
Ini Penjelasan BI Soal Kuatnya Rupiah, Happy Weekend!
Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
04 January 2019 16:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah berhasil melibas dolar AS kali ini. Penguatan rupiah nyaris mencapai 1%.
Rupiah ditutup menguat pada Jumat (4/1/2018), US$ 1 dibanderol Rp 14.265 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,97% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Nanang Hendarsah menjelaskan secara lengkap perjalanan rupiah hari ini. Berikut petikannya :
Rupiah mengalami penguatan di tengah kekhawatiran pasar terhadap melemahnya ekonomi global dan optimisme kemajuan negosiasi sengketa dagang AS-China. Di dalam negeri, suksesnya lelang SBN pada 4 Januari 2018 juga menjadi katalis penguatan Rupiah.
Hari ini Jumat Rupiah ditutup di Rp 14.265/US$ atau menguat Rp 140 atau 0.97% dibandingkan penutupan hari sebelumnya di Rp 14.405/US$.
Dalam kondisi sentimen global yang cenderung mix, Bank Indonesia mengawal penguatan Rupiah tersebut untuk memperkuat market confidence terhadap Rupiah.
Langkah mengawal penguatan Rupiah oleh Bank Indonesia ditempuh dengan membuka lelang DNDF pukul 08.30 WIB selama 15 menit, yang kemudian dilanjutkan dengan direct intervention dengan menempatkan offer price DNDF di 8 broker sepanjang sesi perdagangan dalam jumlah yang signifikan.
Dengan memanfaatkan momentum dan timing yang pas Bank Indonesia memberikan signal dengan melakukan intervensi di pasar spot dengan jumlah yang sangat terukur.
Bank Indonesia terus mewaspadai karena kondisi pasar keuangan global masih diliputi ketidakpastian. Hal ini terutama terkait memburuknya data ekonomi khususnya data manufaktur di berbagai negara termasuk di AS, China, Prancis, Jerman, dan Spanyol.
Melemahnya kegiatan manufaktur di berbagai negara tersebut merupakan dampak negatif dari yang sudah mulai dirasakan karena melemahnya kegiatan perdagangan antar negara. Lumpuhnya sebagian dari kegiatan pemerintahan di AS atau partial government shutdown bila berkepanjangan juga akan berdampak terhadap kegiatan konsumsi di AS. Ditambah lagi, dampak dari "wealth effect" kemerosotan harga saham di AS yang berkelanjutan akan menyebabkan konsumsi tertekan karena besarnya kapitalisasi nilai saham terhadap PDB di AS.
Oleh karenanya indikator di pasar uang di AS seperti Fed Fund Future dan Overnight Index Swap (OIS) memberikan indikasi the Fed tidak akan menaikkan suku bunga kebijakan (Fed Fund Rate) di tahun 2019.
Ekspektasi pasar ini membuat yield US Treasury Bond kembali merosot ke 2.55% dan Index Dolar (DXY) melemah ke 96.17. Di tengah merosotnya harga saham di AS, dolar tidak menyandang 'safe haven currency' tapi saat ini tergantikan dengan Yen Jepang.
(dru) Next Article RI, Jepang, China Hingga Korsel Siap 'Buang' Dolar AS di 2024
Rupiah ditutup menguat pada Jumat (4/1/2018), US$ 1 dibanderol Rp 14.265 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,97% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Nanang Hendarsah menjelaskan secara lengkap perjalanan rupiah hari ini. Berikut petikannya :
Hari ini Jumat Rupiah ditutup di Rp 14.265/US$ atau menguat Rp 140 atau 0.97% dibandingkan penutupan hari sebelumnya di Rp 14.405/US$.
Dalam kondisi sentimen global yang cenderung mix, Bank Indonesia mengawal penguatan Rupiah tersebut untuk memperkuat market confidence terhadap Rupiah.
Langkah mengawal penguatan Rupiah oleh Bank Indonesia ditempuh dengan membuka lelang DNDF pukul 08.30 WIB selama 15 menit, yang kemudian dilanjutkan dengan direct intervention dengan menempatkan offer price DNDF di 8 broker sepanjang sesi perdagangan dalam jumlah yang signifikan.
Dengan memanfaatkan momentum dan timing yang pas Bank Indonesia memberikan signal dengan melakukan intervensi di pasar spot dengan jumlah yang sangat terukur.
Bank Indonesia terus mewaspadai karena kondisi pasar keuangan global masih diliputi ketidakpastian. Hal ini terutama terkait memburuknya data ekonomi khususnya data manufaktur di berbagai negara termasuk di AS, China, Prancis, Jerman, dan Spanyol.
Melemahnya kegiatan manufaktur di berbagai negara tersebut merupakan dampak negatif dari yang sudah mulai dirasakan karena melemahnya kegiatan perdagangan antar negara. Lumpuhnya sebagian dari kegiatan pemerintahan di AS atau partial government shutdown bila berkepanjangan juga akan berdampak terhadap kegiatan konsumsi di AS. Ditambah lagi, dampak dari "wealth effect" kemerosotan harga saham di AS yang berkelanjutan akan menyebabkan konsumsi tertekan karena besarnya kapitalisasi nilai saham terhadap PDB di AS.
Oleh karenanya indikator di pasar uang di AS seperti Fed Fund Future dan Overnight Index Swap (OIS) memberikan indikasi the Fed tidak akan menaikkan suku bunga kebijakan (Fed Fund Rate) di tahun 2019.
Ekspektasi pasar ini membuat yield US Treasury Bond kembali merosot ke 2.55% dan Index Dolar (DXY) melemah ke 96.17. Di tengah merosotnya harga saham di AS, dolar tidak menyandang 'safe haven currency' tapi saat ini tergantikan dengan Yen Jepang.
(dru) Next Article RI, Jepang, China Hingga Korsel Siap 'Buang' Dolar AS di 2024
Most Popular