
Moody's: Harga Minyak Rendah, EBITDA Industri Melambat 2019
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
11 December 2018 17:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan pemeringkat global Moody's Investors Service merilis laporan riset berjudul Oil and Gas - Global 2019 Outlook pada 10 Desember 2018.
Dalam publikasi tersebut, Moody's melaporkan bahwa Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, dan Amortization (EBITDA) industri minyak dan gas (migas) global akan sedikit melambat di 2019, pasca tumbuh di kisaran 30% pada tahun ini.
Perlambatan EBITDA tersebut tidak lepas dari harga minyak yang diperkirakan akan lebih rendah di tahun depan. Meski EBITDA mengalami perlambatan, proyeksi industri migas global masih berada di level stable, belum sampai proyeksi negatif.
Moody's berpendapat bahwa harga minyak akan berada di rentang US$ 50-70/barel hingga 2020, dengan adanya risiko volatilitas.
Proyeksi Moody's terkait harga minyak yang lebih rendah dan volatil tersebut merefleksikan kekhawatiran terkait perlambatan ekonomi global, produksi Arab Saudi dan Rusia yang tinggi, disrupsi permintaan akibat penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan sejumlah bea masuk, sinyal yang bervariatif perihal sanksi Iran, dan adanya spekulasi finansial.
Di sisi baiknya, Moody's berpendapat bahwa adanya pemangkasan produksi dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia akan berkontribusi bagi keseimbangan penawaran dan permintaan global. Alhasil, hal ini akan membantu menstabilkan harga minyak.
Adapun, proyeksi Moody's terkait industri migas global bisa berubah menjadi negatif apabila harga minyak jatuh ke bawah level US$ 50/barel sehingga menggerus EBITDA lebih besar. Selain itu, faktor disruptif lainnya adalah realisasi aliran kas (cash flow) yang lebih rendah serta adanya perubahan dari rezim pajak.
Sebaliknya, proyeksi Moody's bisa bertransformasi menjadi positif apabila EBITDA dapat tumbuh berkelanjutan di atas 5%, harga minyak berada di kisaran US$ 70/barel secara berkelanjutan, dan adanya pembentukan Free Cash Flow (FCF) yang berkelanjutan.
Proyeksi Moody's Berdasarkan Lini Bisnis Industri Migas
Apabila diuraikan berdasarkan lini bisnis industri migas, Moody's memberikan proyeksi positif untuk masing-masing lini, dari mulai Eksplorasi dan Produksi hingga Pengilangan dan Pemasaran.
Adanya pengembangan teknologi yang berkelanjutan serta anggaran belanja modal yang lebih tinggi, akan membantu perusahaan migas yang bergerak di lini Eksplorasi dan Produksi mampu menggenjot produksi lebih banyak.
Moody's memroyeksikan EBITDA industri migas global di Eksplorasi dan Produksi tumbuh 10% - 12%.
Sementara itu, peningkatan belanja modal juga akan terjadi di lini bisnis midstream, pada tahun 2019. Hal ini diyakini Moody's akan mendukung level produksi yang lebih tinggi. Sebagai informasi, lini bisnis midstream migas umumnya mencakup transportasi (melalui jalur pipa, kereta, tanker minyak, atau truk) dan penyimpanan.
Moody's memroyeksikan EBITDA industri migas global di Midstream tumbuh 8% - 10%.
Terakhir, untuk lini Pengilangan dan Pemasaran, Moody's memroyeksikan pertumbuhan EBITDA sebesar 13%-14%. Hal ini didukung oleh permintaan minyak distilat dan bahan bakar minyak global yang kuat. Akses terhadap minyak mentah domestik juga diperkirakan akan lebih menguntungkan, seiring harga minyak mentah yang lebih murah.
Proyeksi Moody's Terkait Industri Migas di Asia Pasifik
Moody's memroyeksikan credit metrics dari perusahaan minyak negara di Asia Pasifik akan tetap kuat. Hal ini dicapai seiring dengan pendapatan sektor hulu yang masih sehat, penggunaan biaya yang lebih disiplin/efisien, serta adanya buffer likuiditas yang besar.
Meski demikian, pendapatan sektor Pengilangan Minyak diprediksikan akan terkontraksi secara marjinal menyusul biaya bahan baku yang lebih tinggi di kawasan, plus adanya regulasi baru terkait harga bahan bakar.
Kemudian, kemunculan kembali kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia dan India diperkirakan akan menekan marjin usaha Pemasaran BBM. Hal ini tentu berpeluang mengganggu kas PT Pertamina (Persero) selaku penyalur BBM bersubsidi di Indonesia.
Di sisi lain, peluang sektor Pengilangan dan Pemasaran migas Asia bisa mendapatkan keuntungan dari implementasi regulasi International Maritime Organization (IMO) pada akhir 2019. Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, per 1 Januari 2020, IMO akan mengimplementasikan batasan 0,5% sulfur bagi bahan bakar kapal.
Dengan regulasi tersebut, kapal-kapal yang beroperasi harus menggunakan bahan bakar dengan konten sulfur tidak lebih dari 0,5%, dari sebelumnya 3,5%, dalam rangka mengurangi emisi sulfur dioksida. Kebijakan ini lantas berpeluang menggenjot permintaan bahan bakar yang lebih berkualitas.
Terakhir, Moody's meramalkan permintaan migas China akan tumbuh dengan stabil. Pertumbuhan ekonomi China diramal sebesar 6% di tahun 2019, dengan peningkatan konsumsi minyak sekitar 4 -5 %.
(TIM RISET CNBC Indonesia)
(RHG/gus) Next Article Moody's Sebut Ancaman Bisnis Travel Pasca Covid, Loh Apa?
Dalam publikasi tersebut, Moody's melaporkan bahwa Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, dan Amortization (EBITDA) industri minyak dan gas (migas) global akan sedikit melambat di 2019, pasca tumbuh di kisaran 30% pada tahun ini.
Perlambatan EBITDA tersebut tidak lepas dari harga minyak yang diperkirakan akan lebih rendah di tahun depan. Meski EBITDA mengalami perlambatan, proyeksi industri migas global masih berada di level stable, belum sampai proyeksi negatif.
Proyeksi Moody's terkait harga minyak yang lebih rendah dan volatil tersebut merefleksikan kekhawatiran terkait perlambatan ekonomi global, produksi Arab Saudi dan Rusia yang tinggi, disrupsi permintaan akibat penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan sejumlah bea masuk, sinyal yang bervariatif perihal sanksi Iran, dan adanya spekulasi finansial.
Di sisi baiknya, Moody's berpendapat bahwa adanya pemangkasan produksi dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia akan berkontribusi bagi keseimbangan penawaran dan permintaan global. Alhasil, hal ini akan membantu menstabilkan harga minyak.
Adapun, proyeksi Moody's terkait industri migas global bisa berubah menjadi negatif apabila harga minyak jatuh ke bawah level US$ 50/barel sehingga menggerus EBITDA lebih besar. Selain itu, faktor disruptif lainnya adalah realisasi aliran kas (cash flow) yang lebih rendah serta adanya perubahan dari rezim pajak.
Sebaliknya, proyeksi Moody's bisa bertransformasi menjadi positif apabila EBITDA dapat tumbuh berkelanjutan di atas 5%, harga minyak berada di kisaran US$ 70/barel secara berkelanjutan, dan adanya pembentukan Free Cash Flow (FCF) yang berkelanjutan.
Proyeksi Moody's Berdasarkan Lini Bisnis Industri Migas
Apabila diuraikan berdasarkan lini bisnis industri migas, Moody's memberikan proyeksi positif untuk masing-masing lini, dari mulai Eksplorasi dan Produksi hingga Pengilangan dan Pemasaran.
Adanya pengembangan teknologi yang berkelanjutan serta anggaran belanja modal yang lebih tinggi, akan membantu perusahaan migas yang bergerak di lini Eksplorasi dan Produksi mampu menggenjot produksi lebih banyak.
Moody's memroyeksikan EBITDA industri migas global di Eksplorasi dan Produksi tumbuh 10% - 12%.
Sementara itu, peningkatan belanja modal juga akan terjadi di lini bisnis midstream, pada tahun 2019. Hal ini diyakini Moody's akan mendukung level produksi yang lebih tinggi. Sebagai informasi, lini bisnis midstream migas umumnya mencakup transportasi (melalui jalur pipa, kereta, tanker minyak, atau truk) dan penyimpanan.
Moody's memroyeksikan EBITDA industri migas global di Midstream tumbuh 8% - 10%.
Terakhir, untuk lini Pengilangan dan Pemasaran, Moody's memroyeksikan pertumbuhan EBITDA sebesar 13%-14%. Hal ini didukung oleh permintaan minyak distilat dan bahan bakar minyak global yang kuat. Akses terhadap minyak mentah domestik juga diperkirakan akan lebih menguntungkan, seiring harga minyak mentah yang lebih murah.
Proyeksi Moody's Terkait Industri Migas di Asia Pasifik
Moody's memroyeksikan credit metrics dari perusahaan minyak negara di Asia Pasifik akan tetap kuat. Hal ini dicapai seiring dengan pendapatan sektor hulu yang masih sehat, penggunaan biaya yang lebih disiplin/efisien, serta adanya buffer likuiditas yang besar.
Meski demikian, pendapatan sektor Pengilangan Minyak diprediksikan akan terkontraksi secara marjinal menyusul biaya bahan baku yang lebih tinggi di kawasan, plus adanya regulasi baru terkait harga bahan bakar.
Kemudian, kemunculan kembali kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia dan India diperkirakan akan menekan marjin usaha Pemasaran BBM. Hal ini tentu berpeluang mengganggu kas PT Pertamina (Persero) selaku penyalur BBM bersubsidi di Indonesia.
Di sisi lain, peluang sektor Pengilangan dan Pemasaran migas Asia bisa mendapatkan keuntungan dari implementasi regulasi International Maritime Organization (IMO) pada akhir 2019. Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, per 1 Januari 2020, IMO akan mengimplementasikan batasan 0,5% sulfur bagi bahan bakar kapal.
Dengan regulasi tersebut, kapal-kapal yang beroperasi harus menggunakan bahan bakar dengan konten sulfur tidak lebih dari 0,5%, dari sebelumnya 3,5%, dalam rangka mengurangi emisi sulfur dioksida. Kebijakan ini lantas berpeluang menggenjot permintaan bahan bakar yang lebih berkualitas.
Terakhir, Moody's meramalkan permintaan migas China akan tumbuh dengan stabil. Pertumbuhan ekonomi China diramal sebesar 6% di tahun 2019, dengan peningkatan konsumsi minyak sekitar 4 -5 %.
(TIM RISET CNBC Indonesia)
(RHG/gus) Next Article Moody's Sebut Ancaman Bisnis Travel Pasca Covid, Loh Apa?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular