
Beijing-Washington Diduga Mesra, Harga Minyak Terus Menguat
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
09 January 2019 12:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia hari ini masih menunjukkan pola penguatan. Hari ini (9/1/2019) hingga pukul 12:00 WIB, harga minyak Brent kontrak Maret 2019 naik sebesar 1,33% ke posisi US$ 59,50/barel, setelah sebelumnya juga ditutup menguat 2,42% pada perdagangan kemarin (7/1/2019).
Sama hal nya dengan harga minyak jenis lightsweet (WTI) kontak Februari 2019 yang menguat 1,55% ke posisi US$ 50,455, setelah ditutup menguat 2,60% kemarin. Dengan begini, harga minyak WTI kembali menembus level psikologis US$ 50 yang telah ditinggalkan sejak 17 Desember 2018.
Pergerakan positif harga minyak kuat dipengaruhi oleh perundingan dagang yang tengah berlangsung antara Amerika Serikat dan China di Beijing.
"Harga minyak lanjut menguat seiring dengan laporan dari Beijing perihal perundingan dagang yang memberi energi optimisme suksesnya kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China)," ujar Stephen Innes, kepala perdagangan Asia/Pasifik Oanda di Singapura, dikutip dari Reuters
Pertemuan yang dijadwalkan berlangsung 2 hari tersebut (7-8 Januari 2019) ternyata berlanjut hingga hari ini.
"Saya mengkonfirmasi bahwa kami melanjutkan dialog esok hari," ungkap Steven Winberg, Wakil Menteri Energi AS yang membidangi energi fosil, kemarin malam seperti dikutip Reuters.
Pelaku pasar sepertinya memaknai positif perpanjangan waktu perundingan ini. Sebab, ini merupakan bukti komitmen Beijing dan Washington untuk menyelesaikan masalah antara keduanya hingga benar-benar tuntas.
Surat kabar nasional China Daily mengatakan bahwa Beijing sangat bergirah untuk mengakhiri perselisihan dagang dengan AS, namun itu berarti tidak akan ada 'konsesi yang tidak masuk akal' dimana kedua belah pihak harus berkompromi.
Presiden AS, Donald Trump mengatakan akan menaikan bea impor ke 25% dari sebelumnya 10% pada barang impor China yang senilai US$ 200 triliun kalau hingga tanggal 2 Maret kesepakatan belum juga dibuat,
Bila benar-benar terjadi, maka perekonomian China akan semakin tertekan. Padhal saat ini pun sudah mengalami perlambatan yang signifikan.
Selain itu sentimen positif juga berasal dari pasokan minyak mentah. Pada Desember 2018, Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) tercatat memotong produksinya sebesar 460.000 barel/hari.
"Harga minyak mentah terus naik semakin tinggi, sejalan dengan meningkatnya kepercayaan invetor terhadap dampak pemotogan pasokan minyak OPEC yang akan memperketat pasar," ujar Bank ANZ, seperti yang dilansir oleh Reuters.
Pasalnya, pasokan minyak mentah dunia yang berlebih merupakan sentimen negatif yang cukup signifikan mempengaruhi pasar.
Bagaimana tidak, produksi minyak mentah AS, Arab Saudi sebagai 3 negara penghasil minyak mentah terus menanjak .
Berkat temuan minyak serpihnya, produksi minyak AS terus melambung hingga mencapai puncaknya pada September 2018 sebesar 11,4 juta barel/hari, menghantarkan AS menjadi negara penghasil minyak terbesar di dunia.
Rusia dan Arab Saudi juga tidak kalah. Menekati akhir tahun, produksi minya kedua negara tersebut menyentuh rekor tertingginya.
Meluapnya pasokan sementara pemintaan sedang lesu sudah tentu akan menekan harga minyak. Alhasil, sepannjang tahun 2018, harga emas hitam ini sudah terkoreksi sekitar 20%.
Baru pada awal Desember 2018, OPEC bersama Rusia mencapai kesepakatan untuk memotong pasokan minyak sebesar 1,2 juta barel/hari. Rencana ini baru mulai diimplementasikan pada Januari 2019.
Catatan penurunan produksi OPEC membuat investor percaya tingkat kepatuhan OPEC dan Rusia terhadap kesepakatan tersebut akan cukup tinggi.
(TIM RISET CNBCÂ INDONESIA)
(taa/hps) Next Article Drama Harga Minyak, Bagaimana Nasib RI?
Sama hal nya dengan harga minyak jenis lightsweet (WTI) kontak Februari 2019 yang menguat 1,55% ke posisi US$ 50,455, setelah ditutup menguat 2,60% kemarin. Dengan begini, harga minyak WTI kembali menembus level psikologis US$ 50 yang telah ditinggalkan sejak 17 Desember 2018.
"Harga minyak lanjut menguat seiring dengan laporan dari Beijing perihal perundingan dagang yang memberi energi optimisme suksesnya kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China)," ujar Stephen Innes, kepala perdagangan Asia/Pasifik Oanda di Singapura, dikutip dari Reuters
Pertemuan yang dijadwalkan berlangsung 2 hari tersebut (7-8 Januari 2019) ternyata berlanjut hingga hari ini.
"Saya mengkonfirmasi bahwa kami melanjutkan dialog esok hari," ungkap Steven Winberg, Wakil Menteri Energi AS yang membidangi energi fosil, kemarin malam seperti dikutip Reuters.
Pelaku pasar sepertinya memaknai positif perpanjangan waktu perundingan ini. Sebab, ini merupakan bukti komitmen Beijing dan Washington untuk menyelesaikan masalah antara keduanya hingga benar-benar tuntas.
Surat kabar nasional China Daily mengatakan bahwa Beijing sangat bergirah untuk mengakhiri perselisihan dagang dengan AS, namun itu berarti tidak akan ada 'konsesi yang tidak masuk akal' dimana kedua belah pihak harus berkompromi.
Presiden AS, Donald Trump mengatakan akan menaikan bea impor ke 25% dari sebelumnya 10% pada barang impor China yang senilai US$ 200 triliun kalau hingga tanggal 2 Maret kesepakatan belum juga dibuat,
Bila benar-benar terjadi, maka perekonomian China akan semakin tertekan. Padhal saat ini pun sudah mengalami perlambatan yang signifikan.
Selain itu sentimen positif juga berasal dari pasokan minyak mentah. Pada Desember 2018, Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) tercatat memotong produksinya sebesar 460.000 barel/hari.
"Harga minyak mentah terus naik semakin tinggi, sejalan dengan meningkatnya kepercayaan invetor terhadap dampak pemotogan pasokan minyak OPEC yang akan memperketat pasar," ujar Bank ANZ, seperti yang dilansir oleh Reuters.
Pasalnya, pasokan minyak mentah dunia yang berlebih merupakan sentimen negatif yang cukup signifikan mempengaruhi pasar.
Bagaimana tidak, produksi minyak mentah AS, Arab Saudi sebagai 3 negara penghasil minyak mentah terus menanjak .
Berkat temuan minyak serpihnya, produksi minyak AS terus melambung hingga mencapai puncaknya pada September 2018 sebesar 11,4 juta barel/hari, menghantarkan AS menjadi negara penghasil minyak terbesar di dunia.
Rusia dan Arab Saudi juga tidak kalah. Menekati akhir tahun, produksi minya kedua negara tersebut menyentuh rekor tertingginya.
Meluapnya pasokan sementara pemintaan sedang lesu sudah tentu akan menekan harga minyak. Alhasil, sepannjang tahun 2018, harga emas hitam ini sudah terkoreksi sekitar 20%.
Baru pada awal Desember 2018, OPEC bersama Rusia mencapai kesepakatan untuk memotong pasokan minyak sebesar 1,2 juta barel/hari. Rencana ini baru mulai diimplementasikan pada Januari 2019.
Catatan penurunan produksi OPEC membuat investor percaya tingkat kepatuhan OPEC dan Rusia terhadap kesepakatan tersebut akan cukup tinggi.
(TIM RISET CNBCÂ INDONESIA)
(taa/hps) Next Article Drama Harga Minyak, Bagaimana Nasib RI?
Most Popular