Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan jual yang menerpa rupiah bertambah besar seiring dengan berjalannya waktu. Dibuka melemah 0,03% di pasar
spot ke level Rp 14.470/dolar AS, rupiah melemah 0,35% hingga pukul 08:35 WIB ke level Rp 14.515/dolar AS, menjadikannya mata uang dengan performa terburuk di kawasan.
Pada pukul 12:50 WIB, pelemahan rupiah kembali bertambah lebar menjadi 0,48% ke level Rp 14.535/dolar AS. Namun, predikat rupiah sebagai mata uang dengan performa terburuk di kawasan disalip oleh rupee yang melemah hingga 0,62%.
Pada pagi tadi, mayoritas mata uang negara-negara Asia membukukan penguatan melawan dolar AS. Namun kini, situasinya berbalik. Dolar AS perkasa terhadap mayoritas mata uang kawasan regional.
Dolar AS menjadi primadona seiring dengan tanda-tanda resesi yang kian nyata disana. Pada tanggal 4 Desember 2018, terjadi inversi spread imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps).
Hal ini merupakan indikasi awal dari akan datangnya resesi di AS. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun.
Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Namun, yang benar-benar meresahkan sebenarnya bukan itu. Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.
Lantas, pergerakan spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun menjadi sangat penting untuk diamati. Pasalnya, konfirmasi datang atau tidaknya resesi bisa berasal dari situ. Ketika inversi terjadi, kemungkinan besar resesi akan datang.
Celakanya, spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun terus saja menipis, walaupun angkanya masih positif (inversi belum terjadi). Per awal November, nilainya adalah 82 bps. Per akhir perdagangan Jumat (7/12/2018), nilainya tersisa 45 bps saja. Kemudian pada perdagangan hari ini, nilainya kembali menipis menjadi 44 bps.
Sejatinya, AS menjadi pihak yang paling dirugikan ketika resesi terjadi disana. Saham-saham di Wall Street dan dolar AS seharusnya dilepas investor.
Namun, mengingat kini resesi belum benar-benar terjadi (bahkan belum ‘dikonfirmasi’ oleh inversi spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun), dolar AS selaku safe haven masih diburu oleh investor.
Ketika resesi memang benar-benar terjadi nantinya, saham-saham di Wall Street dan dolar AS akan dilepas dan investor akan beralih memeluk emas yang juga merupakan safe haven. Hal ini terjadi pada krisis subprime mortgage tahun 2007-2009.
Pergerakan pasar obligasi AS yang semakin mengindikasikan datangnya resesi terjadi seiring dengan lemahnya data tenaga kerja disana.
Pada hari Jumat, data resmi versi pemerintah AS menunjukkan bahwa pada bulan November tercipta 155.000 lapangan kerja sektor non-pertanian, di bawah konsensus yang sebesar 198.000, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sementara itu, rata-rata upah per jam di AS untuk periode yang sama hanya tumbuh sebesar 0,2% MoM, lebih rendah dibandingkan proyeksi yang sebesar 0,3% MoM. Tekanan bagi rupiah juga datang dari pergerakan harga minyak mentah dunia. Pada perdagangan hari Jumat, harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 menguat 1,24% ke level US$ 52,13/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 menguat 2,68% ke level US$ 61,67/barel.
Kemudian pada hari ini, minyak WTI melemah tipis 0,19%, sementara brent naik 0,57%. Harga minyak mentah menguat pasca negara-negara eksportir minyak dunia, baik OPEC maupun non-OPEC, menyepakati pemotongan produksi sebanyak 1,2 juta barel per hari.
Perincinya adalah 15 negara OPEC sepakat memangkas produksi sebanyak 800 ribu barel per hari, sementara Rusia dan produsen minyak sekutu lainnya mengurangi produksi sebanyak 400 ribu barel per hari.
Melesatnya harga minyak mentah memunculkan kekhawatiran bahwa defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) masih akan tertekan pada kuartal-IV 2018. Sebelumnya pada kuartal-II dan III, CAD membengkak di atas 3% dari PDB, seiring dengan besarnya defisit dagang di pos minyak dan gas.
Kala CAD tertekan, rupiah menjadi kehilangan pijakan untuk menguat. Pelaku pasar sudah mulai ‘menghukum’ rupiah sedari hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA