
Ekonomi Dunia Masih Gelap, Harga Minyak Kembali Tertekan
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
16 January 2019 12:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia siang hari ini (16/1/2019), masuk ke zona merah
. Hingga pukul 11:30 WIB, harga minyak Brent kontrak Maret 2019 anjlok 0,33% ke posisi US$60,44/barel setelah sebelumnya melesat 2,80% kemarin (15/1/2019).
Naiknya harga Brent kemarin membawanya kembali ke level psikologis US$60.
Sedangkan minyak jenis lightsweet (WTI) kontak Februari 2019 amblas 0,4% ke posisi US$51,9/barel, setelah terbang sebesar 3,17% pada penutupan perdagangan sebelumya. Secara mingguan, harga minyak melemah 1,3% secara point-to-point, sedangkan performa tahunan emas hitam ini tercatat turun sekitar 15,6%.
Tertekannya harga minyak dunia dipelopori oleh bayang-bayang perlambatan ekonomi dunia yang masih menghantui pelaku pasar hingga saat ini.
Meskipun damai dagang antara AS-China memberikan sinyal-sinyal positif, namun hingga saat ini belum ada bentuk kontrak yang nyata di antara keduanya.
Kabar terakhir dari perseteruan Washington-Beijing adalah pernyataan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Gedung Putih pada hari Senin (14/1/2019). "Kami melakukan (perbincangan dengan sangat baik dengan China. Saya rasa kami akan dapat mencapai kesepakatan dengan China", ujar Trump, mengutip Reuters.
Terhambatnya perdagangan antara AS-China tidak hanya berdampak pada perekonomian kedua negara, tapi juga seluruh dunia. Pasalnya, saat perdagangan dua raksasa ekonomi dunia melambat, maka rantai pasokan seluruh mitra dagang pun terganggu.
Beberapa sumber bahkan mengatakan kepada Reuters pekan lalu bahwa Beijing berencana menurunkan target pertumbuhannya menjadi 6%-6,5%, dimana sebelumnya diproyeksikan tumbuh 6,6% pada 2018 (laju paling lambat dalam 28 tahun).
Selain itu, pasca bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga acuan (FFR) sebesar 25 basis poin pada Desember 2018 lalu, ekonomi AS diprediksi hanya akan tumbuh 2,3% pada 2019. Cukup jauh dibandingkan pertumbuhan tahun 2018 yang sebesar 3%.
Benua Biru pun tak ingin ketinggalan meramaikan suasana. Hasil voting Brexit di parlemen Inggris cukup mengenaskan. Proposal Brexit yang diusung pemerintahan Perdana Menteri Theresa May kalah telak dengan 432 suara menolak berbanding 202 menerima, dua banding satu.
Alhasil, kelanjutan Brexit menjadi kabur. Pelaku pasar masih menantikan langkah selanjutnya dari pemerintah Inggris yang dibayangi ketidakpercayaan parlemen.
Gaduhnya politik Inggris sontak mempengaruhi psikologis pasar. Pasalnya bila ekonomi Inggris anjlok akibat Brexit, dampaknya akan meluas, mengingat Negeri Ratu Elizabeth merupakan perekonomian nomor 5 dunia.
Kekhawatiran pasar tak berhenti sampai disitu, Jepang pun ikut mengambil peran. Hari ini, Jepang merilis indeks harga produsen (PPI) Desember 2018. Dalam rilisnya, PPI periode tersebut melambat 0,6% dari bulan sebelumnya, jauh daripada konsensus yang memprediksi perlambatan hanya di level 0,3%.
Indeks harga produsen menyatakan tingkat inflasi harga di tingkat produsen. Bila PPI melambat, besar kemungkinan karena aktifitas perekonomian yang cenderung stagnan.
Bukti-bukti perlambatan ekonomi dunia yang semakin di depan mata membuat pelaku pasar khawatir akan permintaan energi di tahun ini. Bila ekonomi melambat, maka besar kemungkinan permintaan energi yang salah satu sumbernya berasal dari minyak juga ikut melambat.
Namun demikian, masih ada sentimen positif yang dapat menyokong harga minyak.
Optimisme akan terciptanya kesetimbangan fundamental (pasokan-permintaan) minyak mulai terasa sejak awal tahun 2019. Aura optimisme dibuka oleh data produksi minyak Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada bulan Desember 2018 yang menunjukkan pemotongan sebesar 460.000 barel/hari yang dirilis pada akhir Desember 2018.
Memang, sejak awal Desember 2018 sebenarnya OPEC bersama Rusia sudah bersepakat untuk mengurangi produksi minyaknya hingga 1,2 juta barel/hari.
Namun saat itu pasar belum sepenuhnya yakin akan tingkat kepatuhan OPEC terhadap kesepakatan tersebut. Setelah OPEC membuktikan keseriusan untuk memangkas produksinya, barulah pasar merespon baik, ditandai dengan naiknya harga minyak sejak awal Januari 2019.
Selain itu nilai ekspor minyak Iran juga tercatat menurun. "Ekspor minyak Iran sudah terpangkas cukup dalam, dan sepertinya akan berada di kisaran 1,3 juta barel/hari," menurut sumber dari HSBC mengutip Reuters. Padahal, sebelum berlakunya sanksi atas program nuklir, nilai ekspornya bisa mencapai 2,5 juta barel/hari.
Baru-baru ini, American Petroleum Institute merilis data cadangan minyak AS per 11 Januari 2019 yang masih berkurang sebanyak 0,56 juta barel. Meskipun pada minggu sebelumnya cadangan minyak AS berkurang sebanyak 6,27 juta barel.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Drama Harga Minyak, Bagaimana Nasib RI?
Naiknya harga Brent kemarin membawanya kembali ke level psikologis US$60.
Sedangkan minyak jenis lightsweet (WTI) kontak Februari 2019 amblas 0,4% ke posisi US$51,9/barel, setelah terbang sebesar 3,17% pada penutupan perdagangan sebelumya. Secara mingguan, harga minyak melemah 1,3% secara point-to-point, sedangkan performa tahunan emas hitam ini tercatat turun sekitar 15,6%.
Tertekannya harga minyak dunia dipelopori oleh bayang-bayang perlambatan ekonomi dunia yang masih menghantui pelaku pasar hingga saat ini.
Meskipun damai dagang antara AS-China memberikan sinyal-sinyal positif, namun hingga saat ini belum ada bentuk kontrak yang nyata di antara keduanya.
Kabar terakhir dari perseteruan Washington-Beijing adalah pernyataan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Gedung Putih pada hari Senin (14/1/2019). "Kami melakukan (perbincangan dengan sangat baik dengan China. Saya rasa kami akan dapat mencapai kesepakatan dengan China", ujar Trump, mengutip Reuters.
Terhambatnya perdagangan antara AS-China tidak hanya berdampak pada perekonomian kedua negara, tapi juga seluruh dunia. Pasalnya, saat perdagangan dua raksasa ekonomi dunia melambat, maka rantai pasokan seluruh mitra dagang pun terganggu.
Beberapa sumber bahkan mengatakan kepada Reuters pekan lalu bahwa Beijing berencana menurunkan target pertumbuhannya menjadi 6%-6,5%, dimana sebelumnya diproyeksikan tumbuh 6,6% pada 2018 (laju paling lambat dalam 28 tahun).
Selain itu, pasca bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga acuan (FFR) sebesar 25 basis poin pada Desember 2018 lalu, ekonomi AS diprediksi hanya akan tumbuh 2,3% pada 2019. Cukup jauh dibandingkan pertumbuhan tahun 2018 yang sebesar 3%.
Benua Biru pun tak ingin ketinggalan meramaikan suasana. Hasil voting Brexit di parlemen Inggris cukup mengenaskan. Proposal Brexit yang diusung pemerintahan Perdana Menteri Theresa May kalah telak dengan 432 suara menolak berbanding 202 menerima, dua banding satu.
Alhasil, kelanjutan Brexit menjadi kabur. Pelaku pasar masih menantikan langkah selanjutnya dari pemerintah Inggris yang dibayangi ketidakpercayaan parlemen.
Gaduhnya politik Inggris sontak mempengaruhi psikologis pasar. Pasalnya bila ekonomi Inggris anjlok akibat Brexit, dampaknya akan meluas, mengingat Negeri Ratu Elizabeth merupakan perekonomian nomor 5 dunia.
Kekhawatiran pasar tak berhenti sampai disitu, Jepang pun ikut mengambil peran. Hari ini, Jepang merilis indeks harga produsen (PPI) Desember 2018. Dalam rilisnya, PPI periode tersebut melambat 0,6% dari bulan sebelumnya, jauh daripada konsensus yang memprediksi perlambatan hanya di level 0,3%.
Indeks harga produsen menyatakan tingkat inflasi harga di tingkat produsen. Bila PPI melambat, besar kemungkinan karena aktifitas perekonomian yang cenderung stagnan.
Bukti-bukti perlambatan ekonomi dunia yang semakin di depan mata membuat pelaku pasar khawatir akan permintaan energi di tahun ini. Bila ekonomi melambat, maka besar kemungkinan permintaan energi yang salah satu sumbernya berasal dari minyak juga ikut melambat.
Namun demikian, masih ada sentimen positif yang dapat menyokong harga minyak.
Optimisme akan terciptanya kesetimbangan fundamental (pasokan-permintaan) minyak mulai terasa sejak awal tahun 2019. Aura optimisme dibuka oleh data produksi minyak Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada bulan Desember 2018 yang menunjukkan pemotongan sebesar 460.000 barel/hari yang dirilis pada akhir Desember 2018.
Memang, sejak awal Desember 2018 sebenarnya OPEC bersama Rusia sudah bersepakat untuk mengurangi produksi minyaknya hingga 1,2 juta barel/hari.
Namun saat itu pasar belum sepenuhnya yakin akan tingkat kepatuhan OPEC terhadap kesepakatan tersebut. Setelah OPEC membuktikan keseriusan untuk memangkas produksinya, barulah pasar merespon baik, ditandai dengan naiknya harga minyak sejak awal Januari 2019.
Selain itu nilai ekspor minyak Iran juga tercatat menurun. "Ekspor minyak Iran sudah terpangkas cukup dalam, dan sepertinya akan berada di kisaran 1,3 juta barel/hari," menurut sumber dari HSBC mengutip Reuters. Padahal, sebelum berlakunya sanksi atas program nuklir, nilai ekspornya bisa mencapai 2,5 juta barel/hari.
Baru-baru ini, American Petroleum Institute merilis data cadangan minyak AS per 11 Januari 2019 yang masih berkurang sebanyak 0,56 juta barel. Meskipun pada minggu sebelumnya cadangan minyak AS berkurang sebanyak 6,27 juta barel.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Drama Harga Minyak, Bagaimana Nasib RI?
Most Popular