
Tertinggi Dalam 3 Pekan, Harga Minyak Perlahan Bangkit
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
07 January 2019 15:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini (7/1/2019) harga minyak mentah dunia menyentuh level tertingginya dalam 3 minggu.
Hingga pukul 14:30 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Maret 2019 masih menguat sebesar 1,77% ke posisi US$ 58,07/barel. Sedangkan jenis lightsweet (WTI) juga naik sebesar 1,94% ke level US$ 48,84/barel.
Melanjutkan penguatan harga dari hari kemarin dimana Brent dan WTI ditutup menguat masing-masing sebesar 1,98% dan 1,85%.
Tren kenaikan harga minyak yang dimulai dari akhir tahun 2018, kuat diduga akibat ketegangan Amerika Serikat (AS)-China yang mulai terlihat menemui titik tengah.
Pada Sabtu (29/12/2018) lalu, presiden AS Donald Trump dikabarkan telah melakukan komunikasi positif dengan presiden China Xi Jinping melalui sambungan telepon. Dalam cuitannya di twitter, Trump menyampaikan bahawa kesepakatan antara keduanya bergerak ke arah yang positif dan komrehensif.
Kemudian, pada tanggal 7-8 Januari 2019, delegasi Washington pada tingkat wakil menteri akan mengunjungi Negeri Tirai Bambu untuk menggelar perundingan.
Kedua negara akan berdialog mengenai isu-isu perdagangan, menindaklanjuti hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan lalu. Di sela-sela KTT G20 tersebut, Trump dan Xi menyepakati 'gencatan senjata' selama 90 hari.
Tak ayal, harapan terciptanya perang dagang AS-China membuat pelaku pasar sedikit lebih tenang, dimana sebelumnya dihantui sentimen perlambatan ekonomi dunia yang cukup pekat.
Pasalnya, dampak perang dagang AS-China tak hanya dirasakan oleh kedua negara tersebut saja. Sebagai dua kekuatan utama ekonomi dunia, perlambatan arus perdagangan kedua negara juga berdampak pada rantai pasokan negara-negara yang menjadi mitranya (hampir seluruh dunia).
Awal 2019, bukti-bukti perlambatan ekonomi dunia mulai terlihat dengan mata telanjang. China sebagai peringkat ke-2 ekonomi dunia mencatatkan kontraksi di sektor manufaktur pada Desember 2018 silam, yang dilihat dari angka Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur versi Caixin yang turun ke 49,7 dari sebelumnya 50,2 pada November 2018.
PMI Korea Selatan versi Nikkei/Markit Desember 2018 juta tercatat mengalami kontraksi ke 49,8 dari 49,9 di bulan November 2018.
Sementara itu pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Singapura kuartal IV-2018 berada di level 2,2% secara tahunan (YoY). Jauh berada di bawak konsensus pasar yang sebesar 3,2% YoY.
Selain itu sentimen positif juga berasal dari pasokan minyak mentah. Pada Desember 2018, Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) tercatat memotong produksinya sebesar 460.000 barel/hari.
Sebenarnya, rencana pemotongan kuota produksi OPEC dan Rusia sudah disepakati pada awal Desember 2019, yaitu sebesar 1,2 barel/hari dan akan mulai dijalankan pada Januari 2019. Tak heran karena pada kala itu tiga negara penghasil minyak terbesar di dunia (AS, Arab Saudi, Rusia) membanjiri pasokan minyak dunia dengan rekor produksi minyak tertingginya. Bahkan AS pada bulan Oktober 2018 resmi menjadi penghasil minyak terbesar dunia dengan produksi mencapai 11,47 juta barel/hari.
Namun, pada Desember 2018, pasar seakan tidak yakin dengan kepatuhan OPEC beserta Rusia terhadap perjanjian pemotongan produksi minyak. Terbukti sepanjang Desember hingga akhir tahun 2018, harga minyak anjlok sekitar 9%.
Namun kini, setelah melihat OPEC benar-benar serius mengurangi pasokan minyaknya, pasar kembali optimis kelebihan pasokan pada 2019 bisa teratasi.
(TIM RISET CNBCÂ INDONESIA)
(taa/gus) Next Article Drama Harga Minyak, Bagaimana Nasib RI?
Hingga pukul 14:30 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak Maret 2019 masih menguat sebesar 1,77% ke posisi US$ 58,07/barel. Sedangkan jenis lightsweet (WTI) juga naik sebesar 1,94% ke level US$ 48,84/barel.
Melanjutkan penguatan harga dari hari kemarin dimana Brent dan WTI ditutup menguat masing-masing sebesar 1,98% dan 1,85%.
Pada Sabtu (29/12/2018) lalu, presiden AS Donald Trump dikabarkan telah melakukan komunikasi positif dengan presiden China Xi Jinping melalui sambungan telepon. Dalam cuitannya di twitter, Trump menyampaikan bahawa kesepakatan antara keduanya bergerak ke arah yang positif dan komrehensif.
Kemudian, pada tanggal 7-8 Januari 2019, delegasi Washington pada tingkat wakil menteri akan mengunjungi Negeri Tirai Bambu untuk menggelar perundingan.
Kedua negara akan berdialog mengenai isu-isu perdagangan, menindaklanjuti hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan lalu. Di sela-sela KTT G20 tersebut, Trump dan Xi menyepakati 'gencatan senjata' selama 90 hari.
Tak ayal, harapan terciptanya perang dagang AS-China membuat pelaku pasar sedikit lebih tenang, dimana sebelumnya dihantui sentimen perlambatan ekonomi dunia yang cukup pekat.
Pasalnya, dampak perang dagang AS-China tak hanya dirasakan oleh kedua negara tersebut saja. Sebagai dua kekuatan utama ekonomi dunia, perlambatan arus perdagangan kedua negara juga berdampak pada rantai pasokan negara-negara yang menjadi mitranya (hampir seluruh dunia).
Awal 2019, bukti-bukti perlambatan ekonomi dunia mulai terlihat dengan mata telanjang. China sebagai peringkat ke-2 ekonomi dunia mencatatkan kontraksi di sektor manufaktur pada Desember 2018 silam, yang dilihat dari angka Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur versi Caixin yang turun ke 49,7 dari sebelumnya 50,2 pada November 2018.
PMI Korea Selatan versi Nikkei/Markit Desember 2018 juta tercatat mengalami kontraksi ke 49,8 dari 49,9 di bulan November 2018.
Sementara itu pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Singapura kuartal IV-2018 berada di level 2,2% secara tahunan (YoY). Jauh berada di bawak konsensus pasar yang sebesar 3,2% YoY.
Selain itu sentimen positif juga berasal dari pasokan minyak mentah. Pada Desember 2018, Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) tercatat memotong produksinya sebesar 460.000 barel/hari.
Sebenarnya, rencana pemotongan kuota produksi OPEC dan Rusia sudah disepakati pada awal Desember 2019, yaitu sebesar 1,2 barel/hari dan akan mulai dijalankan pada Januari 2019. Tak heran karena pada kala itu tiga negara penghasil minyak terbesar di dunia (AS, Arab Saudi, Rusia) membanjiri pasokan minyak dunia dengan rekor produksi minyak tertingginya. Bahkan AS pada bulan Oktober 2018 resmi menjadi penghasil minyak terbesar dunia dengan produksi mencapai 11,47 juta barel/hari.
Namun, pada Desember 2018, pasar seakan tidak yakin dengan kepatuhan OPEC beserta Rusia terhadap perjanjian pemotongan produksi minyak. Terbukti sepanjang Desember hingga akhir tahun 2018, harga minyak anjlok sekitar 9%.
Namun kini, setelah melihat OPEC benar-benar serius mengurangi pasokan minyaknya, pasar kembali optimis kelebihan pasokan pada 2019 bisa teratasi.
(TIM RISET CNBCÂ INDONESIA)
(taa/gus) Next Article Drama Harga Minyak, Bagaimana Nasib RI?
Most Popular