutan AS.

Tuntutan AS yang dimaksud adalah supaya China mengakhiri transfer teknologi secara paksa, mengakhiri subsidi pemerintah untuk sektor industri, serta mengubah peraturan-peraturan yang mendiskriminasi perusahaan asal AS dalam hal digital trade.

Lantas, perang dagang menjadi mungkin untuk tereskalasi. Apalagi, Gedung Putih dalam sebuah pernyataan sudah menegaskan bahwa bea masuk bagi produk impor asal China senilai US$ 200 miliar akan tetap dinaikkan menjadi 25% (dari yang saat ini 10%) jika kesepakatan dagang tak juga tercapai hingga tanggal 2 Maret.

Pada hari ini, tidak ada anggota FOMC yang dijadwalkan untuk berbicara.

TIM RISET CNBC INDONESIA




(ank/ank) Next Article Perlambatan Ekonomi Kian Terasa, Wall Street akan Terkoreksi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular