
Ekonomi China Terpukul, Harga Minyak Ikut Babak Belur
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
10 January 2019 10:54

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga minyak hari ini (10/1/2019) mulai berbalik arah. Hingga pukul 10:50 WIB harga minyak mentah jenis Brent kontrak Maret 2019 terkoreksi 0,8% ke level US$ 60,95/barel, setelah sempat ditutup menguat tajam 4,63% pada perdagangan kemarin (9/1/2019).
Sama halnya dengan harga minyak mentah jenis lightsweet (WTI) yang juga turun sebesar 0,94% ke posisi US$ 51,87/barel, setelah melesat drastis 5,18% pada penutupan perdagangan kemarin.
Pelemahan harga minyak hari ini disebabkan sentimen negatif yang cukup kuat dari China. Biro Statistik China mencatatkan inflasi di tingkat produsen (PPI) pada Desember 2018 hanya sebesar 0,9% year-on-year (YoY), yang merupakan laju paling lambat sejak September 2019.
Melambatnya PPI di tingkat produsen berarti produsen-produsen di China cenderung takut untuk menaikkan harga. Hal ini dapat disebabkan beberapa hal, salah satunya adalah melambatnya tingkat konsumsi.
Sementara inflasi di tingkat konsumen (CPI) hanya sebesar 1,9% YoY, dimana lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun Reuters yakni 2,1% YoY. Ini mengindikasikan konsumen memang cenderung enggan untuk membelanjakan uangnya.
Ditambah lagi rilis data dari China Passenger Car Association yang mencatat penurunan penjualan mobil sebesar 5,8% di tahun 2018 dibandingkan tahun sebelumnya. Dimana penjualan mobil sepanjang 2018 hanya sebanyak 22,35 juta unit.
Fakta-fakta tersebut seakan memberi sinyal kuat bahwa perlambatan ekonomi, terutama di China bukan isapan jempol semata. Pasalnya baik produsen dan konsumen sama-sama cenderung main aman.
Di lain hal, perundingan dagang Amerika Serikat (AS)-China dirasa kurang bisa membuat hubungan dagang keduanya secara signifikan. Memang, secara umum hasilnya positif, namun pernyataan selepas perundingan masih terkesan normatif.
"Kedua pihak menjalani diskusi yang meluas, dalam, dan menyeluruh mengenai isu-isu struktural dan perdagangan. Intinya, terjadi kesepahaman bersama yang menjadi dasar resolusi. Kedua negara juga sepakat untuk terus menjalin hubungan yang erat," sebut pernyataan Kementerian Perdagangan China, mengutip Reuters.
Di pihak seberang, US Trade Representative menyebut China berkomitmen untuk membeli lebih banyak produk AS, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur. Tapi tidak menyebutkan jumlah maupun waktu yang konkret tentang hal tersebut.
Sepertinya pelaku pasar kembali bimbang, dan memilih untuk mengamankan keuntungan terlebih dahulu, menimbang akhir Desember harga minyak sudah naik sekitar 15%.
(taa/gus) Next Article Pagi Ini, Harga Minyak Kembali 'Mendidih'
Sama halnya dengan harga minyak mentah jenis lightsweet (WTI) yang juga turun sebesar 0,94% ke posisi US$ 51,87/barel, setelah melesat drastis 5,18% pada penutupan perdagangan kemarin.
Pelemahan harga minyak hari ini disebabkan sentimen negatif yang cukup kuat dari China. Biro Statistik China mencatatkan inflasi di tingkat produsen (PPI) pada Desember 2018 hanya sebesar 0,9% year-on-year (YoY), yang merupakan laju paling lambat sejak September 2019.
Sementara inflasi di tingkat konsumen (CPI) hanya sebesar 1,9% YoY, dimana lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun Reuters yakni 2,1% YoY. Ini mengindikasikan konsumen memang cenderung enggan untuk membelanjakan uangnya.
Ditambah lagi rilis data dari China Passenger Car Association yang mencatat penurunan penjualan mobil sebesar 5,8% di tahun 2018 dibandingkan tahun sebelumnya. Dimana penjualan mobil sepanjang 2018 hanya sebanyak 22,35 juta unit.
Fakta-fakta tersebut seakan memberi sinyal kuat bahwa perlambatan ekonomi, terutama di China bukan isapan jempol semata. Pasalnya baik produsen dan konsumen sama-sama cenderung main aman.
Di lain hal, perundingan dagang Amerika Serikat (AS)-China dirasa kurang bisa membuat hubungan dagang keduanya secara signifikan. Memang, secara umum hasilnya positif, namun pernyataan selepas perundingan masih terkesan normatif.
"Kedua pihak menjalani diskusi yang meluas, dalam, dan menyeluruh mengenai isu-isu struktural dan perdagangan. Intinya, terjadi kesepahaman bersama yang menjadi dasar resolusi. Kedua negara juga sepakat untuk terus menjalin hubungan yang erat," sebut pernyataan Kementerian Perdagangan China, mengutip Reuters.
Di pihak seberang, US Trade Representative menyebut China berkomitmen untuk membeli lebih banyak produk AS, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur. Tapi tidak menyebutkan jumlah maupun waktu yang konkret tentang hal tersebut.
Sepertinya pelaku pasar kembali bimbang, dan memilih untuk mengamankan keuntungan terlebih dahulu, menimbang akhir Desember harga minyak sudah naik sekitar 15%.
(taa/gus) Next Article Pagi Ini, Harga Minyak Kembali 'Mendidih'
Most Popular