Bad News 2018

2018, Tahun yang Juga Penuh Duka Bagi Rupiah

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
25 December 2018 08:34
Pengetatan likuiditas global yang dibarengi dengan kenaikan bunga acuan The Fed membuat rupiah bak perahu yang terombang ambing di lautan.
Foto: Seorang karyawan menghitung uang kertas dolar AS di kantor penukaran mata uang di Jakarta, Indonesia 23 Oktober 2018. Gambar diambil 23 Oktober 2018. REUTERS / Beawiharta
Tahun 2018 akan segera berakhir dalam hitungan hari. Terkait hal itu, CNBC Indonesia merangkum sederet peristiwa penting sepanjang tahun anjing tanah ini. Peristiwa itu terbagi ke dalam dua kategori, yaitu good news from 2018 dan bad news from 2018. Selamat membaca!

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun yang tidak mudah bagi rupiah. Pengetatan likuiditas global yang dibarengi dengan kenaikan bunga acuan The Fed membuat rupiah bak perahu yang terombang ambing di lautan.

Depresiasi rupiah pada tahun ini sempat mencapai 12,22%. Bahkan pada tahun ini, rupiah sempat mencapai titik terlemah sepanjang sejarah di pasar spot, maupun kurs acuan Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate.

Periode kelam rupiah, terjadi pada Oktober 2018. Rupiah di pasar spot sempat tembus di level Rp 15.255/US$, yang merupakan titik terlemah sepanjang masa.

Adapun rekor sebelumnya, terjadi pada penutupan 9 Juli 1998 atau nyaris 20 tahun yang lalu. Kala itu, mata uang Garuda terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencapai Rp 15.250/US$.

Di bulan yang sama, kurs acuan BI JISDOR pernah menembus level Rp 15.233. Ini merupakan posisi terlemah rupiah sepanjang sejarah JISDOR diperkenalkan ke publik pada 20 Mei 2013.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan rupiah terperosok tahun ini. Ketidakpastian global menjadi pemicu utama, yang dibarengi dengan kondisi perekonomian domestik.

Dari global, tensi perang dagang antara AS dan China yang memanas. Para pelaku pasar pun kerap kali memasang mode risk on karena kecemasan perang dagang.

Investor pun bermain aman, dan melepas aset-aset berisiko dan masuk ke aset aman (safe haven). Perilaku flight to quality tersebut membuat mata uang negara Asia, termasuk rupiah tertekan.

Kemudian, dari kenaikan bunga acuan The Fed. Sikap (stance) hawkish Jerome Powell dan kolega memang membuat dolar Paman Sam membuat sejumlah mata uang negara tak berkutik.

Kenaikan bunga akan mendongkrak imbalan investasi di AS, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Ini akan membuat permintaan dolar AS meningkat, dan nilainya menguat.

Selain itu, dari kenaikan harga minyak. Nilai tukar rupiah memang cukup sensitif terhadap harga minyak, lantaran Indonesia adalah negara net importir migas.

Ketika harga minyak maka biaya yang dikeluarkan untuk mengimpor komoditas migas membengkak. Hal ini tentu akan berdampak pada defisit transaksi berjalan yang semakin melebar.

Saat pasokan valas dari ekspor - impor barang dan jasa minim, maka rupiah tentu akan sulit menguat. Apalagi, data defisit neraca perdagangan sepanjang tahun ini hasilnya kurang menggembirakan.

Saat ini, Bank Indonesia (BI) telah mendorong rupiah kembali di bawah Rp 15.000/US$. BI masih melihat ruang bagi rupiah untuk menguat ke level di awal tahun yakni Rp 13.400/US$ - Rp 13.500/IUS$.

BI terus berjuang untuk menjaga nilai rupiah tak jauh dari fundamentalnya.

BACA JUGA : Topik Good News dan Bad News 2018 Lainnya di Sini
(dru/dru) Next Article Bos BI: Rupiah Ada Kecenderungan Menguat!

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular