
Duh, Harga Batu Bara Jatuh ke Titik Terendah Sejak 9 Bulan
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
08 January 2019 19:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada penutupan perdagangan kemarin (7/1/2019), harga batu bara kembali amblas 0,45% ke level US$ 99,05/metrik ton, setelah sebelumnya juga ditutup melemah sebesar 0,1% di posisi US$ 99,5/metrik ton.
Performa mingguan harga batu bara mencatatkan pelemahan sebesar 2,94% secara point-to point. Sedangkan bila ditelusuri lebih jauh, harga batu bara sudah terpangkas 6% secara tahunan saat ini.
Dengan kondisi yang demikian, harga batu bara resmi menyentuh harga terendahnya sejak April 2018, atau 9 bulan yang lalu.
Harga batu bara utamanya ditekan oleh sentimen perlambatan ekonomi dunia yang juga mempengaruhi aktifitas industri. Pekan ini, rilis data Manager Purchasing Index (PMI) manufaktur di berbagai negara seakan mengukuhkan sentimen tersebut. Bagaimana tidak, kontraksi PMI manufaktur bertebaran dimana-mana.
China sebagai peringkat ke-2 ekonomi dunia mencatatkan kontraksi di sektor manufaktur pada Desember 2018 silam, yang dilihat dari angka Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur versi Caixin yang turun ke 49,7 dari sebelumnya 50,2 pada November 2018.
PMI Korea Selatan versi Nikkei/Markit Desember 2018 juta tercatat mengalami kontraksi ke 49,8 dari 49,9 di bulan November 2018.
Sementara angka PMI Taiwan versi Nikkei pada Desember berada di 47,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 48,4. Angka ini menjadi yang terendah sejak September 2015.
Terkontraksinya nilai PMI manufaktur sebuah negara mencerminkan bahwa aktifitas industri manufaktur yang melambat dibandingkan periode sebelumnya.
Dampaknya, permintaan energi juga akan berkurang. Batu bara salah satu yang cukup besar mendapat dampaknya.
Terutama di negara-negara berkembang, batu bara masih menjadi sumber energi utama, karena harganya yang murah. Bahkan China sebagai negara pengimpor batu bara terbesar di dunia, masih mengandalkan batu bara sebagai sumber energi listrik utama, mencapai 72% dari total kebutuhan.
Bisa dipahami apabila kontraksi manufaktur China sendiri dapat mempengaruhi permintaan terhadap batu bara.
Ditambah lagi, kemarin Data Society of Motor Manufacturers and Traders (SMMT) merilis data penjualan mobil di Inggris. Dalam data tersebut tercatat penjualan mobil turun 6,8% pada tahun 2018 silam menjadi 2,37 juta kendaraan. Ini adalah penurunan terbesar sejak penjualan amblas hingga 11,3% saat krisis global 2008.
Penurunan penjualan mobil ini kuat diduga akibat dari terjadinya Brexit (proses keluarnya Inggris dari kesatuan Uni Eropa).
Memang, konsumsi batu bara Inggis memang tidak terlalu besar, namun industri otomotif bukan industri yang berdiri sendiri. Inggris sebagai kekuatan ekonomi terbesar ke-3 di dunia sudah tentu memiliki pengaruh yang luas.
Menurunnya permintaan terhadap sektor industri manufaktur Inggris otomatis menurunkan permintaan komponen-komponen yang dipasok dari negara mitra dagangnya. Dimana lagi-lagi juga berdampak pada penurunan permintaan energi dimana salah satu sumbernya adalah batu bara.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Video: Harga Batu Bara Terbang 17%, Sampai Kapan?
Performa mingguan harga batu bara mencatatkan pelemahan sebesar 2,94% secara point-to point. Sedangkan bila ditelusuri lebih jauh, harga batu bara sudah terpangkas 6% secara tahunan saat ini.
Dengan kondisi yang demikian, harga batu bara resmi menyentuh harga terendahnya sejak April 2018, atau 9 bulan yang lalu.
Harga batu bara utamanya ditekan oleh sentimen perlambatan ekonomi dunia yang juga mempengaruhi aktifitas industri. Pekan ini, rilis data Manager Purchasing Index (PMI) manufaktur di berbagai negara seakan mengukuhkan sentimen tersebut. Bagaimana tidak, kontraksi PMI manufaktur bertebaran dimana-mana.
China sebagai peringkat ke-2 ekonomi dunia mencatatkan kontraksi di sektor manufaktur pada Desember 2018 silam, yang dilihat dari angka Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur versi Caixin yang turun ke 49,7 dari sebelumnya 50,2 pada November 2018.
PMI Korea Selatan versi Nikkei/Markit Desember 2018 juta tercatat mengalami kontraksi ke 49,8 dari 49,9 di bulan November 2018.
Sementara angka PMI Taiwan versi Nikkei pada Desember berada di 47,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 48,4. Angka ini menjadi yang terendah sejak September 2015.
Terkontraksinya nilai PMI manufaktur sebuah negara mencerminkan bahwa aktifitas industri manufaktur yang melambat dibandingkan periode sebelumnya.
Dampaknya, permintaan energi juga akan berkurang. Batu bara salah satu yang cukup besar mendapat dampaknya.
Terutama di negara-negara berkembang, batu bara masih menjadi sumber energi utama, karena harganya yang murah. Bahkan China sebagai negara pengimpor batu bara terbesar di dunia, masih mengandalkan batu bara sebagai sumber energi listrik utama, mencapai 72% dari total kebutuhan.
Bisa dipahami apabila kontraksi manufaktur China sendiri dapat mempengaruhi permintaan terhadap batu bara.
Ditambah lagi, kemarin Data Society of Motor Manufacturers and Traders (SMMT) merilis data penjualan mobil di Inggris. Dalam data tersebut tercatat penjualan mobil turun 6,8% pada tahun 2018 silam menjadi 2,37 juta kendaraan. Ini adalah penurunan terbesar sejak penjualan amblas hingga 11,3% saat krisis global 2008.
Penurunan penjualan mobil ini kuat diduga akibat dari terjadinya Brexit (proses keluarnya Inggris dari kesatuan Uni Eropa).
Memang, konsumsi batu bara Inggis memang tidak terlalu besar, namun industri otomotif bukan industri yang berdiri sendiri. Inggris sebagai kekuatan ekonomi terbesar ke-3 di dunia sudah tentu memiliki pengaruh yang luas.
Menurunnya permintaan terhadap sektor industri manufaktur Inggris otomatis menurunkan permintaan komponen-komponen yang dipasok dari negara mitra dagangnya. Dimana lagi-lagi juga berdampak pada penurunan permintaan energi dimana salah satu sumbernya adalah batu bara.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Video: Harga Batu Bara Terbang 17%, Sampai Kapan?
Most Popular