Sedikit Lagi, Minyak Brent kembali menyentuh level US$ 60

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
15 January 2019 18:24
Hingga pukul 17:00 WIB, harga Brent kontrak Maret 2019 menguat 1,03% ke posisi US$59,60/barel setelah sebelumnya ditutup melemah 1,29% kemarin (14/1/2019)
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia masih terus menguat hingga sore hari ini (15/1/2019). 

Hingga pukul 17:30 WIB, harga minyak Brent kontrak Maret 2019 menguat 0,71% ke posisi US$59,35/barel setelah sebelumnya ditutup melemah 1,29% kemarin (14/1/2019).

Sedangkan minyak jenis lightsweet (WTI) kontak Februari 2019 naik 0,61% ke posisi US$50,87, setelah anjlok 2,30% pada penutupan perdagangan sebelumya.

Secara mingguan, harga minyak sudah naik sekitrar 2% secara point-to-point, sedangkan performa tahunan emas hitam ini tercatat melemah sekitar 17%.

Anjloknya harga minyak kemarin membuat Brent kembali meninggalkan level psikologis US$ 60.



Faktor kesetimbangan fundamental (pasokan-perintaan) diduga menjadi faktor utama pendorong harga si emas hitam.

Pada awal Desember 2018 Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama Rusia bersepakat untuk memangkas produksi minyaknya hingga 1,2 juta barel/hari.

Latar belakang kesepakatan tersebut adalah terus meningkatnya paskoan minyak dunia, terutama dari Amerika Serikat (AS) yang produksinya terus naik hingga mencapai puncaknya pada September 2018. Sebagai informasi, pada September 2018, AS menjadi negara dengan produksi minyak terbesar di dunia. Tak hanya itu, prouksi minyak Rusia dan Arab Saudi juga naik hingga mencapai puncaknya pada November 2018.

Banjirnya pasokan ditengah bayang-bayang perlambatan ekonomi dunia yang saat itu dimotori oleh perang dagang AS-China tentu membuat keseimbangan pasokan-permintaan minyak menjadi timpang. Alhasil, harga minyak terjun bebas mulai Oktober 2018 hingga.

Meskipun OPEC dan Rusia sudah bersepakat, tapi implementasi pengurangan produksi baru akan dilakukan pada Januari 2019. Ditambah lagi, pelaku pasar masih meragukan tingkat kepatuhan OPEC dan Rusia terhadap kesepakatan tersebut. Tak ayal, harga minyak tak dapat terdongkrak hingga akhir tahun 2018.

Baru pada awal Januari 2018, harga minyak mulai bisa ngangkat. Pasalnya pada saat itu, data ekspor minyak OPEC pada Desember 2018 tercatat berkurang 460.000 barel. Data tersebut membuat pelaku pasar menjadi optimis bahwa OPEC benar-benar akan patuh pada kesepakatan, dengan mengurangi pasokan sebanyak 800.000 barel pada Januari 2018.

Ditambah lagi, akibat kembali berlakuny sanksi AS atas Iran terkait program nuklir, nilai ekspor minyak Iran pada awal Januari 2018 hanya berada di kisaran 1,3 juta barel/hari. Padahal pada kondisi normal (tanpa adanya sanksi), nilai ekspor minyak iran bisa lebih dari 2,5 juta barel/hari.
"Ekspor minyak iran sudah terpangkas cukup dalam, dan sepertinya akan berada di kisaran 1,3 juta barel/hari," menurut sumber dari HSBC mengutip Reuters.

Meskipun demikian, harga minyak juga masih akan terus terdampak sentimen negatif.

Perlambatan ekonomi dunia masih tetap memegang peran pentin yang menahan harga minyak. Bukti-bukti perlambatan ekonomi dunia akibat perang dangan AS-China sudah mulai menampakkan dirinya.

Biro Statistik China mencatatkan inflasi di tingkat produsen (PPI) pada Desember 2018 hanya sebesar 0,9% year-on-year (YoY), yang merupakan laju paling lambat sejak September 2019.

Ditambah lagi rilis data dari China Passenger Car Association yang mencatat penurunan penjualan mobil sebesar 5,8% di tahun 2018 dibandingkan tahun sebelumnya. Dimana penjualan mobil sepanjang 2018 hanya sebanyak 22,35 juta unit.

Slain itu, Purchasing Manager's Indeks (PMI) manufaktur Korea Selatan versi Nikkei/Markit Desember 2018 juta tercatat mengalami kontraksi ke 49,8 dari 49,9 di bulan November 2018.

Sementara itu pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Singapura kuartal IV-2018 berada di level 2,2% secara tahunan (YoY). Jauh berada di bawak konsensus pasar yang sebesar 3,2% YoY.

Dari Amerika Serikat, gejolak politik yang tak kunjung usai membuat perekonomian menjadi tidak lancar. Penutupan sebagaian layanan pemerintah membuat 800.000 PNS tidak digaji, dan berdampak pada penurunan penjualan ritel.

Benua biru juga tidak mau ketinggalan. Inggris masih bergejolak sembari menanti keputusan parlemen terkait proposal Brexit yang diajukan oleh pemerintah. Bila ditolak, dan Brexit tanpa kesepakatan (No Deal Brexit), ekonomi Inggris terancam tumbuh negatif 8% pada tahun ini.

"Bila kita mengalami perlambatan ekonomi, harga minyak akan turun karena mereka berkorelasi positif," ujar Hue Frame, manajer portofolio Fame Funds di Sydney, mengutip Reuters.

Kebanyakan analis telah menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi di bawah 3% pada 2019. Bahkan beberapa mengkhawatirkan terjadinya resesi, ditengah perang dagang.

Memang benar, seiring dengan perlambatan ekonomi, maka permintaan akan energi pun akan berkurang. Permintaan minyak sebagai salah satu sumber energi akan terkena dampaknya, yang menyebabkan harga turun.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Drama Harga Minyak, Bagaimana Nasib RI?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular