Sempat Perkasa, Energi Penguatan Rupiah Mulai Terkuras

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 February 2019 10:38
Sempat Perkasa, Energi Penguatan Rupiah Mulai Terkuras
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Memulai hari dengan meyakinkan, rupiah tampaknya mulai kehilangan tajinya. Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, Jumat (1/2/2019), rupiah menguat 0,21% ke level Rp 13.940/dolar AS.

Pada pukul 8:30 WIB, penguatan rupiah sedikit menipis menjadi 0,14% ke level Rp 13.950/dolar AS. Walaupun sedikit menipis, penguatan sebesar 0,14% sudah cukup untuk membuat rupiah menjadi mata uang terbaik di kawasan regional.

Namun pada pukul 9:55 WIB, rupiah mulai kehilangan seluruh daya penguatan yang dicapai hari ini dan diperdagangkan di level Rp 13.970/dolar AS, sama dengan posisi penutupan perdagangan kemarin (31/1/2019). Rupiah bahkan sempat melemah 0,07% ke level Rp 13.980/dolar AS.



Hasil pertemuan The Federal Reserve selaku bank sentral AS sempat membuat rupiah unggul cukup jauh melawan dolar AS. Mempertahankan suku bunga acuan di level 2,25-2,5%, The Fed lagi-lagi mengeluarkan pernyataan bernada kalem alias dovish. The Fed bakal lebih bersabar dalam mengeksekusi kenaikan suku bunga acuan.

"Dalam situasi ekonomi global dan pasar keuangan saat ini, serta tekanan inflasi yang minim, Komite akan bersabar dalam menentukan kenaikan suku bunga acuan berikutnya," tulis pernyataan The Fed.

Tak hanya lebih kalem dalam masalah normalisasi suku bunga acuan, The Fed juga secara tegas menyatakan bahwa pihaknya siap untuk mengubah skema perampingan neracanya. Sebagai informasi, pascakrisis keuangan global tahun 2008 silam, The Fed rajin membeli surat utang pemerintah dan mortgage-backed securities untuk menstimulasi perekonomian Negeri Paman Sam.

Pada puncaknya, neraca dari bank sentral sempat menyentuh angka US$ 4,5 triliun. Terhitung mulai Oktober 2017, The Fed mulai mengurangi besaran neracanya dengan tak lagi menginvestasikan porsi tertentu dari pendapatan yang diterima atas surat berharga tersebut.

"Komite siap untuk menyesuaikan setiap detil untuk menyelesaikan normalisasi neraca berdasarkan perkembangan ekonomi dan pasar keuangan," papar The Fed dalam pernyataan resminya.

Sepanjang tahun 2018, rupiah menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di kawasan Asia. Normalisasi suku bunga acuan sebanyak 4 kali (100 bps) yang dieksekusi The Fed membuat rupiah berada dalam posisi yang sulit. Kini ketika The Fed terlihat sudah semakin dovish, kinerja rupiah pun terangkat. Namun, seiring berjalannya waktu, sentimen perang dagang AS-China terbukti menjadi semakin dominan dalam mendikte pergerakan mata uang Garuda.

Pada Rabu dan Kamis lalu, AS dan China menggelar negosiasi dagang tingkat tinggi yang melibatkan tokoh-tokoh penting seperti Wakil Perdana Menteri China Liu He, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang, dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.

Walaupun disebut berlangsung baik oleh Presiden AS Donald Trump, ternyata belakangan terungkap bahwa hasil negosiasi dagang yang digelar di Washington tersebut tak bagus-bagus amat.

Executive Vice President and Head of International Affairs dari U.S. Chamber of Commerce Myron Brilliant mengatakan bahwa masih ada perbedaan-perbedaan yang signifikan di antara kedua belah pihak. Hal itu tampak karena tidak adanya proposal baru dari China untuk memenuhi tuntutan AS yakni mengakhiri transfer teknologi secara paksa, subsidi pemerintah untuk sektor industri yang besar, serta undang-undang yang mendiskriminasi perusahaan asal AS terkait digital trade.

Padahal, China diketahui China tengah bergerak cepat guna meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang akan melarang transfer teknologi secara paksa dan intervensi pemerintah secara ilegal terhadap perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Negeri Panda.

Xinhua News melaporkan bahwa pemungutan suara terhadap RUU tersebut akan dilakukan pada Maret, seperti dikutip dari Reuters. RUU tersebut pada awalnya diperkenalkan pada 23 Desember 2018 dan biasanya memakan waktu satu tahun atau lebih untuk bisa diloloskan.

Pemungutan suara atas RUU tersebut dipercepat setelah National People’s Congress (NPC) Standing Committee menggelar rapat khusus selama 2 hari pada pekan ini untuk melakukan tinjauan yang kedua terhadap RUU tersebut.

Nampaknya, langkah yang diambil pemerintah China dianggap belum cukup oleh AS.

Lantas, perang dagang menjadi mungkin untuk tereskalasi. Presiden AS Donald Trump sebelumnya sudah mengancam akan menaikkan bea masuk bagi produk impor asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% dari yang sebelumnya 10%, jika kedua negara gagal mencapai kesepakatan dagang hingga periode gencatan senjata berakhir (1 Maret).

Eskalasi perang dagang bisa benar-benar terjadi jika pertemuan antara Trump dengan Presiden China Xi Jinping tak membuahkan hasil yang manis. Kabarnya, pertemuan antar kedua pimpinan negara akan digelar pada akhir Februari setelah Trump melakukan pertemuan dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Rilis angka inflasi yang mengecewakan ikut memukul mundur rupiah. Beberapa saat yang lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi periode Januari 2019 di level 0,32% MoM, sementara inflasi secara tahunan berada di level 2,82%. Capaian ini berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia di level 0,5% MoM (3,01% YoY).

Menyusul rilis angka inflasi, indeks saham sektor barang konsumsi yang sempat menguat hingga 0,31% berbalik melemah sebesar 0,01%. Inflasi yang lebih rendah dari ekspektasi menimbulkan persepsi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sepanjang bulan lalu relatif lemah.

Lantas, ada kekhawatiran bahwa investor asing akan melakukan aksi jual secara masif atas saham-saham barang konsumsi.  Perlu diingat bahwa sektor barang konsumsi sudah melejit sebesar 3,56% sepanjang tahun ini (hingga penutupan perdagangan kemarin), sehingga ruang bagi investor asing untuk melakukan aksi ambil untung menjadi terbuka lebar.

Guna mengantisipasinya, pelaku pasar lebih dulu melepas rupiah dan mengoleksi dolar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular