Rupiah Terlemah Sejak 15 November Plus Terlemah Kedua di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 December 2018 09:23
Rupiah Terlemah Sejak 15 November Plus Terlemah Kedua di Asia
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah dan menembus level Rp 14.600/US$. Rupiah menyentuh titik terlemah sejak pertengahan November. 

Pada Senin (17/12/2018) pukul 09:03 WIB, US$ 1 di perdagangan pasar spot dihargai Rp 14.615. Rupiah melemah 0,24% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Rupiah pun kembali menyentuh kisaran Rp 14.600. Nilai rupiah menjadi yang terlemah sejak 15 November. 



Faktor domestik dan eksternal menjadi pemberat langkah mata uang Tanah Air. Dari dalam negeri, kebutuhan valas korporasi sedang tinggi jelang akhir tahun. Terutama korporasi asing yang beroperasi di Indonesia, mereka tentu mempersiapkan kebutuhan valas untuk setoran dividen yang akan dikirim ke negara asalnya. 

Selain itu, pelaku pasar berekspektasi data perdagangan internasional yang dirilis hari ini kurang ciamik. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 2,6% year-on-year (YoY) dan impor tumbuh lebih kencang yaitu 8,5% YoY. Sementara neraca perdagangan diramal defisit US$ 990 juta. 


Sebagai informasi, pertumbuhan ekspor pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018 adalah 3,59% YoY dan impor melesat 23,66% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu US$ 1,82 miliar. 

Bila neraca perdagangan November benar-benar defisit, maka nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 akan di ujung tanduk. Bisa saja transaksi berjalan kembali mengalami defisit seperti kuartal sebelumnya, yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, rupiah jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa. Sepertinya data perdagangan bisa menjadi sentimen yang memberatkan rupiah. 

Rupiah sebenarnya bergerak searah dengan mata uang utama Asia yang juga melemah di hadapan dolar AS. Namun memang pelemahan rupiah cukup dalam dibandingkan kompatriotnya di Benua Kuning. 

Depresiasi 0,24% membuat rupiah menjadi mata uang terlemah kedua setelah rupee India. Faktor domestik di atas menjadi penentu kurang apiknya performa rupiah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sedangkan faktor eksternal yang membayangi gerak mata uang Asia adalah tingginya risiko global. Sepertinya pelaku pasar menilai risiko resesi di perekonomian AS semakin nyata. Risiko ini terlihat di pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.

Pada pukul 09:13 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7393%. Lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar 2,7316% dan 5 tahun yaitu 2,757%. 

Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted. Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. 

Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020. 

Tidak hanya di AS, investor juga mencemaskan risiko perlambatan ekonomi global. Data-data ekonomi di China dan Eropa yang mengecewakan membuat persepsi itu muncul. 

Di China, penjualan ritel pada November tumbuh 8,1% YoY. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 8,6% YoY. Pencapaian November juga menjadi yang terendah sejak Mei 2003. 

Kemudian pertumbuhan produksi industri Negeri Panda pada November tercatat 5,4% YoY. Juga melambat dibandingkan Oktober yang tumbuh 5,9% YoY. Sementara di Eropa, suasana suram semakin terasa saat rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) November versi IHS Markit yang sebesar 51,3. Angka ini menjadi yang paling rendah sejak November 2014. 

Sebelumnya Bank Sentral Uni Eropa (ECB) juga menyebarkan aura negatif dengan merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru. Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9%, di mana perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%. 

Perkembangan-perkembangan tersebut membuat investor tentu memlih bermain aman. Instrumen berisiko seperti saham ditinggalkan, dan aliran modal mengarah ke instrumen aman (safe haven) dalam hal ini adalah dolar AS. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama pada pukul 09:13 WIB:     




TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular