
Menguat 0,5% Sepekan, IHSG Jadi Runner-Up Asia
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
29 December 2018 14:14

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil mencatatkan performa mingguan yang positif di sepanjang pekan ini. Bursa saham Indonesia bergerak berlawanan dengan kompatriotnya di Asia yang mayoritas melemah.
Seminggu ini, IHSG naik 0,5% secara point-to-point. Penguatan jelang akhir pekan, sukses membawa IHSG mencetak performa mingguan positif di pekan ini.
Pergerakan IHSG pekan ini patut diapresiasi. Pasalnya, mayoritas bursa saham utama Asia malah mencetak performa mingguan yang negatif.
Secara mingguan, Nikkei 225 turun 0,75%, Shanghai Composite terkoreksi 0,89%, Hang Seng anjlok 0,97%, Kospi jeblok 0,99%, SET (Thailand) ambrol 1,97%. Selain IHSG, hanya indeks KLCI (Malaysia) dan Straits Times yang mencatatkan performa mingguan yang negatif, masing-masing menguat sebesar 1,3% dan 0,24%.
Apabila dikomparasikan, IHSG pun menjadi juara kedua di Asia pada pekan ini, hanya kalah dari indeks KLCI (Malaysia).
Sepekan ini, investor memang cenderung belum terlalu berani masuk ke aset-aset berisiko di negara berkembang. Pasalnya, masih ada sejumlah risiko besar yang menghantui ekonomi dunia.
Pertama, potensi eskalasi tensi dagang antara Amerika Serikat (AS)-China. Hal ini dipicu oleh rencana presiden AS Donald Trump untuk menggunakan kebijakan eksekutif yang dimilikinya guna mendeklarasikan situasi darurat nasional, yang pada akhirnya akan melarang perusahaan-perusahaan asal AS untuk menggunakan perangkat telekomunikasi buatan Huawei dan ZTE, seperti dilansir dari CNBC International.
Kebijakan eksekutif tersebut dapat diterbitkan secepatnya pada bulan Januari, dan akan memberikan perintah kepada Kementerian Perdagangan untuk memblokir perusahaan-perusahaan AS dalam membeli peralatan dari perusahaan telekomunikasi asing yang membawa risiko signifikan bagi keamanan negara, kata sumber-sumber dari industri telekomunikasi dan pemerintahan AS.
Bila kebijakan tersebut benar-benar direalisasikan, maka damai dagang antara dua negara dengan ekonomi terbesar tersebut akan sulit untuk dibayangkan. Padahal, sejauh ini perang dagang yang berkecamuk antar kedua negara terlihat telah menyakiti perekonomian masing-masing, jika melihat rilis data ekonomi teranyar.
Pada hari Kamis (27/12/2018), laba bersih dari perusahaan-perusahaan industri di China dumumkan turun 1,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan November, menjadi 594,8 miliar yuan (Rp 1.254 triliun). Mengutip Reuters, ini menandai penurunan pertama sejak Desember 2015.
Dari AS, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) versi The Conference Board periode Desember diumumkan di level 128,1 turun 8,3 poin dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan Ini merupakan yang terdalam sejak Juli 2015. IKK periode Desember juga jauh di bawah konsensus yang sebesar 133,7, seperti dilansir dari Forex Factory.
Kedua, penutupan sebagian layanan pemerintahan AS (government shutdown) belum juga berakhir.
Government shutdown ini dipicu karena permintaan Trump untuk menggunakan anggaran sebesar US$ 5 milyar demi membangun tembok di perbatasan Meksiko, ditentang oleh sebagian besar anggota partai Demokrat (bahkan beberapa anggota partai Republik) di dalam parlemen.
(RHG/RHG) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Seminggu ini, IHSG naik 0,5% secara point-to-point. Penguatan jelang akhir pekan, sukses membawa IHSG mencetak performa mingguan positif di pekan ini.
Secara mingguan, Nikkei 225 turun 0,75%, Shanghai Composite terkoreksi 0,89%, Hang Seng anjlok 0,97%, Kospi jeblok 0,99%, SET (Thailand) ambrol 1,97%. Selain IHSG, hanya indeks KLCI (Malaysia) dan Straits Times yang mencatatkan performa mingguan yang negatif, masing-masing menguat sebesar 1,3% dan 0,24%.
Apabila dikomparasikan, IHSG pun menjadi juara kedua di Asia pada pekan ini, hanya kalah dari indeks KLCI (Malaysia).
Sepekan ini, investor memang cenderung belum terlalu berani masuk ke aset-aset berisiko di negara berkembang. Pasalnya, masih ada sejumlah risiko besar yang menghantui ekonomi dunia.
Pertama, potensi eskalasi tensi dagang antara Amerika Serikat (AS)-China. Hal ini dipicu oleh rencana presiden AS Donald Trump untuk menggunakan kebijakan eksekutif yang dimilikinya guna mendeklarasikan situasi darurat nasional, yang pada akhirnya akan melarang perusahaan-perusahaan asal AS untuk menggunakan perangkat telekomunikasi buatan Huawei dan ZTE, seperti dilansir dari CNBC International.
Kebijakan eksekutif tersebut dapat diterbitkan secepatnya pada bulan Januari, dan akan memberikan perintah kepada Kementerian Perdagangan untuk memblokir perusahaan-perusahaan AS dalam membeli peralatan dari perusahaan telekomunikasi asing yang membawa risiko signifikan bagi keamanan negara, kata sumber-sumber dari industri telekomunikasi dan pemerintahan AS.
Bila kebijakan tersebut benar-benar direalisasikan, maka damai dagang antara dua negara dengan ekonomi terbesar tersebut akan sulit untuk dibayangkan. Padahal, sejauh ini perang dagang yang berkecamuk antar kedua negara terlihat telah menyakiti perekonomian masing-masing, jika melihat rilis data ekonomi teranyar.
Pada hari Kamis (27/12/2018), laba bersih dari perusahaan-perusahaan industri di China dumumkan turun 1,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan November, menjadi 594,8 miliar yuan (Rp 1.254 triliun). Mengutip Reuters, ini menandai penurunan pertama sejak Desember 2015.
Dari AS, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) versi The Conference Board periode Desember diumumkan di level 128,1 turun 8,3 poin dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan Ini merupakan yang terdalam sejak Juli 2015. IKK periode Desember juga jauh di bawah konsensus yang sebesar 133,7, seperti dilansir dari Forex Factory.
Kedua, penutupan sebagian layanan pemerintahan AS (government shutdown) belum juga berakhir.
Government shutdown ini dipicu karena permintaan Trump untuk menggunakan anggaran sebesar US$ 5 milyar demi membangun tembok di perbatasan Meksiko, ditentang oleh sebagian besar anggota partai Demokrat (bahkan beberapa anggota partai Republik) di dalam parlemen.
Belum ada tanda-tanda government shutdown yang membuat 800.000 PNS AS tidak digaji ini akan berakhir dalam waktu dekat. Senat dan dan DPR yang tergabung dalam Kongres AS bertemu hanya beberapa menit jelang akhir pekan ini, tetapi tidak mengambil langkah-langkah untuk mengakhiri penutupan sebagian pemerintah federal. Kongres AS hanya menunda pertemuan mereka sampai minggu depan.
Ketiga, sentimen dari pelemahan ekonomi dunia pada tahun 2019 terus membayangi. The Fed memperkirakan ekonomi Amerika Serikat (AS) akan hanya tumbuh 2,3%, menurun dari perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang sebesar 3%.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan. Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019.
Lalu ekonomi China tahun ini diproyeksikan tumbuh 6,6% sebelum melambat ke 6,3% tahun depan. Sementara ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan stagnan, sama dengan tahun ini yaitu tumbuh 5,2%.
Teranyar, Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB), juga mengumumkan prediksinya mengenai perekonomian global untuk tahun depan. Dalam buletin ekonomi regulernya yang dilansir dari Reuters, ECB menyampaikan bahwa perekonomian global akan melambat di 2019 dan akan bergerak stabil setelahnya. ECB juga memperkirakan inflasi akan terus meningkat.
Akibat sejumlah risiko tersebut, posisi investor lebih condong ke risk-on. Hal ini dibuktikan dengan naiknya sejumlah instrumen safe haven. Selain yen Jepang yang terapresiasi 0,85%, harga emas COMEX kontrak Februari 2019 dan Franc Swiss menguat masing-masing sebesar 2,01% dan 1,1% di sepanjang pekan ini.
Dorongan investor untuk memeluk safe haven ini akhirnya sukses menekan sebagian besar bursa saham Benua Kuning di minggu ini. Untungnya, IHSG masih mendapatkan berkah dari masih berlanjutnya kejatuhan harga minyak mentah.
Dalam sepekan ini, harga minyak brent kontrak februari 2019 amblas hingga 3,01% secara point-to-point. Di akhir pekan lalu, harga brent finish di US$ 52,2/barel.
Anjloknya harga minyak mentah tentu menjadi kabar baik bagi pasar keuangan RI, lantaran bisa sedikit meredakan defisit perdagangan minyak dan gas (migas), yang pada akhirnya akan mencegah defisit neraca berjalan (Current Account Deficit/CAD) kian lebar sekaligus mampu mendukung ekonomi RI di sisi net ekspor.
Terlebih, di tengah kondisi ekspor yang juga masih cenderung lesu akibat turunnya harga komoditas unggulan Indonesia (seperti batu bara dan minyak sawit mentah), berkurangnya tekanan dari impor migas bisa menjadi obat pelipur lara.
Sebagai informasi, defisit neraca perdagangan RI di periode Januari-November 2018 sudah mencapai US$7,51 miliar. Di periode tersebut, defisit perdagangan migas amat mendominasi, yakni mencapai US$ 12,15 miliar.
Defisit perdagangan migas itu juga lebih besar US$ 4,65 miliar dari capaian Januari-November 2017 yang "hanya" sebesar US$ 7,5 miliar.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
Ketiga, sentimen dari pelemahan ekonomi dunia pada tahun 2019 terus membayangi. The Fed memperkirakan ekonomi Amerika Serikat (AS) akan hanya tumbuh 2,3%, menurun dari perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang sebesar 3%.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan. Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019.
Lalu ekonomi China tahun ini diproyeksikan tumbuh 6,6% sebelum melambat ke 6,3% tahun depan. Sementara ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan stagnan, sama dengan tahun ini yaitu tumbuh 5,2%.
Teranyar, Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB), juga mengumumkan prediksinya mengenai perekonomian global untuk tahun depan. Dalam buletin ekonomi regulernya yang dilansir dari Reuters, ECB menyampaikan bahwa perekonomian global akan melambat di 2019 dan akan bergerak stabil setelahnya. ECB juga memperkirakan inflasi akan terus meningkat.
Akibat sejumlah risiko tersebut, posisi investor lebih condong ke risk-on. Hal ini dibuktikan dengan naiknya sejumlah instrumen safe haven. Selain yen Jepang yang terapresiasi 0,85%, harga emas COMEX kontrak Februari 2019 dan Franc Swiss menguat masing-masing sebesar 2,01% dan 1,1% di sepanjang pekan ini.
Dorongan investor untuk memeluk safe haven ini akhirnya sukses menekan sebagian besar bursa saham Benua Kuning di minggu ini. Untungnya, IHSG masih mendapatkan berkah dari masih berlanjutnya kejatuhan harga minyak mentah.
Dalam sepekan ini, harga minyak brent kontrak februari 2019 amblas hingga 3,01% secara point-to-point. Di akhir pekan lalu, harga brent finish di US$ 52,2/barel.
Anjloknya harga minyak mentah tentu menjadi kabar baik bagi pasar keuangan RI, lantaran bisa sedikit meredakan defisit perdagangan minyak dan gas (migas), yang pada akhirnya akan mencegah defisit neraca berjalan (Current Account Deficit/CAD) kian lebar sekaligus mampu mendukung ekonomi RI di sisi net ekspor.
Terlebih, di tengah kondisi ekspor yang juga masih cenderung lesu akibat turunnya harga komoditas unggulan Indonesia (seperti batu bara dan minyak sawit mentah), berkurangnya tekanan dari impor migas bisa menjadi obat pelipur lara.
Sebagai informasi, defisit neraca perdagangan RI di periode Januari-November 2018 sudah mencapai US$7,51 miliar. Di periode tersebut, defisit perdagangan migas amat mendominasi, yakni mencapai US$ 12,15 miliar.
Defisit perdagangan migas itu juga lebih besar US$ 4,65 miliar dari capaian Januari-November 2017 yang "hanya" sebesar US$ 7,5 miliar.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/RHG) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Most Popular