
Rekap Komoditas di 2018: Batu Bara Berkilau, Minyak Suram
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
04 January 2019 15:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas global berguguran di tahun 2018. Persepsi perlambatan ekonomi global sukses menjadi "hantu"yang menyeret mayoritas harga komoditas ke zona merah di sepanjang tahun lalu.
Apabila khusus meninjau komoditas yang menjadi unggulan ekspor Indonesia, hampir semuanya mengalami penurunan. Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) kontrak berjangka di Bursa Derivatif Malaysia amblas hingga 15% lebih di sepanjang tahun 2018.
Dari komoditas agrikultur unggulan RI lainnya, harga karet kontrak berjangka di Tokyo Commodity Exchange (TOCOM) juga jeblok 16% lebih.
Tidak hanya itu, harga komoditas logam industri unggulan tanah air juga terkoreksi secara berjamaah. Di sepanjang tahun lalu, harga nikel turun 16,45%, aluminium ambrol 19,28%, dan timah minus 2,88%. Sebagai informasi, ketiga harga komoditas itu mengacu pada kontrak berjangka di London Metal Exchange (LME).
Dari bursa COMEX, dua komoditas utama keluaran tambang Grasberg di Papua juga berjatuhan. Harga tembaga kontrak berjangka terperosok 20,28% di sepanjang tahun 2018, sementara harga emas kontrak berjangka turun tipis 2,34%.
Sentimen utama yang mengantui pelemahan harga komoditas datang dari persepsi melambatnya perekonomian dunia. Hal ini terefleksikan dari data-data ekonomi yang memburuk, utamanya di negara-negara konsumen komoditas utama di Asia.
Perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 6,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) di kuartal III-2018, lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 6,6% YoY. Capaian ini merupakan yang terendah sejak 2009 silam.
Kemudian, Manufacturing PMI China hingga bulan Desember 2018 turun selama 4 bulan berturut-turut. Teranyar di bulan Desember, indeks ini diumumkan sebesar 49,4. Angka di bawah 50 menunjukkan pelaku industri di Beijing kini cenderung pesimis.
Tidak hanya itu, laba bersih dari perusahaan-perusahaan industri di China juga dumumkan turun 1,8% YoY pada bulan November, menjadi 594,8 miliar yuan (Rp 1.254 triliun). Mengutip Reuters, ini menandai penurunan pertama sejak Desember 2015.
Perang dagang yang terjadi antar Amerika Serikat (AS)-China nampaknya memang membebani aktivitas ekonomi di Negeri Panda. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru untuk produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China menyasar US$ 110 miliar produk asal AS.
Gawatnya, dampak negatif perang dagang ternyata menular ke negara-negara yang menjadi mitra utama dagang China di Asia, di antaranya Jepang dan Korea Selatan. Perekonomian Korea Selatan "hanya" tumbuh 2% YoY pada kuartal III-2018, melambat dari 2,8% YoY di kuartal sebelumnya.
Hal senada juga terjadi di Jepang, malah lebih parah. Perekonomian Negeri Sakura terkontraksi alias minus hingga 2,5% YoY di kuartal III-2018, terrburuk sejak kuartal II-2014.
Persepsi perlambatan ekonomi di Benua Kuning lantas menjadi indikasi bahwa permintaan komoditas global juga akan menurun. Hal ini lantas menekan hampir seluruh harga komoditas dunia di sepanjang tahun lalu.
Merespon lesunya ekonomi, bursa saham utama Asia pun kompak berguguran di sepanjang tahun 2018. Nikkei jatuh 12,08%, Kospi amblas 17,28%, Shanghai jeblok 28,64%, Hang Seng ambrol 13,61%, dan Straits Times minus 9,82%. Hal ini lantas semakin memupus kepercayaan diri investor untuk melakukan pedagangan di pasar komoditas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Komoditas tembaga memang turun hingga 20% lebih di sepanjang tahun lalu, tapi bukan menjadi yang paling parah. Status komoditas berperforma terburuk di tahun 2018 menjadi milik minyak mentah.
Dalam setahun, harga minyak jenis light sweet (WTI) kontrak berjangka anjlok hingga 24,84%, menjadi yang terparah sejak 2015. Sementara itu, harga minyak brent kontrak berjangka juga ambrol 19,55%.
Selain dipengaruhi sentimen menurunnya permintaan akibat perlambatan ekonomi dunia, harga si emas hitam dipengaruhi sentimen membanjirnya pasokan di pasar. AS kini muncul sebagai produsen minyak terbesar dunia, dengan memproduksi minyak mentah hingga 11,47 juta barel/hari pada bulan September 2018. Capaian itu sekaligus merupakan rekor tertinggi di sepanjang sejarah Negeri Paman Sam. Capaian ini tidak lepas dari kemajuan produksi minyak serpih (shale oil) yang amat masif. Pemerintah AS mengatakan pada akhir Desember mendatang, produksi shale oil akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari.
Sedangkan Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia, mencatatkan produksi minyak mentah sebesar 11,41 juta barel ber hari pada bulan Oktober 2018. Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet. Berlawanan dengan harga minyak mentah, harga batu bara menjadi satu-satunya komoditas yang membukukan kinerja tahunan positif di 2018. Tentu ini bisa agak melegakan, mengingat bahwa si batu hitam merupakan salah satu komoditas ekspor utama RI, selain CPO.
Dalam setahun, harga batu Newcastle kontrak berjangkad ICE Futures naik 1,24% secara point-to-point. Harga komoditas ini masih selamat dari zona merah karena ditopang permintaan kuat dari China di pertengahan tahun lalu. Sejak akhir April 2018, harga batu bara memang tancap gas dan terus menguat hingga menyentuh titik tertingginya dalam 6,5 tahun di US$ 119,9/Metrik Ton (MT). Rekor itu dicapai pada akhir Juli 2018. Meski selepas Juli 2018 trennya cenderung menurun (ditutup di level US$ 102,05/MT pada akhir tahun 2018), kenaikan kencang di pertengahan tahun tersebut akhirnya membuat harga batu bara mencatatkan kinerja tahunan yang positif.
Faktor utama yang melambungkan harga si batu hitam pada pertengahan tahun lalu adalah gelombang panas yang menyapu Bumi Belahan Utara (BBU). Temperatur di wilayah pengkonsumsi utama batu bara di Asia Utara dan Eropa menyentuh rekor tertingginya di bulan Juli 2018.
Akibatnya, energi listrik yang digunakan menyalakan pendingin ruangan pun memuncak, sehingga memicu meroketnya permintaan batu bara untuk sumber energi pembangkit listrik.
Di Jepang, gelombang panas yang tidak biasa telah memicu temperatur di Tokyo mencapai lebih dari 41 derajat Celcius pada akhir Juli 2018. Akibat pembangkit listrik bertenaga batu bara sudah mencapai kapasitas maksimum, pemerintah Jepang bahkan sampai mengaktifkan sejumlah pembangkit listrik bertenaga minyak bumi yang sudah tua untuk memenuhi permintaan listrik yang memuncak.
Dari China, beban puncak pembangkit listrik pada musim panas tahun lalu diestimasikan mencapai 79 Giga Watt (GW), naik sekitar 4 GW dari beban puncak di tahun 2017, menurut Shandong Economic and Information Commission pada situs resminya, seperti dilansir dari Reuters.
Kemudian, The Korea Meteorological Administration telah mengeluarkan peringatan gelombang panas berskala nasional, setelah temperatur pada akhir Juli 2018 mencapai rekor tertinggi sejak 1994.
Gelombang panas juga menyerang sebagian besar Benua Eropa, dengan temperatur di Spanyol dan Portugal melebihi 40 derajat Celsius. Bahkan, wilayah Skandinavia yang terbiasa dengan cuaca dingin, kini merasakan temperatur di atas 30 derajat Celsius.
Cuaca panas juga membuat sejumlah sungai di beberapa wilayah menjadi kekurangan air, yang akhirnya memaksa pembangkit listrik bertenaga nuklir (yang menggunakan air untuk mendinginkan reaktor) memangkas produksi listriknya.
Pada akhirnya, perusahaan utilitas listrik di Eropa, khususnya di Jerman, memaksimalkan penggunaan pembangkit listrik bertenaga batu bara untuk mengisi lubang yang ditinggalkan pembangkit listrik tenaga nuklir, seperti dilaporkan Reuters.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Apabila khusus meninjau komoditas yang menjadi unggulan ekspor Indonesia, hampir semuanya mengalami penurunan. Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) kontrak berjangka di Bursa Derivatif Malaysia amblas hingga 15% lebih di sepanjang tahun 2018.
Dari komoditas agrikultur unggulan RI lainnya, harga karet kontrak berjangka di Tokyo Commodity Exchange (TOCOM) juga jeblok 16% lebih.
Dari bursa COMEX, dua komoditas utama keluaran tambang Grasberg di Papua juga berjatuhan. Harga tembaga kontrak berjangka terperosok 20,28% di sepanjang tahun 2018, sementara harga emas kontrak berjangka turun tipis 2,34%.
Sentimen utama yang mengantui pelemahan harga komoditas datang dari persepsi melambatnya perekonomian dunia. Hal ini terefleksikan dari data-data ekonomi yang memburuk, utamanya di negara-negara konsumen komoditas utama di Asia.
Perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 6,5% secara tahunan (year-on-year/YoY) di kuartal III-2018, lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 6,6% YoY. Capaian ini merupakan yang terendah sejak 2009 silam.
Kemudian, Manufacturing PMI China hingga bulan Desember 2018 turun selama 4 bulan berturut-turut. Teranyar di bulan Desember, indeks ini diumumkan sebesar 49,4. Angka di bawah 50 menunjukkan pelaku industri di Beijing kini cenderung pesimis.
Tidak hanya itu, laba bersih dari perusahaan-perusahaan industri di China juga dumumkan turun 1,8% YoY pada bulan November, menjadi 594,8 miliar yuan (Rp 1.254 triliun). Mengutip Reuters, ini menandai penurunan pertama sejak Desember 2015.
Perang dagang yang terjadi antar Amerika Serikat (AS)-China nampaknya memang membebani aktivitas ekonomi di Negeri Panda. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru untuk produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China menyasar US$ 110 miliar produk asal AS.
Gawatnya, dampak negatif perang dagang ternyata menular ke negara-negara yang menjadi mitra utama dagang China di Asia, di antaranya Jepang dan Korea Selatan. Perekonomian Korea Selatan "hanya" tumbuh 2% YoY pada kuartal III-2018, melambat dari 2,8% YoY di kuartal sebelumnya.
Hal senada juga terjadi di Jepang, malah lebih parah. Perekonomian Negeri Sakura terkontraksi alias minus hingga 2,5% YoY di kuartal III-2018, terrburuk sejak kuartal II-2014.
Persepsi perlambatan ekonomi di Benua Kuning lantas menjadi indikasi bahwa permintaan komoditas global juga akan menurun. Hal ini lantas menekan hampir seluruh harga komoditas dunia di sepanjang tahun lalu.
Merespon lesunya ekonomi, bursa saham utama Asia pun kompak berguguran di sepanjang tahun 2018. Nikkei jatuh 12,08%, Kospi amblas 17,28%, Shanghai jeblok 28,64%, Hang Seng ambrol 13,61%, dan Straits Times minus 9,82%. Hal ini lantas semakin memupus kepercayaan diri investor untuk melakukan pedagangan di pasar komoditas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Komoditas tembaga memang turun hingga 20% lebih di sepanjang tahun lalu, tapi bukan menjadi yang paling parah. Status komoditas berperforma terburuk di tahun 2018 menjadi milik minyak mentah.
Dalam setahun, harga minyak jenis light sweet (WTI) kontrak berjangka anjlok hingga 24,84%, menjadi yang terparah sejak 2015. Sementara itu, harga minyak brent kontrak berjangka juga ambrol 19,55%.
Selain dipengaruhi sentimen menurunnya permintaan akibat perlambatan ekonomi dunia, harga si emas hitam dipengaruhi sentimen membanjirnya pasokan di pasar. AS kini muncul sebagai produsen minyak terbesar dunia, dengan memproduksi minyak mentah hingga 11,47 juta barel/hari pada bulan September 2018. Capaian itu sekaligus merupakan rekor tertinggi di sepanjang sejarah Negeri Paman Sam. Capaian ini tidak lepas dari kemajuan produksi minyak serpih (shale oil) yang amat masif. Pemerintah AS mengatakan pada akhir Desember mendatang, produksi shale oil akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari.
Sedangkan Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia, mencatatkan produksi minyak mentah sebesar 11,41 juta barel ber hari pada bulan Oktober 2018. Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet. Berlawanan dengan harga minyak mentah, harga batu bara menjadi satu-satunya komoditas yang membukukan kinerja tahunan positif di 2018. Tentu ini bisa agak melegakan, mengingat bahwa si batu hitam merupakan salah satu komoditas ekspor utama RI, selain CPO.
Dalam setahun, harga batu Newcastle kontrak berjangkad ICE Futures naik 1,24% secara point-to-point. Harga komoditas ini masih selamat dari zona merah karena ditopang permintaan kuat dari China di pertengahan tahun lalu. Sejak akhir April 2018, harga batu bara memang tancap gas dan terus menguat hingga menyentuh titik tertingginya dalam 6,5 tahun di US$ 119,9/Metrik Ton (MT). Rekor itu dicapai pada akhir Juli 2018. Meski selepas Juli 2018 trennya cenderung menurun (ditutup di level US$ 102,05/MT pada akhir tahun 2018), kenaikan kencang di pertengahan tahun tersebut akhirnya membuat harga batu bara mencatatkan kinerja tahunan yang positif.
Faktor utama yang melambungkan harga si batu hitam pada pertengahan tahun lalu adalah gelombang panas yang menyapu Bumi Belahan Utara (BBU). Temperatur di wilayah pengkonsumsi utama batu bara di Asia Utara dan Eropa menyentuh rekor tertingginya di bulan Juli 2018.
Akibatnya, energi listrik yang digunakan menyalakan pendingin ruangan pun memuncak, sehingga memicu meroketnya permintaan batu bara untuk sumber energi pembangkit listrik.
Di Jepang, gelombang panas yang tidak biasa telah memicu temperatur di Tokyo mencapai lebih dari 41 derajat Celcius pada akhir Juli 2018. Akibat pembangkit listrik bertenaga batu bara sudah mencapai kapasitas maksimum, pemerintah Jepang bahkan sampai mengaktifkan sejumlah pembangkit listrik bertenaga minyak bumi yang sudah tua untuk memenuhi permintaan listrik yang memuncak.
Dari China, beban puncak pembangkit listrik pada musim panas tahun lalu diestimasikan mencapai 79 Giga Watt (GW), naik sekitar 4 GW dari beban puncak di tahun 2017, menurut Shandong Economic and Information Commission pada situs resminya, seperti dilansir dari Reuters.
Kemudian, The Korea Meteorological Administration telah mengeluarkan peringatan gelombang panas berskala nasional, setelah temperatur pada akhir Juli 2018 mencapai rekor tertinggi sejak 1994.
Gelombang panas juga menyerang sebagian besar Benua Eropa, dengan temperatur di Spanyol dan Portugal melebihi 40 derajat Celsius. Bahkan, wilayah Skandinavia yang terbiasa dengan cuaca dingin, kini merasakan temperatur di atas 30 derajat Celsius.
Cuaca panas juga membuat sejumlah sungai di beberapa wilayah menjadi kekurangan air, yang akhirnya memaksa pembangkit listrik bertenaga nuklir (yang menggunakan air untuk mendinginkan reaktor) memangkas produksi listriknya.
Pada akhirnya, perusahaan utilitas listrik di Eropa, khususnya di Jerman, memaksimalkan penggunaan pembangkit listrik bertenaga batu bara untuk mengisi lubang yang ditinggalkan pembangkit listrik tenaga nuklir, seperti dilaporkan Reuters.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Most Popular