
Banjir Pasokan Kembali Menghantui, Harga Minyak Tersungkur
taa, CNBC Indonesia
24 January 2019 11:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia pada siang hari ini (24/1/2019), betah di zona merah.
Hingga pukul 11:30 WIB, harga minyak Brent kontrak Maret 2019 melemah sebesar 0,31% ke posisi US$60,95/barel setelah amblas 0,59% kemarin (23/1/2019).
Sedangkan minyak jenis lightsweet (WTI) kontak Maret 2019 turun terbatas 0,32% ke posisi US$52,45/barel setelah menguat sebesar 0,1% pada penutupan perdagangan sebelumya.
Secara mingguan, harga minyak menguat sekitar 0,5% secara point-to-point, sedangkan sejak awal tahun 2019 harga emas hitam ini sudah naik sekitar 14 %.
Nampaknya pelaku pasar masih kuat dibayangi oleh perlambatan ekonomi dunia. Sebenarnya kekhawatiran investor akan berkurangnya permintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak mudah dipahami.
Pasalnya peningkatan kebutuhan energi akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, dimana kala ekonomi tumbuh kencang, industri-industri juga akan membutuhkan energi lebih banyak.
China pada beberapa waktu lalu merilis data pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang berada di level 6,6%. Tingkat pertumbuhan yang terbilang kecil itu merupakan yang paling lambat sejak 1990. Dampak perang dagang dengan Amerika Serikat terlihat sudah semakin nyata.
Tak hanya China, Jepang pun tidak mau ketinggalan. Kemarin Negeri Sakura melaporkan neraca dagangnya periode Desember 2018. Hasilnya gampang ditebak, nilai ekspornya turun 3,8%, yang merupakan penurunan paling besar sejak lebih dari 2 tahun.
Alasannya juga mudah dicerna, yaitu karena turunnya jumlah pengiriman ke China dan sebagian besar negara Asia akibat dampak perang dagang Amerika Serikat (AS)-China.
Selain itu, sinyal-sinyal perlambatan ekonomi dunia juga merambat ke seluruh dunia. Kabar terbaru dari datang dari World Economic Forum (WEF) yang masih berlangsung hingga hari ini, dimana Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan revisi prediksi pertumbuhan ekonomi dunia yang telah diumumkan bulan Oktober lalu. Sayangnya revisinya tambah parah, perkiraan terbaru pertumbuhan ekonomi global versi IMF turun 0,2% menjadi 3,5% di tahun 2019.
"Permintaan energi dunia masih tetap rendah, sebagaimana ketidakpastian tetap ada di benak investor," ujar analis senior OANDA, Alfonso Esparza hari ini, mengutip Reuters.
Banjir pasokan juga membuat investor tidak bisa tenang. Terlebih kemarin American Petroleum Institute (API) merilis data perkembangan cadangan minyak AS. Dalam rilisnya, cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam meningkat 6,6 juta barel di minggu yang berakhir pada 18 Januari 2019. Selain itu cadangan minyak mentah di pusat pengiriman Cushing, Oklahoma juga meningkat 359.000 barel.
Bila, AS terus meningkatkan produksinya, maka pasar bisa kelebihan pasokan. Tercatat sejak awal 2018, produksi minyak AS sudah naik 2,4 juta barel/hari. Berdasarkan data terakhir yang dirilis lembaga resmi pemerintah, Energy Information Administration (EIA), produksi minyak AS berada pada rekornya, yaitu sebesar 11,9 juta barel/hari.
Sebenarnya, sudah ada usaha dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama dengan sekutunya untuk mengatasi kelebihan pasokan. Pada awal Desember 2018 lalu, OPEC bersama Rusia menginisiasi kesepakatan untuk memotong produksi sebanyak 1,2 juta barel/hari mulai Januari 2019.
Keseriusan OPEC juga sudah diperlihatkan dari data produksi bulan Desember yang terpangkas 751.000 barel/hari. Namun, dengan Rusia yang hanya mengurangi produksi sebanyak 30.000 barel/hari pada awal Januari, yang mana masih jauh dari kesepakatan (230.000 barel/hari), optimisme pelaku pasar kembali goyah.
Saat permintaan diperkirakan turun, meningkatnya pasokan bisa menjadi berita buruk bagi investor, karena membuat harga minyak semakin murah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Drama Harga Minyak, Bagaimana Nasib RI?
Hingga pukul 11:30 WIB, harga minyak Brent kontrak Maret 2019 melemah sebesar 0,31% ke posisi US$60,95/barel setelah amblas 0,59% kemarin (23/1/2019).
Sedangkan minyak jenis lightsweet (WTI) kontak Maret 2019 turun terbatas 0,32% ke posisi US$52,45/barel setelah menguat sebesar 0,1% pada penutupan perdagangan sebelumya.
Nampaknya pelaku pasar masih kuat dibayangi oleh perlambatan ekonomi dunia. Sebenarnya kekhawatiran investor akan berkurangnya permintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak mudah dipahami.
Pasalnya peningkatan kebutuhan energi akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, dimana kala ekonomi tumbuh kencang, industri-industri juga akan membutuhkan energi lebih banyak.
China pada beberapa waktu lalu merilis data pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang berada di level 6,6%. Tingkat pertumbuhan yang terbilang kecil itu merupakan yang paling lambat sejak 1990. Dampak perang dagang dengan Amerika Serikat terlihat sudah semakin nyata.
Tak hanya China, Jepang pun tidak mau ketinggalan. Kemarin Negeri Sakura melaporkan neraca dagangnya periode Desember 2018. Hasilnya gampang ditebak, nilai ekspornya turun 3,8%, yang merupakan penurunan paling besar sejak lebih dari 2 tahun.
Alasannya juga mudah dicerna, yaitu karena turunnya jumlah pengiriman ke China dan sebagian besar negara Asia akibat dampak perang dagang Amerika Serikat (AS)-China.
Selain itu, sinyal-sinyal perlambatan ekonomi dunia juga merambat ke seluruh dunia. Kabar terbaru dari datang dari World Economic Forum (WEF) yang masih berlangsung hingga hari ini, dimana Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan revisi prediksi pertumbuhan ekonomi dunia yang telah diumumkan bulan Oktober lalu. Sayangnya revisinya tambah parah, perkiraan terbaru pertumbuhan ekonomi global versi IMF turun 0,2% menjadi 3,5% di tahun 2019.
"Permintaan energi dunia masih tetap rendah, sebagaimana ketidakpastian tetap ada di benak investor," ujar analis senior OANDA, Alfonso Esparza hari ini, mengutip Reuters.
Banjir pasokan juga membuat investor tidak bisa tenang. Terlebih kemarin American Petroleum Institute (API) merilis data perkembangan cadangan minyak AS. Dalam rilisnya, cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam meningkat 6,6 juta barel di minggu yang berakhir pada 18 Januari 2019. Selain itu cadangan minyak mentah di pusat pengiriman Cushing, Oklahoma juga meningkat 359.000 barel.
Bila, AS terus meningkatkan produksinya, maka pasar bisa kelebihan pasokan. Tercatat sejak awal 2018, produksi minyak AS sudah naik 2,4 juta barel/hari. Berdasarkan data terakhir yang dirilis lembaga resmi pemerintah, Energy Information Administration (EIA), produksi minyak AS berada pada rekornya, yaitu sebesar 11,9 juta barel/hari.
Sebenarnya, sudah ada usaha dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama dengan sekutunya untuk mengatasi kelebihan pasokan. Pada awal Desember 2018 lalu, OPEC bersama Rusia menginisiasi kesepakatan untuk memotong produksi sebanyak 1,2 juta barel/hari mulai Januari 2019.
Keseriusan OPEC juga sudah diperlihatkan dari data produksi bulan Desember yang terpangkas 751.000 barel/hari. Namun, dengan Rusia yang hanya mengurangi produksi sebanyak 30.000 barel/hari pada awal Januari, yang mana masih jauh dari kesepakatan (230.000 barel/hari), optimisme pelaku pasar kembali goyah.
Saat permintaan diperkirakan turun, meningkatnya pasokan bisa menjadi berita buruk bagi investor, karena membuat harga minyak semakin murah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Drama Harga Minyak, Bagaimana Nasib RI?
Most Popular