
3 Pekan Beruntun Harga Minyak Cetak Performa Mingguan Negatif
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
29 December 2018 17:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Di sepanjang pekan ini harga minyak dunia masih belum bosan membukukan pelemahan. Dalam seminggu, harga minyak light sweet (WTI) kontrak Februari 2019 turun sebesar 1,03% secara point-to-point, sementara harga brent kontrak Februari 2019 juga amblas 3,01% di periode yang sama.
Dengan pergerakan itu, harga si emas hitam sudah membukukan performa mingguan negatif selama 3 pekan berturut-turut. Adapun sejak menyentuh level tertingginya dalam 4 tahun terakhir pada awal Oktober 2018 silam, harga minyak mentah dunia sudah merosot di kisaran 40%.
Buruknya performa mingguan harga minyak pekan ini tak lepas dari "kehancuran" yang terjadi pada perdagangan sebelum libur hari raya Natal. Pada penutupan perdagangan hari Senin (24/12/2018), kedua harga minyak kontrak berjangka sempat amblas di kisaran 6%.
Kala itu, harga minyak Brent yang menjadi acuan di Eropa jatuh ke level terendah sejak Agustus 2017. Sementara itu, jenis WTI yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) juga tenggelam ke titik terendahnya sejak Juni 2017.
Harga si emas hitam masih tertekan oleh kondisi pasar yang cenderung oversupply. Dari sisi permintaan, pembelian komoditas minyak mentah dunia diperkirakan lesu akibat perlambatan ekonomi global.
Pekan lalu, The Federal Reserve/The Fed memprediksi ekonomi AS hanya akan tumbuh 2,3% pada 2019, melambat cukup jauh dari pertumbuhan tahun ini yang berada di kisaran 3%.
AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi Negeri Paman Sam melambat, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global.
Proyeksi perlambatan ekonomi dunia juga diamini oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Pada laporan bulan lalu, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat di tahun depan, yaitu sebesar 3,5% dari 3,7% pada tahun ini.
Perlambatan ekonomi dapat berdampak pada berkurangnya permintaan minyak yang merupakan salah satu sumber energi terbesar saat ini. Saat permintaan tertekan, harga pun dipastikan ikut merosot.
Di saat permintaan diekspektasikan akan jeblok, pasokan justru membanjir. AS kini muncul sebagai produsen minyak terbesar dunia, dengan memproduksi minyak mentah hingga 11,47 juta barel/hari pada bulan September 2018. Capaian itu sekaligus merupakan rekor tertinggi di sepanjang sejarah Negeri Paman Sam.
Capaian ini tidak lepas dari kemajuan produksi minyak serpih (shale oil) yang amat masif. Pemerintah AS mengatakan pada akhir Desember mendatang, produksi shale oil akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari.
Sedangkan Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia, mencatatkan produksi minyak mentah sebesar 11,41 juta barel ber hari pada bulan Oktober 2018. Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet.
Meski demikian, pada akhir pekan ini, harga minyak mentah mendapatkan sedikit energi dari rencana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia dalam memangkas produksi minyak mentah hingga 1,2 juta barel/hari mulai 1 Januari 2019, yang mana tinggal beberapa hari lagi.
Rencana pemangkasan ini bahkan dipertegas oleh Menteri Energi Rusia Alexander Novak pada Kamis (27/12/2018) kemarin. Novak menyampaikan bahwa Negara Beruang Merah akan memotong produksi minyaknya pada kisaran 3-5 juta ton selama semester I-2019 menyusul kesepakatan bersama negara OPEC, seperti yang dilansir Reuters.
Sebelumnya, OPEC juga siap untuk melakukan pertemuan khusus dan akan melakukan apapun yang diperlukan, jika pemangkasan sebesar 1,2 juta barel/hari tidak mampu menyeimbangkan pasar di tahun depan. Hal ini disampaikan oleh Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail al-Mazrouei pada pertemuan Organisasi Negara-Negara Arab Pengekspor Minyak di Kuwait awal pekan ini, seperti dilansir dari Reuters.
"Bagaimana jika pemangkasan 1,2 juta barel tidak cukup? Saya memberitahu anda bahwa jika (pemangkasan) itu tidak cukup, kita akan bertemu dan melihat apa yang cukup, dan kita akan melakukannya," tegas Mazrouei.
Keseriusan OPEC dan Rusia dalam mengeksekusi kebijakan pemangkas produksi mampu sedikit melegakan pelaku pasar. Artinya masih ada peluang terciptanya keseimbangan di pasar minyak global di tahun depan.
Hal ini lantas membatasi pelemahan harga minyak di pekan ini. Sebagai informasi, kejatuhan harga si emas hitam di pekan ini masih jauh lebih ringan dibandingkan pekan sebelumnya. Dalam sepekan hingga tanggal 21 Desember 2018, harga minyak mentah kontrak berjangka kompak ambrol nyaris 11%.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Dengan pergerakan itu, harga si emas hitam sudah membukukan performa mingguan negatif selama 3 pekan berturut-turut. Adapun sejak menyentuh level tertingginya dalam 4 tahun terakhir pada awal Oktober 2018 silam, harga minyak mentah dunia sudah merosot di kisaran 40%.
Buruknya performa mingguan harga minyak pekan ini tak lepas dari "kehancuran" yang terjadi pada perdagangan sebelum libur hari raya Natal. Pada penutupan perdagangan hari Senin (24/12/2018), kedua harga minyak kontrak berjangka sempat amblas di kisaran 6%.
Harga si emas hitam masih tertekan oleh kondisi pasar yang cenderung oversupply. Dari sisi permintaan, pembelian komoditas minyak mentah dunia diperkirakan lesu akibat perlambatan ekonomi global.
Pekan lalu, The Federal Reserve/The Fed memprediksi ekonomi AS hanya akan tumbuh 2,3% pada 2019, melambat cukup jauh dari pertumbuhan tahun ini yang berada di kisaran 3%.
AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi Negeri Paman Sam melambat, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global.
Proyeksi perlambatan ekonomi dunia juga diamini oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Pada laporan bulan lalu, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat di tahun depan, yaitu sebesar 3,5% dari 3,7% pada tahun ini.
Perlambatan ekonomi dapat berdampak pada berkurangnya permintaan minyak yang merupakan salah satu sumber energi terbesar saat ini. Saat permintaan tertekan, harga pun dipastikan ikut merosot.
Di saat permintaan diekspektasikan akan jeblok, pasokan justru membanjir. AS kini muncul sebagai produsen minyak terbesar dunia, dengan memproduksi minyak mentah hingga 11,47 juta barel/hari pada bulan September 2018. Capaian itu sekaligus merupakan rekor tertinggi di sepanjang sejarah Negeri Paman Sam.
Capaian ini tidak lepas dari kemajuan produksi minyak serpih (shale oil) yang amat masif. Pemerintah AS mengatakan pada akhir Desember mendatang, produksi shale oil akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari.
Sedangkan Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia, mencatatkan produksi minyak mentah sebesar 11,41 juta barel ber hari pada bulan Oktober 2018. Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi sejak era post-Uni Soviet.
Meski demikian, pada akhir pekan ini, harga minyak mentah mendapatkan sedikit energi dari rencana Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia dalam memangkas produksi minyak mentah hingga 1,2 juta barel/hari mulai 1 Januari 2019, yang mana tinggal beberapa hari lagi.
Rencana pemangkasan ini bahkan dipertegas oleh Menteri Energi Rusia Alexander Novak pada Kamis (27/12/2018) kemarin. Novak menyampaikan bahwa Negara Beruang Merah akan memotong produksi minyaknya pada kisaran 3-5 juta ton selama semester I-2019 menyusul kesepakatan bersama negara OPEC, seperti yang dilansir Reuters.
Sebelumnya, OPEC juga siap untuk melakukan pertemuan khusus dan akan melakukan apapun yang diperlukan, jika pemangkasan sebesar 1,2 juta barel/hari tidak mampu menyeimbangkan pasar di tahun depan. Hal ini disampaikan oleh Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail al-Mazrouei pada pertemuan Organisasi Negara-Negara Arab Pengekspor Minyak di Kuwait awal pekan ini, seperti dilansir dari Reuters.
"Bagaimana jika pemangkasan 1,2 juta barel tidak cukup? Saya memberitahu anda bahwa jika (pemangkasan) itu tidak cukup, kita akan bertemu dan melihat apa yang cukup, dan kita akan melakukannya," tegas Mazrouei.
Keseriusan OPEC dan Rusia dalam mengeksekusi kebijakan pemangkas produksi mampu sedikit melegakan pelaku pasar. Artinya masih ada peluang terciptanya keseimbangan di pasar minyak global di tahun depan.
Hal ini lantas membatasi pelemahan harga minyak di pekan ini. Sebagai informasi, kejatuhan harga si emas hitam di pekan ini masih jauh lebih ringan dibandingkan pekan sebelumnya. Dalam sepekan hingga tanggal 21 Desember 2018, harga minyak mentah kontrak berjangka kompak ambrol nyaris 11%.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular