
Mata Uang Asia Mulai Menguat, Rupiah Ketinggalan Kereta
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 December 2018 10:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs acuan. Rupiah juga tidak berdaya di hadapan dolar AS di perdagangan pasar spot.
Pada Senin (17/12/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor ditransaksikan Rp 14.617. Rupiah melemah 0,54% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Rupiah pun kembali menembus kisaran Rp 14.600/US$ di kurs acuan. Ini merupakan posisi terlemah rupiah sejak 21 November.
Sedangkan di pasar spot, US$ 1 dihargai Rp 14.605 pada pukul 10:05 WIB. Rupiah melemah 0,17%.
Mengawali perdagangan pasar spot, rupiah berada di Rp 14.580/US$ atau sama dengan posisi penutupan akhir pekan lalu. Namun seiring perjalanan pasar, rupiah bergerak melemah dan bertahan hingga saat ini.
Akhir pekan lalu, rupiah berakhir dengan pelemahan 0,62% di hadapan greenback. Sementara secara mingguan, rupiah melemah 0,79%.
Sementara mata uang utama Asia yang sempat tertekan di hadapan greenback kini bisa melawan balik. Ya, mayoritas mata uang Benua Kuning sudah mampu menguat. Selain rupiah, mata uang Asia lain yang masih tertinggal di zona merah adalah dolar Hong Kong, rupee India, dan ringgit Malaysia.
Depresiasi 0,17% malah membuat rupiah masuk jajaran mata uang terlemah di Asia. Posisi terlemah dipegang oleh rupee India, sementara rupiah di peringkat kedua terbawah.
Ini dengan catatan pasar keuangan India belum dibuka, sehingga rupee masih mencerminkan posisi akhir pekan lalu. Jika pasar keuangan Negeri Bollywood sudah dibuka, maka peringkat rupiah bisa saja berubah.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:11 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dolar AS sepertinya sedang mengalami konsolidasi setelah menguat lumayan tajam. Pada pukul 10:14 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) mulai melemah tipis yaitu 0,03%.
Sepanjang pekan lalu, indeks ini sudah menguat hampir 1%. Oleh karena itu, investor mulai merealisasikan keuntungan sehingga dolar AS mengalami tekanan jual dan nilainya melemah.
Selain itu, investor juga mengapresiasi perkembangan dari China. Seorang penasihat ekonomi pemerintah China menyebutkan Negeri Tirai Bambu berkomitmen untuk mempercepat reformasi ekonomi dengan lebih membuka diri.
Kebijakan China yang masih cenderung memproteksi industri dan pasar dalam negerinya dalam bentuk subsidi dan sebagainya mendapat kritikan dari banyak pihak, terutama Presiden AS Donald Trump. Dalam pembicaraan Trump dengan Presiden China Xi Jinping, Beijing sepakat untuk lebih membuka diri agar produk dan investasi asing punya kesetaraan (level playing field) dengan dalam negeri.
"Tekanan dari AS bisa menjadi kesempatan bagi China untuk melakukan reformasi. Tekanan ini sangat besar, dan kami harus bersiap untuk jangka panjang," sebut seorang penasihat ekonomi pemerintah China, mengutip Reuters.
"Mempercepat reformasi ekonomi juga merupakan agenda kami. Kami akan mendorong terciptanya reformasi yang lebih berorientasi pasar," lanjutnya.
Jika China semakin terbuka, maka peluang damai dagang dengan AS juga kian besar. Perang dagang AS vs China yang bergelora sejak awal tahun ini bisa saja berakhir dan berganti menjadi damai dagang yang membawa kemakmuran bagi perekonomian dunia.
Aura damai dagang pun menyeruak sehingga investor mulai kembali melirik aset-aset berisiko di negara berkembang. Arus modal mengalir ke Asia sehingga memperkuat nilai mata uang.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Namun di Indonesia, ada sentimen domestik yang menggelayuti rupiah yaitu data perdagangan internasional yang sepertinya agak mengecewakan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 2,6% year-on-year (YoY) dan impor tumbuh lebih kencang yaitu 8,5% YoY. Sementara neraca perdagangan diramal defisit US$ 990 juta.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekspor pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018 adalah 3,59% YoY dan impor melesat 23,66% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu US$ 1,82 miliar.
Bila neraca perdagangan November benar-benar defisit, maka nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 akan di ujung tanduk. Bisa saja transaksi berjalan kembali mengalami defisit seperti kuartal sebelumnya, yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, rupiah jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (17/12/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor ditransaksikan Rp 14.617. Rupiah melemah 0,54% dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Rupiah pun kembali menembus kisaran Rp 14.600/US$ di kurs acuan. Ini merupakan posisi terlemah rupiah sejak 21 November.
Sedangkan di pasar spot, US$ 1 dihargai Rp 14.605 pada pukul 10:05 WIB. Rupiah melemah 0,17%.
Mengawali perdagangan pasar spot, rupiah berada di Rp 14.580/US$ atau sama dengan posisi penutupan akhir pekan lalu. Namun seiring perjalanan pasar, rupiah bergerak melemah dan bertahan hingga saat ini.
Akhir pekan lalu, rupiah berakhir dengan pelemahan 0,62% di hadapan greenback. Sementara secara mingguan, rupiah melemah 0,79%.
Sementara mata uang utama Asia yang sempat tertekan di hadapan greenback kini bisa melawan balik. Ya, mayoritas mata uang Benua Kuning sudah mampu menguat. Selain rupiah, mata uang Asia lain yang masih tertinggal di zona merah adalah dolar Hong Kong, rupee India, dan ringgit Malaysia.
Depresiasi 0,17% malah membuat rupiah masuk jajaran mata uang terlemah di Asia. Posisi terlemah dipegang oleh rupee India, sementara rupiah di peringkat kedua terbawah.
Ini dengan catatan pasar keuangan India belum dibuka, sehingga rupee masih mencerminkan posisi akhir pekan lalu. Jika pasar keuangan Negeri Bollywood sudah dibuka, maka peringkat rupiah bisa saja berubah.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:11 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dolar AS sepertinya sedang mengalami konsolidasi setelah menguat lumayan tajam. Pada pukul 10:14 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) mulai melemah tipis yaitu 0,03%.
Sepanjang pekan lalu, indeks ini sudah menguat hampir 1%. Oleh karena itu, investor mulai merealisasikan keuntungan sehingga dolar AS mengalami tekanan jual dan nilainya melemah.
Selain itu, investor juga mengapresiasi perkembangan dari China. Seorang penasihat ekonomi pemerintah China menyebutkan Negeri Tirai Bambu berkomitmen untuk mempercepat reformasi ekonomi dengan lebih membuka diri.
Kebijakan China yang masih cenderung memproteksi industri dan pasar dalam negerinya dalam bentuk subsidi dan sebagainya mendapat kritikan dari banyak pihak, terutama Presiden AS Donald Trump. Dalam pembicaraan Trump dengan Presiden China Xi Jinping, Beijing sepakat untuk lebih membuka diri agar produk dan investasi asing punya kesetaraan (level playing field) dengan dalam negeri.
"Tekanan dari AS bisa menjadi kesempatan bagi China untuk melakukan reformasi. Tekanan ini sangat besar, dan kami harus bersiap untuk jangka panjang," sebut seorang penasihat ekonomi pemerintah China, mengutip Reuters.
"Mempercepat reformasi ekonomi juga merupakan agenda kami. Kami akan mendorong terciptanya reformasi yang lebih berorientasi pasar," lanjutnya.
Jika China semakin terbuka, maka peluang damai dagang dengan AS juga kian besar. Perang dagang AS vs China yang bergelora sejak awal tahun ini bisa saja berakhir dan berganti menjadi damai dagang yang membawa kemakmuran bagi perekonomian dunia.
Aura damai dagang pun menyeruak sehingga investor mulai kembali melirik aset-aset berisiko di negara berkembang. Arus modal mengalir ke Asia sehingga memperkuat nilai mata uang.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Namun di Indonesia, ada sentimen domestik yang menggelayuti rupiah yaitu data perdagangan internasional yang sepertinya agak mengecewakan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 2,6% year-on-year (YoY) dan impor tumbuh lebih kencang yaitu 8,5% YoY. Sementara neraca perdagangan diramal defisit US$ 990 juta.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekspor pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018 adalah 3,59% YoY dan impor melesat 23,66% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu US$ 1,82 miliar.
Bila neraca perdagangan November benar-benar defisit, maka nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 akan di ujung tanduk. Bisa saja transaksi berjalan kembali mengalami defisit seperti kuartal sebelumnya, yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, rupiah jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular